DIBALIK udara sejuk Bukittinggi dan panorama alam Sumatera Barat yang memikat, lahirlah seorang ulama yang pengaruhnya melampaui batas geografis Minangkabau, Dr. H. Gusrizal Gazahar, Lc., M.Ag., atau yang lebih dikenal dengan sapaan hangat, Buya Gusrizal.
Lahir pada 13 Agustus 1973 di Panyakalan, Kabupaten Solok, sosok ini bukan terlahir dari keluarga ulama besar. Namun, darah keilmuan mengalir dari sang kakek, Rabain, seorang guru mengaji sederhana di Masjid Jami’ kampungnya. Dari masjid kecil itulah mungkin takdir besar itu mulai digoreskan.
Buya Gusrizal adalah potret ketekunan yang membuahkan hikmah. Menempuh pendidikan dasar di sekolah negeri dan madrasah Muhammadiyah, ia kemudian diterima di Madrasah Aliyah Negeri Program Keagamaan (MANPK) Koto Baru, Padang Panjang, sebuah institusi yang kerap melahirkan kader cendekiawan Muslim.
Tak berhenti di situ, kecerdasannya membawanya ke Universitas Al-Azhar, Kairo, pusat ilmu Islam dunia. Dengan beasiswa dari ICMI dan lembaga keislaman Mesir, ia menekuni Fakultas Syariah wa al-Qanun dan menyelesaikan studi lisensiat pada 1997.
Kembali ke tanah air, Buya melanjutkan pendidikan pascasarjana hingga meraih gelar doktor dari UIN Imam Bonjol pada 2022. Tapi lebih dari sekadar gelar akademik, yang membuat Buya Gusrizal dihormati adalah keberaniannya menyuarakan kebenaran, konsistensinya dalam dakwah, dan kedalaman ilmu ushul fiqih yang ia tekuni.
Kariernya sebagai dosen, mulai dari STAIN Kerinci hingga IAIN Bukittinggi, telah mencetak generasi akademisi Muslim yang kritis dan berintegritas. Ia juga dipercaya menjabat sebagai Ketua Umum MUI Sumatera Barat selama dua periode berturut-turut (2015–2025), menandakan besarnya kepercayaan umat terhadap integritas dan keilmuan beliau.
Sebagai ulama, Buya Gusrizal tak hanya berkutat di ruang kuliah atau podium ceramah. Ia adalah penulis aktif dengan karya-karya seperti Konsep Modal dalam Sistem Ekonomi Islam, Petunjuk Praktis Ibadah Haji dan Umrah, dan Menelisik Ilmu Ushul al-Fiqh. Karya-karyanya menjadi rujukan penting bagi pengkaji hukum Islam kontemporer.
Dalam kehidupan sehari-hari, Buya dikenal sederhana, namun tegas. Ia menolak berbagai jabatan strategis yang bisa melunturkan independensinya. Ia mundur dari Bank Nagari, dan dari kampus tempatnya pernah mengabdi, demi menjaga prinsip. Sikap yang jarang ditemui di tengah arus kompromi zaman.
Buya adalah suara jernih dari Minangkabau, menggabungkan kecerdasan klasik ulama Timur Tengah dengan jiwa adat dan semangat kebangsaan. Dalam setiap ceramahnya, ada semangat pembaruan, namun tidak kehilangan akar.
Ia bukan sekadar pemimpin umat. Ia adalah penjaga nilai, guru kehidupan, dan teladan generasi. Di Bukittinggi, tanah tinggi yang mengandung sejarah dan kearifan, nama Buya Gusrizal akan terus menggema, sebagai cahaya ilmu yang tak pernah padam.
Penulis: Alex.jr
(IMBCNews.com/Bukittinggi)