

Reputasi merupakan aset yang tak ternilai bagi sebuah pemerintahan dalam mencapai tujuan strategis dan meraih kesuksesan yang berkelanjutan. Berdasarkan penelitian (Lani & Handayani, 2021) reputasi pemerintah mengambil peran krusial dalam membangun kepercayaan publik, memberikan legitimasi dalam menjalankan kebijakan, dan mempermudah dukungan masyarakat terhadap program yang direncanakan.
Namun melihat pada reputasi pemerintah Indonesia yang kerap terganggu oleh masalah komunikasi ditengah menghadapi situasi yang tidak pasti. Masalah komunikasi yang terjadi sering dikaitkan dengan kesalahpahaman, bias kognitif & emosional, misinformasi & disinformasi, teknologi, kurangnya empati dan hambatan struktural (hierarki).
Akibatnya, masyarakat menjadi ragu dan kritis terhadap kebijakan dan program yang pemerintah ambil, yang dapat menurunkan tingkat kepercayaan publik dan merusak reputasi pemerintah. Melihat pada kondisi awal tahun 2025, di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, Indonesia menghadapi sejumlah tantangan penting, baik dalam aspek ekonomi hingga sosial – politik.
Situasi yang penuh ketidakpastian ini memperlihatkan kompleksitas komunikasi publik pemerintah saat ini. Namun sayangnya pemerintah terbilang gagal dalam melakukan komunikasi publik yang tepat. Akibatnya, berbagai sentimen negatif bermunculan setiap pernyataan, klarifikasi, bahkan tindakan non responsif berdampak pada terkikisnya kepercayaan publik.
Dimulai dari pernyataan Kepala Negara Indonesia pada 8 April 2025 yang disampaikan saat pembukaan acara Sarasehan Ekonomi di Jakarta mengenai penghapusan kuota impor langsung menjadi perhatian dan diperbincangkan publik.
“Ada Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan, ga usah ada kuota-kuota lagi, siapa mau impor daging silahkan, siapa saja boleh impor, buka saja”, jelasnya.
Pernyataan ini, alih-alih menjadi solusi untuk meredakan kekhawatiran masyarakat di tengah ketidakstabilan ekonomi global akibat “kebijakan tarif impor Trump,” justru memperburuk situasi dengan menciptakan misinterpretasi yang lebih luas. Sementara itu, Wamentan (Wakil Menteri Pertanian), Sudaryono, melalui Portal Informasi Indonesia (11/4) meluruskan pernyataan dari Prabowo terkait penghapusan kuota impor yang dimaksud. Dimana penghapusan kuota impor komoditas pangan tidak berarti membuka pintu untuk impor secara besar-besaran. Volume impor akan tetap dikendalikan berdasarkan neraca komoditas untuk mencegah terjadinya banjir produk impor di pasar Indonesia.
Pembahasan mengenai penghapusan kuota impor ini berkorelasi dengan tanggapan dari KaPI (Kepala Pusat Industri), Andry Satrio Nugroho, pada Senin (14/4) melalui Bisnis Media terkait pencabutan Permendag 8/2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Andry mengungkapkan bahwa terdapat kesalahan dalam komunikasi atau pemilihan kata dari pernyataan presiden. Menurutnya, kata yang tepat adalah merevisi Permendag 8/2024, Andry menambahkan, jika pernyataan pencabutan regulasi atau penghapusan kuota impor benar-benar diterapkan, hal itu akan sangat berbahaya bagi pasar Indonesia karena memicu lonjakan produk impor yang masuk ke pasar Indonesia.
“Kalau mencabut [Permendag 8/2024 atau menghapus kuota impor], saya rasa salah ya komunikasinya. Tetapi yang lebih benar itu adalah merevisi. Kalau mencabut, ya, berarti kita tidak memiliki lartas [larangan dan pembatasan impor],” jelasnya.
Klarifikasi dari Sudaryono sebagai Wamentan dan tanggapan dari Andry sebagai KaPI memperlihatkan adanya masalah komunikasi terkait pernyataan penghapusan kuota impor khususnya komoditas pangan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Kesalahpaman yang timbul ditengah publik disebabkan oleh ketidakmampuan dalam menyampaikan pesan secara jelas dan tepat. Penggunaan istilah “penghapusan kuota impor” yang tidak dijelaskan secara lengkap dan sederhana, menyebar di media sosial dan menimbulkan kesalahpahaman. Masyarakat dengan berbagai macam latarbelakangnya, mereka hanya menangkap makna bahwa pemerintah secara bebas membuka kran impor, tanpa memahami urgensi atau alasan kebijakan tersebut sehingga merugikan para pelaku usaha domestik.
