Catatan Asro Kamal Rokan, Dirut Kantor Berita Antara (2016-2023)
IMBCNEWS Jakarta | ENAM TAHUN LALU, Mei 2019, sekitar dua pekan sebelum Ibu Ani Yudhoyono wafat, saya dan Bang Ilham Bintang ke Rumah Sakit National University Hospital (NUH) Singapura. Kami bermaksud membezoek Ibu Ani yang dirawat di rumah sakit tersebut. Namun, Ibu Ani sudah di ruang ICU, tidak dapat ditemui. Kami menuliskan pesan untuk kesembuhan Ibu Ani.
Media terus memberitakan kondisi Ibu Ani. Dan, Sabtu (1 Juni 2019) pukul 11.50 waktu Singapura, Ibu Ani pergi selamanya akibat kanker darah. Innalilahi wa inna ilaihi rojiun.
Kabar duka cita cepat menyebar. Petang hari itu, menjelang buka puasa Ramadhan, saya diminta MetroTV sebagai narasumber siaran langsung, sejak jenazah akan diberangkatkan dari Singapura hingga ke bandar udara Halim Perdana Kesuma, Jakarta. Siaran langsung selama sekitar tiga jam tersebut mengenang sosok Ibu Ani semasa hidup.
Keesokan harinya, Ahad (2 Juni) pagi, saya dan Pak Sutiyoso narasumber di TVOne dalam acara mengenang Ibu Ani. Saat itu, jenazah sudah di Cikeas. Saya menceritakan berbagai kesan tentang Almarhumah, termasuk ketika Pak SBY, Ibu Ani, dan kami makan di pinggir jalan di Warung Bu Sadinem di Ngawi.
Juga semasa tinggal di rumah dinas Brigif Linud 17 Kujang 1 Kostrad di Bandung. Rumah tersebut kecil dan berdinding tepas bambu, yang beberapa di antaranya sudah rusak. Ibu Ani menempel dinding rusak dengan kertas koran. Saat itu dua putranya, Agus Harimurti dan Edhie Baskoro, masih kecil. Jatah makanan tidak dimakan Pak SBY di kantor, melainkan membawanya ke rumah untuk istri dan anak-anaknya.
Saya mengenal Pak SBY semasa Menko Polhukam, jauh sebelum pencalonannya sebagai Presiden, Pilpres 2004. Kami mengundang Pak SBY dan Ibu Ani ke redaksi Surat Kabar Republika. Sering berdialog isu-isu politik terkini, demokrasi, dan posisi TNI setelah reformasi.
Banyak kenangan dengan keduanya, mengikuti kunjungan kenegaraan Presiden ke sejumlah negara dan juga diskusi-diskusi terbatas di Cikeas. Ketika memasuki periode kedua, unjuk rasa sejumlah kelompok, mulai sering terjadi.
Pada 28 Januari 2010, bertepatan 100 hari periode kedua Pak SBY, unjuk rasa terjadi di Bundaran Hotel Indonesia. Unjuk rasa tersebut mengusung seekor kerbau. Di badan kerbau, ditulis “SiBuYa”, yang jika disingkat menjadi SBY.
Soal ini, Ibu Ani bercerita — yang juga pernah diceritakan Pak SBY — bahwa unjuk rasa tersebut sangat menusuk dalam ke hatinya. “Saya yakin, tidak ada seorang istri yang diam saja kalau suaminya diperlakukan seperti itu,” kata Ibu Ani setelah peristiwa itu.
Sebagai istri dan Ibu Negara, Ibu Ani tidak dapat berbuat apa-apa atas penghinaan itu, kecuali menangis dan mengadu kepada Allah, Tuhan Yang Maha Mendengar. Malam setelah unjuk rasa yang tidak pantas tersebut, Ibu Ani sholat, mengaji, dan meminta lindungan Allah. Airmatanya bercucuran.
Kisah ini juga diceritakan Pak SBY saat pembukaan rapat kerja dengan para gubernur se-Indonesia di Istana Kepresidenan di Cipanas, Cianjur, sepekan setelah unjuk rasa tersebut.
Kisah menyentuh ini kembali saya sampaikan saat sebagai narasumber ILC TVOne pada Selasa (2 Juli 2019) dengan tema “Wajah Demokrasi Kita”. Selain saya, narasumber acara yang dipandu Bang Karni Ilyas tersebut, antara lain Rocky Gerung, Mahfud MD, Said Didu, Salim Said, Budiman Sudjatmiko, dan Sujiwo Tedjo.
Dalam perspektif demokrasi dan kebebasan berpendapat, kisah unjuk rasa kerbau “SiBuYa” itu menarik sebagai contoh. Presiden SBY yang berlatar belakang militer, dapat saja menggunakan alat-alat kekuasaan yang dimilikinya — polisi, militer, intelijen, atau para pendukungnya –untuk menekan dan mengkriminalisasi pelaku unjuk rasa, yang telah menyakiti hati itu.
Tapi tidak. Presiden yang dipilih dalam proses demokrasi tersebut tidak mengambil langkah antidemokrasi. Marah, kecewa, dan sedih, justru diadukan Ibu Ani kepada Allah Yang Maha Mengetahui, melalui sholat malam, mengaji, dan menangis.
Dan, masih segar dalam ingatan saya, menjelang berakhir periode kedua Presiden SBY, muncul desakan internal partai dan pengamat, agar Ibu Ani mencalonkan diri sebagai Presiden untuk meneruskan program-program Pak SBY mengentaskan kemiskinan dan memelihara pertumbuhan ekonomi. Berbagai survei juga menempatkan nama Ibu Ani sebagai salah seorang calon kuat presiden 2014-2019.
Saya tanyakan soal wacana itu pada Ibu Ani. Jawaban Ibu Ani tenang. “Setelah Pak SBY selesai sebagai Presiden, waktu kami akan lebih banyak mengurus cucu.”
Enam tahu sudah berlalu. Ibu Ani tidak pergi, hanya berpindah ke tempat lain. Almarhumah tetap hidup dalam kenangan banyak orang. Semoga Allah melapangkan makamnya, menjadi taman indah sebelum perjalanan berikutnya, menuju Jannatun Firdaus. Aamiin yaa Robbal’Alaamiin.
imbcnews/as/