IMBCNews – JAKARTA – BANGSA Jepang yang dikenal dengan etos kerja dan loyalitas yang tinggi pada perusahaan untuk bangkit dari puing-puing Perang Dunia II sehingga mencapai kemajuan seperti saat ini, generasi mudanya di era now ternyata sudah jauh berubah.
Seperti dilaporkan oleh Deutsche Welle dan dikutip kompas.com (28/5), semakin banyak pekerja di Jepang melakukan “quiet quitting” – istilah yang muncul di Amerika Serikat pada 2022 untuk karyawan yang bekerja minimalis atau sekadarnya.
Namun di Jepang, istilah quiet quitting ini memiliki makna yang sedikit berbeda, dan cukup mengagetkan para karyawan yang telah terbiasa bekerja keras. Kini, semakin banyak orang Jepang yang memilih ngantor tepat waktu dan pulang sesegera mungkin. Mereka tidak ingin mencari pujian atau pun promosi dari atasan mereka.
Mereka juga tidak tertarik dengan prospek gaji tinggi jika menambah beban pekerjaan. Bahkan, bonus terkait kinerja pun tidak terlalu mereka pedulikan.
Menurut hasil penelitian terhadap 3.000 pekerja usia 20 – 59 tahun yang dilakukan lembaga penelitian tenaga kerja berbasis di Tokyo, Mynavi Career Research Lab., sekitar 45 persen mengatakan, mereka hanya akan bekerja sebatas yang diwajibkan saja.
Yang paling banyak mengaku melakukan quiet quitting adalah mereka yang masih berusia 20-an dan segudang alasan diberikan mengapa para karyawan di Jepang tidak lagi memberikan segalanya untuk perusahaan mereka.
Bagi Issei yang berusia 26 tahun, jawabannya sederhana: Ia ingin memiliki lebih banyak waktu untuk melakukan hal-hal yang disukainya.
“Saya tidak membenci pekerjaan saya, dan saya tahu bahwa saya harus bekerja untuk membayar tempat tinggal dan berbagai tagihan, tapi saya lebih suka bertemu dengan teman-teman saya, bepergian, atau mendengarkan musik,” ujar Issei, yang meminta agar nama keluarganya tidak disebutkan.
“Saya tahu bahwa kakek saya, dan bahkan generasi orang tua saya berpikir bahwa mereka tidak punya pilihan selain bekerja keras dan menghasilkan lebih banyak uang. Saya tidak mengerti logika berpikir macam itu,” tambahnya.
“Saya melihat, lebih baik menyeimbangkan antara pekerjaan dan hal-hal yang ingin saya lakukan di luar kantor. Saya yakin, sebagian besar teman saya juga merasakan hal sama,”.
Lebih banyak waktu pribadi
Sedangkan hasil studi Mynavi menyimpulkan, memiliki lebih banyak waktu untuk diri sendiri adalah motivasi utama sebagian besar orang melakukan quiet quitting.
Sebagian mengaku jumlah pekerjaan yang mereka lakukan sudah sepadan dengan bayaran yang diterima.
Mereka juga mengaku puas dengan kontribusi yang mereka berikan dan tetap merasa ada pencapaian dari pekerjaan mereka. Sebagian lainnya mengaku bekerja secukupnya demi bertahan hidup, karena mereka merasa kontribusi terhadap perusahaan tidak dihargai.
Tak hanya itu, mereka juga tidak tertarik untuk naik jabatan atau naik level di karier mereka. “Banyak anak muda yang melihat orang tua mereka mengorbankan hidup untuk perusahaan, lembur berjam-jam, mengorbankan kehidupan pribadi mereka,” ujar Sumie Kawakami, dosen ilmu sosial Universitas Yamanashi.
“Mereka kini tahu bahwa itu bukanlah hal yang mereka inginkan. Dulu, kantor akan membayar upah yang adil dan memberikan tunjangan sehingga orang akan tetap bekerja di perusahaan yang sama sampai pensiun,” katanya kepada DW.
“Namun sekarang berbeda, banyak perusahaan berusaha memangkas biaya, tidak semua staf kini memiliki kontrak kerja penuh, serta gaji dan bonus tidak lagi sebesar dulu,” tambahnya.
Menurut Kawakami, semakin banyak orang yang tidak merasa berkewajiban untuk mengorbankan diri untuk perusahaan. Juga sejak pandemi, banyak orang yang mulai mempertanyakan prioritas mereka. Generasi dewasa muda kini mulai “sulit menerima konsep komitmen seumur hidup untuk satu perusahaan,” kata Kawakami.
Perubahan sikap
Profesor sosiologi budaya di Universitas Chuo Tokyo, Izumi Tsuji mengatakan bahwa pengalamannya dengan anak muda membuatnya menyimpulkan hal yang sama.
“Ada perubahan besar dalam sikap terhadap pekerjaan di kalangan anak muda dibanding generasi saya yang berusia 50-an,” katanya.
“Dulu, para karyawan sangat setia kepada kantor mereka, bekerja berjam-jam, bekerja lembur tanpa bayaran, dan tidak ingin berpindah perusahaan,” katanya.
“Sebagai imbalannya, mereka dan keluarga mereka dinafkahi sampai mereka pensiun.” Saat ini, anak muda justru ingin “berkonsentrasi pada hobi mereka, lebih bebas dan punya pekerjaan serta kehidupan pribadi yang lebih seimbang,” katanya.
Tsuji melihat pergeseran ini sebagai perubahan yang disambut baik, terutama dengan tingginya tuntutan dari perusahaan di Jepang terhadap karyawan mereka selama beberapa dekade.
“Ini merupakan hal yang baik,” kata Tsuji. “Dulu orang-orang terlalu loyal pada perusahaan mereka dan tidak memiliki kehidupan di luar kantor.
Sekarang, jika mereka punya lebih banyak waktu luang, mungkin mereka akan menghabiskan lebih banyak uang dan membantu perekonomian, atau yang lebih penting lagi, bertemu dengan pasangan dan berkeluarga. Hal ini penting karena jumlah penduduk semakin berkurang.”
Penulis yang pernah bekerja 10 tahun di sebuah perusahaan raksasa Jepang (Marubeni Corp.) sampai 1980-an , memang menyaksikan betapa tingginya etos dan loyalitas pekerja Jepang pada perusahaan.
Mereka hampir tak pernah sakit, dan walau malam hari melakoni kehidupan pribadi seperti main mahyong (damdas Jepang), minum-minum (sake dan miras lain) atau pergi ke klub-klub malam mendampingi klien sampai dini hari, berangkat ke kantor selalu tepat waktu .
Dari hasil survei saat itu, mereka lebih menganggap penting kantor ketimbang keluarga dengan menjawab questioner siapa apa yang akan dihubungi dulu jika terjadi gempa bumi atau bencana alam?. Jawabnya: “Kantor, baru keluarga!”. imbcnews/Theo/sumber diolah: Deutsche Welle/kompas.com/ns)