Oleh Sri Miguna, SM MH
Indonesia salah satu Negara yang memiliki berbagai suku, agama dan ras. Lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa, lebih tepatnya terdapat 1.340 suku bangsa di Tanah Air menurut sensus Biro Statistik (BPS) tahun 2010. Suku Jawa adalah kelompok terbesar di Indonesia dengan jumlah yang mencapai 41 persen dari total populasi.
Sejak dahulu kala, suku Jawa paling dominan dalam ikut menentukan kemerdekaan dan menentukan dasar negara, mskipun juga banyak tokoh kemerdekaan dari suku lain yang ikut berjuang. Namun para tokoh dari Jawa itu hebatnya tidak pernah memaksakan kehendak karena suara mayoritas.
Mereka tetap melakukan musyawarah unuk mencari kesepakatan, karena musyawarah itu bagian dari kearifan lokal bangsa timur, utamanya Indonesia ini. Berhari-hari Sukarno dan kawan-kawan merumuskan apa dasar negara yang tepat untuk Indonesia, karena semua suku, ras, dan agama harus menerimanya.
Oleh karenanya, para tokoh kemerdekaan melakukan serangakian rapat, dimana Pada 1 Juni 1945 digelar sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam pidatonya saat itu, Soekarno mengemukakan konsep awal Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia yang dinamai Pancasila. Pada saat itulah istilah Pancasila pertama kali disebut.
Pemikiran Sukarno, lima dasar itu adalah, pertama, “Kebangsaan”, Sila kedua “Internasionalisme atau Perikemanusiaan”, Sila ketiga “Demokrasi”, Sila keempat “Keadilan sosial”, dan Sila kelima “Ketuhanan yang Maha Esa”. Untuk mematangkan rumusan ini, dibentuklah Panitia Sembilan yang terdiri dari Ir. Sukarno, Mohammad Hatta, Abikoesno Tjokroseojoso, Agus Salim, Wahid Hasjim, Mohammad Yamin, Abdul Kahar Muzakir, Mr. AA Maramis, dan Achmad Soebardjo.
Dengan demikian, kteks Pancasila yang ada saat ini cukup berbeda jauh dari rumusan yang disampaikan Sukarno, meskipun substansinya masih sama.
Pada 22 Juni 1945, Panitia 9 mengadakan sidang yang menghasilkan kesepakatan dasar negara dan yang tertuang dalam alinea keempat rancangan Preambule, yaitu “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya; Kemanusiaan yang adil dan beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kesepakatan ini dipopulerkan oleh Mr. Moh. Yamin dengan nama “Piagam Jakarta”.
Ide Muhamad Yamin, dikelompok Islam sebagian setuju, karena ada konsekensi menjadikan Islam sebagai dasar hukum bagi Umat Islam dalam negara Pancasila. Sementara di luar Islam, terdapat hukum lain yakni mengacu kepada hukum buatan Eropa yang saat ini dikenal KUHP dan KUHPer, buah nasionalisasi pemerintah tahun 1946.
Atas dasar perbedaan yang cukup meruncing dan "panas" itulah terjadi lobi-lobi politik yang ingin menyatukan agar panitia tidak pecah dan Pancasila disepakati sebagai dasar Negara.
Piagam Jakarta, yang memberikan tabambahan bagi Pemeluk Islam untuk berhukum Islam, membat kelompok lain tidak sepakat dan mengancam akan keluar dari kesepakatan. Oleh karenanya, dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 9 Agustus 1945. PPKI dibentuk dalam rangka mempersiapkan kemerdekaan Indonesia termasuk mengesahkan dasar negara dan UUD 45.
Setelah Kemerdekaan 18 Agustus 1945, para tokoh Islam yang memperjuankan piagam Jakarta berkumpul, dan Muhhamd Hatta menyakinkan, apa yang telah dibacakan pada 17 Agustus itu sudah dikonsultasikan kepada para Ulama seperti Kyai Agus Salim, Kyai H. Wahid Hasyim dan Abi Kusno wakil dari Muhammadiyah.
