Jakarta-IMBCNews – Kini membaca puisi tidak hanya di atas panggung, namun pembacaan puisi ada di youtube, ada juga pembacaan puisi saat podcast, bahkan pembacaan puisi saat diskusi atau seminar.
Namun di tanah air ada yang menyangka pembacaan puisi berbeda dengan deklamasi. Untuk menjawab ini dihelat sebuah diskusi bertema “Meja Panjang: Deklamasi atau Seni Baca Puisi?” Diskusi yabg berlangsung di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis, 29 Agustus 2024 menghadirkan narasumber penyair Jose Rizal Manua dan Remmy Novaris RM dengan moderator Imam Ma’arif.
Jose Rizal Manua mengutip penyair kondang WS Rendra menyebutkan, seni deklamasi dalam bahasa Inggris dinamakan “reading”. Di Indonesia ada yang menyangka bahwa reading dan deklamasi itu berbeda, tetapi sebenarnya sama saja.
“Kalau ada orang yang berdeklamasi dengan melagu-lagukan ucapan atau bergerak-gerak secara berlebihan … itu hanyalah deklamasi yang jelek saja. Tidak ada hubungannya dengan hafalan (puisinya dihafal atau tidak dihafal)”. Demikian jawab Rendra pada suatu hari, ketika saya tanyakan tentang perbedaan antara Deklamasi dan Baca Puisi,” ucap Jose Rizal Manua.
Sementara menurut Sutardji Calzoum Bachri, kata Jose Rizal, membaca sajak di depan hadirin atau penonton pada hakekatnya ialah menampilkan diri dalam situasi tertentu untuk mengucapkan sajak dengan tujuan menyampaikan penghayatan dan penafsiran terhadap sajak tersebut dalam intensitas yang maksimal kepada penonton.
“Dengan demikian deklamasi, membaca puisi, nembaca sajak sebenarnya sama saja,” ujar Jose Rizal Manua.
Sementara itu Remmy Novaris RM memaparkan tentang seni deklamasi, yang merupakan seni membaca puisi dengan gaya dan lagu, masih menyimpan banyak misteri mengenai asal-usul dan perkembangannya di Indonesia.
Remmy Novaris menjelaskan bahwa sejarah seni deklamasi di Indonesia masih kurang terdokumentasi dengan baik. “Sebenarnya sejak kapan seni ‘deklamasi’ dikenal di Indonesia, kita tidak memiliki data yang cukup mengenai hal itu.
“Saya sudah mencoba tanyakan pada mbah Google, ternyata tidak memiliki jawabannya,” ungkap Remmy. Dia menambahkan bahwa seni deklamasi mungkin sudah ada sejak zaman kolonial Belanda atau sebelum kemerdekaan, namun kuatnya tradisi sastra lisan, terutama pantun, mungkin menjadi akar dari perkembangan deklamasi sebagai bentuk seni baca puisi di Indonesia.
Pada diskusi ini Remmy juga mengamati penampilan pembaca puisi yang dianggap melakukan kebohongan publik. “Unntuk apa ke atas panggung membawa kertas puisi, jika puisi sudah dihapalkan? Jika kertas puisi itu tidak ubahnya hanya asoseris pertunjukan? Bukankah ini melakukan kebohongan publik? tandasnya.
Menurut Remmy, kalau sudah dihapal kertas puisi itu lebih baik tidak usah dibawa ke atas panggung. Peragakan saja sesuai kemampuan si pembawa puisi.
“Mungkin juga istilah ‘baca puisi’ diganti dengan ‘pembawa puisi’. Atau kembalikan saja ke definisi awal Seni Deklamasi. Paling tidak seni baca puisi bukan seni membohongi publik. Kecuali si pembaca puisi benar-benar membacakannya di atas pangggung,” papar Remmy. (*)