BUKITTINGGI — Derai tawa anak-anak kerap terdengar di gang-gang kecil kota ini, namun bagi sebagian orang tua, tawa itu menyimpan kekhawatiran.
Akankah anak mereka bisa bersekolah tahun ini? Ketidakpastian itu kembali menyeruak menjelang proses Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) tahun 2025.
Namun, harapan itu kembali ditumbuhkan oleh pernyataan tegas Rahmi Brisma, anggota Komisi I DPRD Kota Bukittinggi. Dalam rapat kerja bersama Dinas Pendidikan, kepala sekolah SMP dan SMA se-Kota Bukittinggi, serta perwakilan Cabang Dinas Pendidikan Wilayah 1 Sumatera Barat, ia menekankan pentingnya akses pendidikan yang inklusif.
“Kita akan perjuangkan supaya tidak ada anak-anak di Kota Bukittinggi yang tidak bisa sekolah,” ujar Rahmi, saat diwawancarai usai rapat, Jumat (23/5/2025), di aula DPRD Bukittinggi.
Rapat ini bukan sekadar agenda seremonial, melainkan bentuk komitmen serius terhadap persoalan klasik yang terus berulang, kurangnya sosialisasi, persoalan zonasi, hingga problem administrasi kependudukan yang sering membuat anak-anak gagal mendaftar ke sekolah negeri, terutama SMA favorit.
Menurut Rahmi, kendala utama bukan hanya soal sistem, tapi juga keterlambatan juklak dan juknis dari pusat yang berdampak pada sosialisasi terbatas di daerah.
“Sosialisasi memang sudah dilakukan, tapi belum optimal. Ini memicu kebingungan di masyarakat,” jelasnya.
Ia berharap dinas pendidikan hendaknya meminta setiap kepala sekolah melakukan sosialisasi atas perubahan regulasi SPMB pada anak didik dan kalau memungkinkan juga pada orang tua murid.
Rahmi juga menyoroti pentingnya pendidik dan penyelenggara seleksi untuk menjunjung tinggi integritas. Bagi Rahmi, sistem seleksi semestinya menjadi ruang yang bersih dari kolusi dan nepotisme.
“Tegakkan regulasi yang baik dan benar. Jangan ada lagi permainan di belakang layar,” tegasnya sembari menghimbau untuk bersama sama berkomitmen melaksanakan regulasi yang sudah di atur sedemikian rupa.
“Begitu juga bagi masyarakat, kita terima sesuai aturan yang sudah ada, hindari budaya Katabelece dari pihak pihak tertentu yang berdampak pada hilangnya hak anak anak yang seharusnya mereka mendapatkan sekolah sesuai zonasinya,” harapnya.
Meski secara umum angka anak putus sekolah di Bukittinggi rendah, Rahmi mencatat masih ada kasus khusus yang patut diperhatikan.
“Beberapa anak terkendala oleh persoalan administrasi kependudukan. Ini harus segera dikoordinasikan dengan Dinas Dukcapil,” ujarnya.
Senada dengan itu, Kasubag TU
yang saat ini Plt. Kacabdindik Wilayah I Sumatera Barat, Yefilindawati, S.Sos, MM, menegaskan bahwa SPMB adalah wajah dari kualitas layanan pendidikan. “Menjaga integritas berarti menjaga kepercayaan publik,” katanya.
Pihaknya juga menyampaikan terkait sosialisasi sudah dilakukan ke Kepala SMP dan MTs sebagai perpanjangan tangan di sekolah calon murid baru SMA SMK, dan juga sosialisasi ke Camat dan lurah yang diharapkan menjadi perpanjangan tangan informasi ke masyarakat.
“Kami juga siap untuk ikut menjelaskan ke masyarakat secara langsung jika ada momen pertemuan dengan masyarakat,” katanya.
Dijelaskan, mengingat wilayah kerja Cabang Dinas Pendidikan Wilayah I Sumbar bukan hanya Bukittinggi saja, tapi juga Kota Padang Panjang dan Kabupaten Agam yang tidak memungkinkan untuk mendatangi semua sekolah.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Kota Bukittinggi, Heriman, menegaskan bahwa perubahan nama dari PPDB ke SPMB tidak mengubah substansi.
“Hanya nomenklatur yang berubah. Sistem tetap berpijak pada prinsip keadilan,” ujarnya sambil memaparkan data jumlah siswa tamat SD dan SMP di Kota Bukittinggi tahun ini.
Rapat kerja ini menjadi bukti bahwa sinergi antarpemangku kebijakan, dari DPRD hingga pihak sekolah, menjadi fondasi penting untuk menciptakan sistem pendidikan yang transparan dan berpihak pada anak-anak. Tak ada satu pun anak di Bukittinggi yang boleh kehilangan masa depannya hanya karena urusan teknis atau administratif.
Penulis: Alex.jr
(Bukittinggi/IMBCNews.com)