Akhirnya banyak pihak setuju Pancasila dipilih sebagai dasar Negara Indonesia sebagai jati diri, sebagai ideologi, dan juga sebagai asas persatuan bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara diperlukan bagi masyarakat Indonesia, menjaga eksistensi bangsa Indonesia, karena didalmya terdapat banyak mutaiara ajaran keagaaman dan moral dalam kehidupan umat manusia. ( Alvira, Oktaviana Safitri, Volume , 3/2021)
Dengan melihat fakta sejarah di atas, nampak adanya pertentangan antara kelompok Nasionalis, kelompok Islam puritan dan kelompok di luar Islam masih terjadi pertentangan. Biasnya hingga saat ini atau setelah 76 tahun Indonesia merdeka "bau" perbedaan atau pertentangan antara penganut Piagam Jakarta dan di luar piagam Jakarta, masih terjadi.
Dalam kelompok Islam di Indonesia sejak awal kemerdekaan, terdapat dua kelompok besar yakni Muhammadiyah yang lahir tahun 1912 dengan tokoh KY H. Ahmad Dahlan dan Nahdhatul Ulama berdri tahun 1926 oleh KH. A Wahd Hasyim atau dikenal sebagai kakek Gus Dur (Abdurahman Wahid). (Theo Yusuf, 2020).
Muhammaduyah dalam melihat Pancasila sebagai dasar negara, didasarkan atas musyawarah untuk mencapai mufakat. Sementara NU, dalam Munas tahun 1983 kembali meneguhkan, Pancasila sebagai dasar dan Falsafah Negara Republik Indoneia, bukanlah agama, karena Pancasila tidak dapat menggantikan agama dan tidak pula dapat dipergunakan menggantikan kedudukan agama.
Sementara Muhammadiyah dalam memaknai Pancasila yang disampaikan Dr. Amien Rais (Ketua PP Muhammadiyah 1995) kembai menegaskan, Pancasila sesungguhnya sebagai idiologi Islam atau doktrin kenegaraan Islam versi Indonesia dan termasuk empat pilar negara, - Pancasila UUD 1945, NKRI dan Bhinika Tunggal Eka adalah konsensus Kebangsaan yang final. Muhammadiyah menyebut Pancasila sebagai DAR -AL AHDHI WA SAHADAH, yang berarti kesepakatan. (Theo Yusuf, 2020, hlm. 289 -294).
Oleh karena itu jika ada ajaran radikalisme, terorisme dan isme kekerasan lain sesungguhnya bukan dari ajaran NU maupun Muhammadiyah jika dilihat dari berbagai kesepakatan para tokoh sejak Indonesia diproklamirkan hingga saat ini.
Ajaran Terorisme
Sejarah terorisme sesungguhnya relatif tua jika dimaknai terorisme sebagai tindakan kekerasan kepada pihak atau beberapa orang lain. ( Dzulkarnain M Sanusi, 2006 hlm. 125 ). Terorisme muncul di masa Raja Lois Ke XVI Perncis tahun 1789 -1794 M, meskipun tindakan teroisme itu sudah terjadi pula sejak jaman Romawi Kuno.
Namun radikalisme atau teror di Perancis, justru berasal dari Pemerintah yang banyak mengorbankan rakyat Perancis. Teror dalam bahasa Perancis disebut La Terreur, yakni kekerasan. Saat Lois ke XVI berkuasa, dikenal dengan pemerintahan yang "Terreur", atau kekerasan. Ambisi Raja untuk terus mengekspansi wilayahnya, membutuhkan dana keuangan dan sumber daya manusia yang besar. Ketidak mampuan Raja Lois Ke XVI itu membuat dia memimpin dengan tangan besi, dan meneror kepada warga yang tidak mendukung programnya.
