IMBCNEWS – JAKARTA – DI NEGARA negara Islam atau sebagian penduduknya pemeluk Islam, ritual pembagian hewan qurban adalah hal biasa yang dilakukan setiap tahun saat Hari Raya Idhul Adha.
Bahkan di negara kaya yang bergelimang petro dollar di kawasan Timur Tengah, warganya semua berstatus muqorib atau sahibul qurban atau orang yang wajib memberikan qurban, bukan penerima qurban atau mustahik.
Di Arab Saudi msalnya, pemerintah mengemas daging qurban untuk dikirimkan ke negara negara yang memerlukannna, dan di negara Arab lain, mengirimkan dana qurban melalui kelompok ke yayasan atau secara individu ke negara-negara lain.
Sebaliknya, sekitar dua juta warga Gaza yang sudah sejak tiga bulan diblokade oleh Israel, jangankan menerima daging qurban, untuk mendapat pasokan makanan dan air minum untuk hari itu saja saja mereka harus bertaruh, ada atau tidak.
Di masa-masa damai, Hari Raya Idul Adha di Jalur Gaza identik dengan kegembiraan. Keluarga besar berkumpul menyembelih hewan kurban, membagikan daging, dan menikmati hidangan bersama.
Suasana pasar semarak oleh warga yang membeli kue kering, permen, hingga pakaian anak-anak. Namun, kegembiraan itu kini direnggut oleh bombardemen tanpa henti Israel sejak 8 Oktober 2023.
Setelah lebih dari 20 bulan konflik Israel-Hamas sejak Oktober 2023, warga Gaza menghadapi Idul Adha dalam bayang-bayang kehancuran, pengungsian, dan trauma yang mendalam.
Di Gaza, Tepi Barat, dan Masjid Al Aqsa, tak ada lagi daging kurban, bahkan setelah blokade bantuan kemanusiaan yang berlangsung selama tiga bulan terakhir ini memperburuk kondisi warga.
Akses terhadap kebutuhan pokok semakin terbatas. Perayaan Idul Adha yang biasanya ditandai dengan penyembelihan domba nyaris tidak mungkin terwujud.
“Biasanya pada waktu seperti ini saya menerima hingga 300 pesanan, termasuk untuk anak sapi dan domba, tetapi tahun ini, satu pun belum ada,” ujar Ahmed Al Zayigh, tukang daging di Kota Gaza, kepada AFP, (6/6).
Barang mewah
Di tengah keterbatasan, daging menjadi barang mewah yang tak terjangkau. Mohammed Othman (36), pengungsi yang kini tinggal di Deir Al Balah, mengatakan bahwa sekadar mendapatkan roti pun sudah menjadi anugerah.
“Kami hanya berharap bisa menemukan roti untuk memberi makan anak-anak kami di hari Idul Adha. Mereka akan bersukacita jika mendapatkan tepung untuk dibuat roti, makanan utama warga, seolah-olah itu daging,” katanya.
Ia mengaku merindukan tradisi berbagi daging kurban kepada yang membutuhkan sebagaimana diajarkan dalam Al Quran.
Namun, realitas di lapangan membuat tradisi itu sulit dijalankan. Baca juga: Tak Ada Serangan Sejak Pagi, Warga Gaza Bisa Shalat Idul Adha dengan Tenang Idul Adha tanpa orangtua Bagi sebagian anak, Idul Adha tahun ini terasa semakin sunyi. Imad Dib (11), kehilangan kedua orangtuanya akibat serangan udara Israel.
Ini menjadi Idul Adha pertamanya tanpa kehadiran mereka. “Ayah biasanya membelikan kami seekor domba, tetapi sekarang kami sendirian,” tutur Imad lirih.
Dulu, katanya, Idul Adha adalah hari yang ditunggu-tunggu. Ia senang memakai baju baru dan menikmati suasana perayaan.
Kini, ia hanya mengenakan sepatu tambalan dan tinggal di tenda seadanya. “Tahun ini, kami hanya memikirkan bagaimana bisa makan sesuatu,” katanya.
Di kamp pengungsian Al Mawasi, Gaza selatan, Hamza Sobeh (37) tetap menjalankan ibadah puasa menjelang Idul Adha. Ia mengajak anak-anaknya bertakbir untuk menumbuhkan semangat, meski dalam keterbatasan.
“Saya ingin mereka merasakan sedikit kegembiraan Idul Adha, setidaknya secara spiritual, agar mereka tidak putus asa,” ujarnya. Ia berharap bisa membeli kue isi kurma jika ada kesempatan.
Namun, bagi banyak keluarga, perayaan bukan lagi prioritas. Bukan hanya karena biaya, tetapi karena luka batin dan kehilangan. “Idul Adha kali ini terasa seperti darah,” ucap Sami Felfel, warga Gaza utara.
“Ini adalah tahun-tahun tersulit yang pernah kami jalani di Gaza,” tambahnya.
Entah sampai kapan, kematian, derita dan kesengsaraan warga Gaza akan berakhir. (imbcnews/Theo/sumber diolah: AFP/ns)