| Oleh Asyaro G Kahean
Pada prosesi menyesal menuju peningkatan nilai kesadaran, tentu keberadaan akal harus dipergunakan. Ya…! Akal harus menghidupkan pikiran hingga menjangkau hati dan perasaan; Agar menjadi kekuatan berinisiatif memilih cara yang sesuai dengan apa yang dikehendaki Alkhaliq (iradah). Manakala arah penyesalan itu menuju taubatan nashuha, dalam setiap berinisiatif, teriringkan dengan dinamika logika yang tersesuaikan pula dengan tuntunan wahyu.
Mungkin saja banyak orang yang memahami bahwa penyesalan itu bersarang pada kemunculan perasaan dari qalbu yang tercemar. Pada situasi demikianlah, agaknya, iblis selalu bermain bahkan cenderung memainkan peran antagonistiknya; Bahwa pada hati seakan-akan menjadi sumber kebenaran mutlak.
Padahal, manakala hati tercemari perasaan hawa nafsu, dapat saja menutup kesadaran sebagaimana dialami serta dilakukan Siti Hawa yang pernah tergiur bujukan iblis (walau sesaat peristiwa).
Peranan iblis laknatullah dalam hal ini adalah membesar-besarkan parasaan hingga mencemari hati Siti Hawa juga Nabi Adam As, di atas janji-janji palsu. Di atas kata hati seperti ini pula agaknya, kesadaran berlogikanya Adam As dan Siti Hawa tertutupi dorongan perasaan berjenis hawa nafsu.
Itu artinya, hati dapat memiliki kerentanan yang tinggi. Sehingga, hati tidak punya kesanggupan bertahan juga tidak berkemampuan menerjemahkan kehendak Allah dalam perintah serta laranganNya. Akal pikiran pula yang perlu dikuatkan untuk menerjemahkan kehendakNya.
Hati yang tercemari dengan kuatnya perasaan hawa nafsu, dapat saja sebagai penodaan di atas diri sendiri, sebagaimana dialami Adam As dan Siti Hawa. Terbuktikan dalam kisah, keberadaan kata hati tidak selalu suci dalam menginisiasi pilihan.
Buah khuldi larangan Allah jadi sasaran, sudah. Dan hal itu membuat Adam As dan Siti Hawa pun tergelincir, sekaligus sebagai alasan Allah menempatkan moyangnya manusia di permukaan bumi fana.
Pada gilirannya, penyesalan menjadi bagian penting guna menata hati di atas kesadaran lebih baik. Hak inisiatif dikuatkan dengan potensi akal dan pikiran untuk menekan rasa penyesalan sekaligus memunculkan kesadaran yang termuati ajaran taubatan nashuha. Dengan begitu, Allah bukakan pula harapan tentang kehidupan surga sebagai dambaan pada kehidupan mendatang.
Ada korelasi erat antara hati (perasaan) dengan akal (pikiran) yang dipaparkan di atas ajaran taubatan nashuha. Korelasi ini, setidaknya, dapat menjadi daya guna menyatukan keseimbangan tingkah-laku, hingga berkreasi pada nilai-nilai duniawi dengan kehidupan ukhrawi.
Bukankah Nabi Adam AS yang awalnya merasakan nikmatnya alam surga kemudian Allah berikan pemahaman pada ajaran taubatan nashuhah di muka bumi? Ini ajaran pertama. Pada ajaran ini laksana jalan rindu yang terbukakan untuk mengatur tata laku dan harapan agar Adam As dan keturunannya mendambakan surga sebagai tempat kembali terbaik, terindah, ternyaman, termegah, dan termewah.
Taubatan nashuha sebagai salah satu cara terefektif dalam pencapaian dambaan dimaksud. Hal semacam tersebut, semakin dipastikan berada pada lingkup kehendak mutlak atau iradahNya selaku Yang Mahakuasa.
Allahu a’lam bish shawwab | Moga bermanfaat
Artikel ini pernah tayang di independenmedia