Jakarta-IMBCNews – Dalam situasi dan kondisi damai maupun perang, Islam sangat menjunjung tinggi etika. Prinsip etika dalam Islam adalah keadilan dan kesetaraan serta cara pengimplementasiannya.
Demikian benang merah pada Kajian Etika dan Peradaban Edisi ke-29 yang mengangkat tema Etika Islam Tentang Perang dan Damai, bertempat di Hotel Ambhara Jakarta pada Kamis (4/7/2024).
Kajian yang diadakan PIEC, Yayasan Persada Hati dan Maha Indonesia menghadirkan pembicara Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Dr Asep Saepudin Jahar, Rektor Universitas Paramadina, Prof Didik J. Rachbini Ph.D, Ketua PIEC Pipip A Rifai Hasan, dengan moderator Dr. Rizki Damayanti.
Rektor UIN Jakarta Asep Saepudin Jahar memaparkan kerangka besar Islam dalam kehidupan yaitu kita menjaga, mengembangkan, dan mengedepankan urusan agama serta bagaimana mengelola state atau governance tersebut.
“Dalam hal perang atau konflik selalu hadir dan membawa ketakutan bagi masyarakat, kerugian sosial dan material, ketakutan psikologis, hingga kerusakan ekologis yang cukup dahsyat. Sehingga masyarakat, negara, aktivis dan kita semua harus melakukan pemetaan jalan membangun perdamaian dunia,” kata Asep.
Menurut Asep, perang Rusia dan Ukraina terjadi karena dominasi politik dan kepentingan negara lain terutama Amerika Serikat menyebabkan Rusia merasa terancam.
Asep mengatakan, dalam peperangan terjadi lebih kepada sistem politik, dalam halnya Islam tidak berfokus pada sistem politik tetapi membangun bagaimana keislaman.
“Seruan damai, memaafkan dan damai lebih utama dalam islam. Islam merupakan agama yang menekankan pada cinta dan kasih sayang atau dikenal dengan rahmatan lil alamin yang berarti rahmat bagi semesta,” tegasnya.
Berbagai ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW menegaskan Islam sebagai agama yang mencintai perdamaian dan menghindari konflik. Sementara perang hanya diperbolehkan sebagai upaya terakhir dilakukan dengan cara adil dan manusiawi.
“Prinsip pembatasan dengan cara membatasi metode perang yang digunakan, senjata dan taktik perang yang menyebabkan penderitaan yang tidak perlu atau kerusakan lingkungan yang tidak proporsional dilarang,” tuturnya.
Dalam hal ini, hukum berperan penting dalam memberikan batasan untuk para pihak yang berperang. Sebagai sebuah pedoman, hukum ini ditujukan untuk mencegah kekejaman perang terhadap nilai-nilai kemanusiaan melalui aksi pembunuhan, kekerasan dan pelecehan. Selain itu, hukum ini menjadi tolok ukur batas objek perang terhadap musuh atau rakyat yang tidak ikut berperang.
Asep melihat dalam dua perspektif yaitu perspektif Islam dimana pelanggaran setiap bentuk peperangan adalah selain bersifat sanksi duniawi sekaligus ukhrowi. Dalam konteks duniawi dan negara Islam, pemerintah memiliki wewenang untuk menghukum mereka yang melanggar etika perang.
Kemudian dalam perspektif hukum humaniter international, sanksi setiap pelanggaran seperti kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida bisa diajukan langsung melalui mahkamah hukum internasional seperti International Criminal Court/ICC dan lainnya.
Sementara Rektor Universitas Paramadina, Didik Rachbini menyampaikan hal yang sangat mendesak untuk diberlakukan adalah pelembagaan etika itu sendiri. “Dengan harapan ada pimpinan yang harus punya kode etik tertulis, terkhusus Paramadina harus terus melakukan sosialisasi,” ujarnya.
Menurut Didik, etika damai dalam Islam itu menghormati hak-hak dasar manusia, yang mengacu pada piagam Madina. Prinsip etika dalam Islam adalah keadilan dan kesetaraan serta cara pengimplementasiannya.
“Perlunya menuliskan prinsip etik yang disosialisasikan dan dijalankan. Integritas, rasa hormat dan martabat harus dijalankan dan dibuat secara tertulis,” ujar Didik.
Ketua PIEC, Pipip A. Rifai Hasan menyatakan pendapat yang senada. “Manusia tidak boleh mengambil hak orang secara sembarangan, dimana yang dilakukan oleh Israel mengambil tanah masyarakat Palestina merupakan hal yang dilakukan secara sembarangan. Keagamaan tidak bisa dijadikan alasan untuk menjajah dan mengambil tanah hak milik orang lain,” ujarnya. (KS)