IMBCNEWS – JAKARTA – Tren menurunnya jumlah penduduk yang tidak menikah tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara Asia terkemuka seperti Jepang, China dan Korea Selatan dengan ragam penyebab dan alasan.
Di Indonesia angka pernikahan mengalami penurunan drastis. Pada 2024 hanya tercatat 1,5 juta angka pencatatan nikah, jauh di bawah 2018 yang mencapai 2,1 juta pendaftaran akad nikah.
Faktor ekonomi ditengarai menjadi salah satu penyebabnya sehingga banyak kawula muda lebih fokus mengejar karir dan menunggu mapan dulu, setelah itu baru berfikir untuk menikah.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Penghulu Republik Indonesia (APRI) Madari, fenomena penurunan angka pencatatan nikah di KUA sedang menjadi keresahan karena terjadi secara konstan di tahun tahun terakhir ini.
Ada juga yang memilih menjomblo karena belum menemukan pasangan cocok, fokus pada kehidupan pribadi, mengejar kemapanan (ekonomi) lebih dulu, trauma dengan masa lalu dan merasa belum mampu melindungi pasangannya.
Sementara di China, angka pernikahan turun 20 persen tahun 2024 meskipun pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mendorong pasangan muda menikah dan memiliki anak guna meningkatkan populasi penduduk yang terus menurun.
Berdasarkan data Kementerian Urusan Sipil China, sebanyak 6,1 juta pasangan mendaftarkan pernikahan mereka pada 2024 atau turun dari 7,68 juta pasangan pada tahun sebelumnya.
Menurunnya minat untuk menikah dan membangun keluarga telah lama dikaitkan dengan tingginya biaya pengasuhan anak dan pendidikan di China.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang melambat dalam beberapa tahun ini telah menyulitkan lulusan universitas mendapatkan pekerjaan dan mereka yang sudah memiliki pekerjaan pun merasa tidak yakin dengan masa depan kariernya.
Namun, bagi pemerintah China, meningkatkan minat terhadap pernikahan dan memiliki bayi harus menjadi fokus utama perhatian.
China merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar kedua di dunia – setelah India – dengan total jumlah penduduk 1,4 miliar jiwa.
Namun jumlah penduduk lanjut usia di negara itu meningkat dengan cepat. Angka kelahiran anjlok selama beberapa dekade akibat kebijakan satu anak di China pada 1980-2015 dan pesatnya urbanisasi.
Dalam dekade mendatang, sekitar 300 juta orang China, – setara dengan hampir seluruh penduduk AS – diperkirakan memasuki masa pensiun.
Terancam punah
Jepang lain lagi, seorang pakar tren demografi dari Pusat Penelitian Ekonomi dan Masyarakat Lanjut Usia Universitas Tohoku, Hiroshi Yoshida mengungkap perkiraan punahnya bangsa Jepang.
Hal ini bisa terjadi jika krisis populasi trus berkelanjutan, di mana orang Jepang hanya memiliki satu anak di bawah usia 14 tahun per pada 5 Januari 2720, artinya sekitar 695 tahun lagi Jepang bakal mengalami kepunahan.
Yoshida memetakan prediksi tersebut berdasarkan data yang ia peroleh dari Biro Statistik Jepang. Ia melacak anak pada tahun berjalan dan tahun sebelumnya serta melacak penurunannya setiap detik.
“Pernikahan adalah keputusan yang didasarkan pada nilai-nilai masing-masing individu, tetapi Pemda Metropolitan Tokyo terus berupaya membangun momentum untuk pernikahan sehingga mereka yang ‘berniat menikah ‘ dapat mengambil langkah pertama itu,” tulis situs aplikasi kencan tersebut.
Selain itu, pemerintah juga menyediakan informasi tentang keseimbangan kehidupan kerja, bantuan perumahan, pengasuhan anak, keterlibatan pria dalam rumah tangga, pengasuhan anak hingga konseling karier.
Sedangkan Korea Selatan seperti dilaporkan BBC sedang bergulat menghahapi tantangan demografi yang terus berlanjut yakni penurunan angka pernikahan dan kelahiran.
Meskipun layanan perjodohan swasta telah meningkat, angka pernikahan berada pada rekor terendah di Korea Selatan, yang memaksa pemerintah untuk mengambil tindakan.
Data NDTV menunjukkan, pada tahun 2023, ada 40% lebih sedikit pernikahan di Korsel dibandingkan dengan satu dekade lalu. Tren di sini adalah menunda atau menghindari pernikahan.
Pada saat yang sama, angka kelahiran total Korsel menunjukkan jumlah rata-rata anak yang diharapkan dimiliki seorang wanita sepanjang hidupnya, mencapai titik terendah sepanjang masa yaitu hanya 0,72 atau juga terendah di dunia.
Kelamaan di kantor
Melansir NDTV, para ahli menyebutkan beberapa penyebab statistik tersebut, seperti jam kerja yang panjang yang dikaitkan dengan etos kerja dan budaya Korsel.
Pekerja rata-rata di Korea Selatan mencatat jam kerja terpanjang di dunia setelah Meksiko pada tahun 2017.
Keseimbangan kehidupan kerja yang buruk, perumahan yang dan biaya penguhan yang sangat mahal membuat banyak orang enggan untuk memulai berkeluarga atau kembali bekerja setelah melahirkan.
Menanggapi tren demografi negatif ini, pemerintah Korsel telah memulai serangkaian program kencan kilat, dengan harapan dapat mendorong pernikahan demi mengatasi rendahnya angka kelahiran.
Acara perjodohan yang disponsori pemerintah merupakan bagian dari upaya yang lebih luas untuk mengatasi populasi negara yang menurun dan tantangan sosial yang menyertainya.
Menurut laporan Bloomberg tahun 2023, kota Seongnam telah mengambil peran sebagai pencari jodoh dalam menanggapi krisis kelahiran di Korea Selatan.
Dipimpin oleh Wali Kota Shin Sang-jin, acara kencan yang dikelola pemerintah kota tersebut merupakan bagian penting dari inisiatif yang lebih besar yang bertujuan untuk memerangi penurunan angka kelahiran di negara tersebut
Orang yang jomblo atau tidak memiliki pasangan sering kali memiliki prioritas hidup yang tidak terkait dengan hubungan romantis atau keluarga, seperti hidup sendiri, membangun karier, dan keamanan finansial.
Ini menunjukkan bahwa orang yang tidak memiliki pasangan cenderung memiliki rasa diri yang kuat dan tidak merasa kehilangan banyak hal dalam hidup.
Setiap era memiliki persoalan sehingga menciptakan perubahan, sementara di sisi lain, nilai nilai kepatuhan pada agama makin longgar, sehingga orang lebih bebas memilih menjomblo atau berkeluarga. (imbcnews/Theo/sumber diolah)