Padahal, istilah “penghapusan kuota impor” dimaksudkan sebagai upaya perbaikan tata kelola impor dan relaksasi administratif dengan tetap mempertimbangkan mekanisme kontrol lainnya, bukan berarti membuka impor secara liar. Tujuan dari kebijakan tersebutpun untuk menciptakan kebijakan yang lebih transparan, meningkatkan efesiensi ekonomi, menjaga stabilitas harga pangan dan stok pangan nasional.
Kesalahpahaman ini pun semakin diperburuk oleh adanya faktor bias kognitif dan emosional, dimana informasi yang disampaikan melalui efek framing dapat mempengaruhi cara pandang dan interpretasi publik. Pada beberapa media menyajikan headline pada postingan sosial media mereka, “Engga usah ada kuota, siapa saja mau impor silahkan”, yang jelas memicu emosional publik.
Efek framing dalam kasus ini juga termasuk cara penyampaian pesan oleh Presiden RI yang memiliki pola komunikasi reaktif, ketika informasi yang disampaikan dengan cara kurang tepat baik melalui pemilihan kata, penekanan aspek tertentu, atau urutan informasi akan membentuk persepsi kurang baik dimata publik terhadap kebijakan tersebut dan berujung pada rusaknya reputasi.
Media sosial juga berperan besar dalam memperkuat efek komunikasi yang salah tersebut. Algoritma media sosial memperkuat persepsi negatif dengan menampilkan reaksi-reaksi serupa dalam bentuk komentar dan unggahan lanjutan. Hal ini menciptakan efek echo chamber, di mana klarifikasi dari pemerintah menjadi sulit untuk mencapai audiens yang telah membentuk opini negatif sejak awal.
Selain itu, kegagalan dalam pengelolaan komunikasi publik juga tercermin pada ketidakmampuan pemerintah dalam menangani krisis komunikasi terhadap isu-isu negatif baik dari tingkat global maupun domestik. Kegagalan ini berujung pada anjloknya IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) dari pasar saham Indonesia yang terjadi pada 18 Maret 2025, dimana tercatat di BEI (Bursa Efek Indonesia) melemah hingga -6,12 % atau turun 395,87 poin ke posisi 6.076,08 pada akhir penutupan perdagangan sesi I. Kondisi ini memicu untuk dilakukannya trading halt (penangguhan perdagangan) untuk mencegah penurunan yang lebih tajam sebagai sinyal adanya sentimen negatif pasar akibat dari isu negatif yang beredar. Berdasarkan data RTI, investor asing juga telah menarik dana sebesar Rp 26,92 triliun dari pasar saham (year to date). Penurunan IHSG dipicu oleh sentimen eksternal dan domestik. Sentimen eksternal yang muncul karena ketidakpastian ekonomi global akibat perang dagang, kekhawatiran menjelang penetapan tarif impor Trump serta potensi Trumpcession. Pada kondisi ini, pemerintah seharusnya membangun narasi yang meyakinkan kepada publik khususnya para investor dan pelaku bisnis terkait kebijakan-kebijakan yang akan datang, guna menciptakan iklim ekonomi yang stabil.
Namun sebaliknya pemerintah bersifat pasif bahkan menyebarkan pernyataan kekhawatiran dan kepanikan terhadap kebijakan tarif impor yang diterapkan oleh Presiden Amerikat Serikat tersebut. Sementara itu, penurunan IHSG juga dipengaruhi oleh sentimen domestik yaitu beredarnya isu-isu terkait narasi penolakan RUU TNI dan Indonesia Gelap, pengelolaan Danantara dan penurunan daya beli masyarakat yang mencuat pada awal Maret 2025. Hal ini menunjukkan ketidakstabilan kondisi sosio-politik akibat berita dan rumor domestik yang menurunkan kepercayaan investor terhadap pasar saham di Indonesia. Dalam kasus ini, permasalahan komunikasi timbul akibat kurangnya empati dan transparansi pemerintah yang tercermin melalui ketidakterlibatan publik pada pengambilan kebijakan strategis negara baik itu terkait RUU TNI, proyek Danantara serta kebijakan lain yang muncul secara tiba-tiba.
Hal ini diperparah dengan pernyataan- pernyataan dengan pola komunikasi reaktif serta emosional yang terus berulang semakin memperlihatkan ketidakmampuan dalam mengelola komunikasi publik dengan baik.
