Israel Berupaya Hentikan Program Nuklir Iran

Ilustrasi pengebom B-2 AS Stealth, meluncurkan bom penghancur bunker GBU-57 MOP berbobot 13,6 ton. (ilustrasi: dok. USAF)

IMBCNEWS – JAKARTA – ISRAEL yang saat ini diduga memiliki 90 –  200-an hulu ledak nuklir tidak rela jika seteru bebuyutannya, Iran juga sama sama memilikinya, sehingga dengan berbagai upaya,  mencegahnya.

Serangan udara masi dilancarkan Israel, Jumat dini hari (13/6), konon menggunakan pesawat-pesawat tempur siluman F-35 Lightning,  F-16 Fighting Falcon dan F-15 Eagle (buatan AS) , menyasar tiga situs nuklir Iran, menewaskan belasan petinggi AB dan Garda Revolusi Iran (IRGC) serta  24 ilmuwan nuklir.

Tiga fasilitas pengayaan Uranium yang selangkah lagi bisa memproduksi plutonium yakni Natanz, (140 mil selatan Teheran) Fordo 32 km timur laut Qom) dan Isahan (433 km selatan Teheran) dilaporkan sejumlah media mengalami kerusakan berarti akibat serangan udara Israel.

Hanya AS yang mampu menghancurkan reaktor nuklir Fordo, yang dibangun 80 km di bawah permukaan tanah, menggunakan  bom khusus GBU-57 Bunker Buster berbobot 13,6 ton.

Sebenarnya jauh sebelum peristiwa tersebut terjadi, pada 2015  kesepakatan nuklir pernah dibuat antara Iran dengan negara-negara besar lainnya, termasuk AS,  dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) bertujuan untuk membatasi program nuklir Iran.

Barack Obama yang menjabat sebagai presiden AS pada saat itu menyebut perjanjian tersebut sebagai “debat kebijakan luar negeri paling penting yang pernah terjadi di negara Amerika sejak invasi Irak.”

ABC News, Jumat (20/6) menyebutkan, JCPOA adalah sebuah perjanjian internasional yang dibuat untuk mengatur dan membatasi program nuklir Iran agar tidak digunakan untuk membuat senjata nuklir.

Sebagai gantinya, Iran mendapat keringanan sanksi ekonomi dari AS dan Uni Eropa karena mereka khawatir terhadap program nuklir tersebut. Mereka lalu mencabut sanksi minyak dan keuangan serta membebaskan sekitar 100 miliar dolar AS aset Iran yang dibekukan.

 

Kesepakatan JPOA

Kesepakatan JCPOA ditandatangani pada 14 Juli 2015 dengan mellibatkan lima anggota tetap dari DK PBB, yakni China, Prancis, Rusia, Inggris, Amerika Serikat ditambah Jerman, Uni Eropa, dan Iran sendiri.

JCPOA dibuat dengan tujuan utama memastikan program nuklir Iran hanya digunakan untuk tujuan damai, dan bukan untuk membuat senjata pemusnah massal ,nuklir.

Pengawasan dilakukan dengan menerapkan sistem yang komprehensif, intrusif, dan belum pernah terjadi sebelumnya. dan resmi diberlakukan pada 16 Januari 2016 setelah Badan Energi Atom Internasional (IAEA) memastikan Iran telah memenuhi sejumlah kewajiban awal dari perjanjian tersebut.

Dalam kewajiban tersebut, Iran mengirim sekitar 11.300 kg uranium yang diperkaya ke luar negeri, membongkar dua pertiga sentrifus (komponen alat untuk memisahkan campuran zat) serta membuka akses fasilitas nuklirnya untuk inspeksi internasional.

Dalam perjalanannya kemudian, AS dan sejumlah negara keluar dari kesepakatan JCPOA karena menolaka klausul yang disebut “ketentuan sunset” (sunset provisions), yakni pembatasan terhadap jumlah dan jenis alat nuklir Iran

Israel khawatir bahwa setelah masa berlakuhabis, Iran bisa melanjutkan program nuklirnya. Mereka juga berpendapat bahwa sanksi yang sudah dicabut selama Iran mematuhi kesepakatan justru memberi Iran lebih banyak uang, yang bisa digunakan mendanai kelompok teroris di Timur Tengah.

AS keluar JPOA

Presiden AS Donald Trump menarik AS keluar dari kesepakatan tersebut pada 8 Mei 2018 dan menerapkan kembali sanksi ekonomi terhadap Iran.

“Jelas bagi saya bahwa kita tidak dapat mencegah bom nuklir Iran berdasarkan struktur perjanjian yang sudah rusak dan busuk saat ini,” katanya.

Pemerintahan Trump juga mengatakan bahwa Iran memiliki itikad buruk, dan kesepakatan tersebut dan menguntungkan rezim iran. Sebelumnya, para sekutu AS telah mendesak untuk tetap berada dalam perjanjian.

Para pemimpin Prancis, Jerman, dan Inggris menyatakan “penyesalan dan kekhawatiran” mereka atas keputusan Trump, dan menyerukan Iran untuk mempertahankan komitmennya berdasarkan kesepakatan tersebut.

Sejak AS keluar dari kesepakatan nuklir pada 2018, Iran mulai mengabaikan beberapa komitmen yang sebelumnya disepakati, seperti pembatasan jumlah uranium atau alat-alat nuklir yang mereka boleh miliki.

Ditambah, saat Qassem Soleimani, pemimpin Pasukan Quds elit Iran, tewas dalam serangan udara AS pada Januari 2020, pemerintah Iran mengumumkan tidak akan lagi mematuhi batasan operasional apa pun pada program nuklirnya.

Awal tahun 2023, IAEA melaporkan mereka menemukan jejak uranium yang diperkaya hingga hampir mencapai tingkat yang biasa digunakan untuk membuat senjata nuklir.

Diketahui Iran mempercepat proses pengumpulan bahan baku nuklir untuk membuat senjata. Sebelumnya, butuh waktu lebih dari satu tahun bagi Iran untuk mengumpulkan cukup uranium. Namun sekarang, waktu yang dibutuhkan hanya 3 sampai 4 bulan

saja.

Meski begitu, IAEA (Badan Energi Atom Internasional) masih berada di Iran dan terus memantau kegiatan nuklir untuk memastikan bahwa program mereka tetap digunakan untuk tujuan damai, bukan untuk senjata.

Selama masa jabatan keduanya, Trump telah mengancam kemungkinan tindakan militer terhadap Iran untuk mencegahnya mengembangkan senjata nuklir.

Dalam beberapa minggu terakhir, delegasi dari Iran dan AS telah bertemu untuk beberapa putaran perundingan nuklir, meskipun pembicaraan terhenti di tengah konflik antara Israel dan Iran.

Pada Kamis, (19/6/2025) sekretaris pers Gedung Putih Karoline Leavitt membacakan pernyataan dari Trump yang menyatakan bahwa presiden yakin ada “peluang besar untuk negosiasi” dalam waktu dekat.

Yang dirasakan tidak adil, Israel sendiri diduga sudah memiliki 90 sampai 200-an hulu ledak nuklir sejak era 1980-an, diproduksi sejak sekitar 1980-an di fasilitas nuklir rahasia di Dimona, Gurun Negev yang tidak tersentuh IAEA karena Israel tidak ikut perjanjian nonproliferasi senjata nuklir (NPT). (imbcnews/Theo/ABC/ns)