Oleh Nurzengky Ibrahim
IMBCNEWS — Pada masa-masa awal berlangsungnya Agresi Militer Belanda telah menyebabkan perpindahan Ibukota Negara Republik Indonesia: dari Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali agresi yang dilakukan negara kincir angin untuk menggagalkan Revolusi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Agresi militer itu didorong keinginan Ratu Ratu Wilhelmina sebagai Kepala Negara di wilayah Netherland. Ia memerintah sejak 1880 hingga 1962.
Dalam beragam catatan sejarah, Agresi Militer Belanda I di Indonesia berlangsung 21 Juli 1947 hingga 5 Agustus 1948. Dan Agresi Militer Belanda II tercatat 19 Desember 1948 hingga 5 Januari 1949.
Pada Agresi Militer Belanda I dikenal lebih bersifat ‘aksi polisionil’ atau merupakan Operatie Product, dengan tujuan utama; Melemahkan kekuatan makna revolusi kemerdakaan Republik Indonesia. Serangan demi serangan militer yang digencarkan pasukan agresi fase ini, untuk menguasai kota-kota besar khususnya di Sumatera dan Jawa. Target serangannya meliputi penguasaan sumber daya alam, khususnya minyak dan pertambangan lainnya.
Sedangkan Agresi Militer Belanda II, lebih terpusat melumpuhkan Yogyakarta –Ibukota RI sejak 4 Januari 1946– dengan target utama: penangkapan tokoh-tokoh revolusi kemedekaan termasuk Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Pada celah-celah ancaman ini, sebelum memasuki Agresi Militer Belanda II yang dimulai 19 Desember, Presiden Soekarno di Yogyakarta, pada 20 Mei 1948, mencanangkan: Hari Kebangkitan Nasional yang disingkat Harkitnas.
Menelaah Harkitnas sebagaimana dicanangkan Presiden RI Pertama saat itu, ditetapkan agar Harkitnas diperingati oleh seluruh bangsa Indonesia, tiap-tiap 20 Mei. Pemilihan tanggal diidentikan dengan tanggal berdirinya Boedi Oetomo: 20 Mei 1905; Sebuah organisasi pergerakan nasionalis pribumi pertama, di negara pendudukan yang kala itu bernama Hindia Belanda.
Boedi Oetomo yang kemudian hari ejaannya disesuaikan menjadi Budi Utomo, didirikan dengan tujuan untuk memajukan kehidupan masyarakat pribumi dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara seperti politik, ekonomi, dan sosial. Budi Utomo, dalam pandangan tokoh-tokoh revolusi Kemerdekaan RI merupakan simbol ‘Kebangkitan Nasional Indonesia’ dan pada gilirannya tanggal berdirinya diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Pada masa-masa genting dalam situasi perang mempertahankan revolusi kemerdekaan melawan pasukan Agresi Belanda, penetapan Harkitnas tersebut telah menginspirasi masyarakat Indonesia dari masa ke masa. Hanya saja, tantangan untuk memahamkan rasa nasionalisme ke relung hati generasi muda saat ini sepertinya belum benar-benar efektif. Tantangan demikian, sepertinya masih menjadi ‘pekerjaan rumah’ para tokoh bangsa untuk menemukan cara lebih efektif dalam upaya memahamkan jiwa Harkitnas hingga dapat terhayati dengan baik, benar serta lebih bermanfaat bagi kemajuan anak-anak bangsa di tanah air.
Setiap momentum peringatan Hari Kebangkitan Nasional, seharusnya mampu mengisi relung bernilai positif dalam kehidupan di berbagai lini, agar generasi berikutnya dinamis pada ragam kesertaannya melaksanakan program-peogram nasional serta pengembangan kewilayahan di Indonesia agar lebih baik.
Aksi premanisme yang memprihatinkan
Aksi-aksi premanisme dan tingginya kriminalias yang akhir-akhir ini bermunculan ke permukaan, penulis pandang bukanlah masalah sederhana atau sepele. Masalah ini perlu intens ditelaah menjadi pokok bahasan oleh penyelenggara negara serta kaum intelektual ‘non kerah putih’, untuk ditangani dan ditanggulangi dengan cara-cara elegan, berkeadilan dan lebih manusiawi.
Langkah-langkah bangus, biasanya diukir semenjak lama; Dalam proses proyeksi yang dinamisasinya diarahkan pada kemampuan membuka proteksi jumud kepada nilai-niai moralitas kebangsaan, dalam menguatkan nasionalisme berkeadilan yang damai. Dalam hal ini, tingginya angka pengangguran di tanah air, agaknya, turut menyumbang dinamika premanisme dan kriminalitas yang berujung pada rasa keprihatinan yang tinggi pula.
Pengangguran terbuka yang bermunculan, boleh jadi disebabkan kurangnya lapangan pekerjaan yang membawa harmonisasi kebangsaan. Lain itu, boleh jadi juga para pencari kerjanya cenderung memiliki kekurangan, antara lain kurangnya mendalami bidang ilmu pengetahuan dan ketrampilan. Akibatnya, mereka tidak mampu mengakses kesempatan yang ada untuk memperoleh pekerjaan dengan penghasilannya lebih layak.
Faktor kurangnya lowongan pekerjaan dan lemahnya sumber daya manusia (SDM) pencari kerja, telah menjadi dua sisi mata uang yang proteksinya mesti dibuka. Kebijakan pemerintah, dalam hal ini, hendaknya dapat menjadi bagian penting sebagai alat pembuka; Dengan tujuan untuk menekan angka premanisme dan kriminalitas yang disebabkan oleh tingginya tingkat pengangguran.
Pada momentum Harkitnas 2025, dapat juga menjadi tonggak kesempatan dalam mengisi makna kebangkitan tertuju pada generasi muda bangsa Indonesia, di tengah-tengah hiruk-pikuk masalah preminisme dan tingginya krimnalitas. Relung hati generasi muda, hendaknya pula segera dapat terisi dengan budaya kerja yang apik, bertata moral santun, harmonis antar sesama, hingga terjadinya peningkatan kesejahteraan yang berkeadian, damai lagi mendamaikan. Semoga…. (*)