Namun, anjloknya IHSG sepertinya tidak menjadi tamparan oleh pemerintah dalam melakukan evaluasi kinerja mereka. Alih-alih menjelaskan kebijakan atau solusi yang konstruktif, pemerintah justru menyampaikan narasi kontroversial terhadap peristiwa penurunan tajam IHSG tersebut, seperti yang disampaikan pada Sidang Kabinet Paripurna Jumat (21/3), ”Pangan adalah hal utama, harga saham boleh naik turun tapi kalau pangan aman negara aman” serta pernyataan lain dalam wawancara 7 jurnalis senior Selasa (8/4), ”Saya engga terlalu takut dengan pasar modal”. Kalimat yang terlontar menunjukkan penurunan IHSG bukanlah hal yang penting bagi negara. Padahal faktanya menurut penelitian (Bakhri & Jaelani, 2024), IHSG adalah indikator yang merefleksikan kondisi nyata perekonomian secara nasional dimana penurunan investasi akan memicu efek domino seperti, hilangnya lapangan pekerjaan, perlambatan pertumbuhan ekonomi hingga devaluasi mata uang. Pernyataan kontroversial yang bersumber dari ucapan kepala negara ini, menunjukan sinyal ketidakberpihakan kepada pasar, ketidakpahaman terhadap pasar modal atau kesalahan dalam berbicara yang terkesan defensif dan emosional belaka. Ambiguitas dalam pola komunikasi reaktif tersebut menyebabkan kesalahpahaman dan misinformasi.
Jika pola komunikasi reaktif ini terus berlanjut tentunya akan berefek pada penurunan investasi secara berkala kedepannya. Berdasarkan data dari BEI, IHSG mengalami penurunan signifikan dengan average percentage sebesar -4,42% sepanjang 1 Januari hingga 30 April 2025. Selama periode tersebut, IHSG turun dari 7.163,21 ke 6.766,79, dengan nilai rata-rata 6.700,10. Penurunan IHSG pada periode tersebut, bukanlah hanya sekadar angka, tetapi juga sinyal dari menurunnya kepercayaan investor dan publik dalam menghadapi ketidakpastian. Disaat pemerintah menghadapi tantangan besar dalam menghadapi isu ekonomi, sosial-politik yang beredar, pemerintah hendaknya mengunakan komunikasi berbasis empati dengan menunjukan keberpihakaan kepada masyarakat dan menggunakan penyampaian yang humanis bukan justru sebaliknya.
Membahas terkait pentingnya komunikasi berbasis empati, menjelaskan bahwa pernyataan, tanggapan, dan klarifikasi bukan hanya sekedar teknis komunikasi publik belaka. Seperti yang terlihat pada insiden kasus teror kepala babi yang diterima oleh jurnalis Tempo yaitu Francisca Christy di kantornya, Jakarta Barat pada Kamis 20 Maret 2025. Kasus ini menimbulkan keresaha pers dimana insiden ini mencerminkan bagaimana iklim komunikasi politik yang buruk mengacam kondisi kebebasan pers. Dalam menghadapi situasi ini, bukannya memberi tanggapan yang serius dan empatik terhadap insiden tersebut, Kepala Kantor Kepresidenan, Hasan Nasbi, justru merespons dengan kalimat candaan seperti ”ya sudah dimasak saja [kepala babi]” ucapnya.
Tanggapan tersebut bukan hanya tidak sensitif terhadap korban, tetapi juga memperburuk situasi yang sudah ada. Hingga pada tanggal 29 April 2025 muncul berita mengejutkan, dimana Hasan Nasbi mundur dari jabatannya sebagai Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, setelah menjabat dengan masa jabatan singkat yaitu 8 bulan. Melalui Tempo (29/4) , Hasan Nasbi menjelaskan pengunduran dirinya adalah jalan terbaik untuk komunikasi pemerintah di masa depan. Memikul beban berat atas jabatannya terlebih dalam situasi sosial politik yang kurang kondusif, menyebabkan Hasan mengambil keputusan ini sekaligus upaya perbaikan citra komunikasi publik yang telah dikritik selama ini.
Melihat pada beberapa kasus yang telah dibahas sebelumnya, dapat dipahami bahwa komunikasi publik menghadapi tantangan yang kompleks dalam membangun kepercayaan dan reputasinya, pemerintah tidak hanya sekedar sebagai saluran untuk menyampaikan kebijakan saja, tetapi juga harus mempertimbangkan dampak psikologis, sosial, dan politik dari setiap pesan yang disampaikan (Purwindra, 2019). Pemerintah diharapkan untuk terus melakukan perbaikan dan evaluasi pada strategi komunikasi publik yang saat ini terbilang gagal, komunikasi berbasis empati dan transparansi adalah solusi dalam menghadapi ketidakpastian dan krisis kepercayaan yang terjadi pada saat ini.
Penulis: Inney Silda Latifah SE (Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Andalas)