Loudewijk F Paulus, Komandan Kopassus tahun 2009 dalam makalahnhya yang dipublikasikan menyebutkan, Sejarah tentang terorisme berkembang sejak berabad lampau. Hal ini ditandai dengan bentuk kejahatan murni berupa pembunuhan dan ancaman yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu. 7. (http://ditpolkom.diunggah 2022)
Perkembangannya bermula dan bentuk fanatisme aliran kepercayaan yang kemudian berubah menjadi pembunuhan, baik yang dilakukan secara perorangan maupun oleh suatu kelompok terhadap penguasa yang dianggap sebagai tiran. Penguasa yang TIRAN dan terus melakukan penangkapan terhadap lawan politiknya itulah yang disebut terorisme. Terorisme gaya baru muncul pada akhir abad 19 dan menjelang terjadinya Perang Dunia-I dan terjadi hampir di seluruh permukaan bumi.
Di Indonesia istilah Terorism juga dikenal sejak ratuan tahun silam jika terorisme dimaknai gerakan kekerasan. Bangsa Indonesia, telah mengenal yang namanya Perang Paderi (kaum Padri) dengan Tokoh Tuanku Imam Bonjol yang diangkat sebagai Pahlawan Revolusi. Perang Padri ini sebuah peristiwa sejarah yang melibatkan kelompok ulama yang disebut Kaum Padri dengan Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung, Sumatera Barat tahun 1803-1838. Semula Perang Padri perang saudara, karena ada ketidak sukaan kaum santri dengan kaum adat Minang Kabau. Orang Islam untuk melakukan ibadah mengalami rintangan.
Di Sumatera Barat sejak tahun itu sudah banyak ulama militan yang ingin mengajarkan agama dengan sungguh-sungguh, meskipun mendapat lawan dan tangan dari kaum adat atau kaum abangan, atau kelompok yang mengaku Islam tetapi munafik, melakukan adudomba. Imam Bonjol dan kawan-kawan selalu di black mail sebagai penganut aliran Wahabi, aliran keras, aliran radikal untuk memojokkan kaum santri yang berbeda pandang dengan kaum adat.
Gerakan Islam yang dinilai Puritan inilah yang saat Indonessia menjelang Kemerdekaan muncul Kembali, dimana Muhamat Yamin dkk mengusung Piagam Jakarta. Menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Kontes seperti itu terus muncul sesuai dengan perkembangan jaman, walau-pun dalam konteks yang berbeda namun melalui gagasan dan pemahaman keagamaan yang tidak jauh berbeda. Artinya gerakan radikal, gerakan teror untuk melawan kelompok, melawan penguasa atau melawan orang yang dinilai menentang syariat Islam akan terus bermunculan.
Aksi teror-isme yang marak di Indonesia di era Orde Baru dan Pasca Reformasi, kelanjutan dari gerakan politik anti Nasional Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang pernah terjadi sebelumnya. Aksi terorisme lanjutan ini kembali dimotori oleh gerakan-gerakan yang ingin mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) yang digagas oleh S.M. Karto Soewirjo dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada 1942-1962. Kelompok ini tidak sependapat dengan sistem Demokrasi, dan Negara berdasarkan hukum positif.
Menurut Wakil Kepala Badan Inteljen Negara (BIN), Gerkan NII yang dicetuskan oleh Karto Suwiryo itu masih ada. Tahun 1980 pimpinan NII adalah Djaelani, namun ia ditangkap aparat berwajib dan dihukum dan untuk sementara dipimpin oleh Ajengan Masduki. Gerakan teroris Komando Jihad yang membajak Pesawat Garuda di Don Muang Thailand, pimpinan Imam Imran, begitu juga Imam Samudra yang mengebom di Bali tahun 2002, telah menewaskan lebih dari 202 orang dan ratusan orang luka-luka.
Gerakan teroris di Indonesia itulah tampaknya tidak lagi mengikuti ajaran Islam versi NU dan Maummadiyah, dalam memaknai idiologi negara, tetapi juga menafikan filsafat Pancasila sebagai idiologi bangsa yang perlu dirawat untuk mewujudkan NKRI terus tegak.
*Penuis, kandidat Doktor Hukum, Tinggal di Jakarta.