IMBCNews – JAKARTA – SEMBILAN warga sipil tewas dalam ledakan liar saat dilakukan pemusnahan amunisi kadaluwarsa oleh TNI-AD di Desa Sagara, Kec. Pamengpeuk, Garut, Senin pagi (09.30 WIB).
Pihak TNI seperti mantan KASAD Jenderal TNI (Purn) Dudung Abdurrahman, mantan Kepala BAIS Laksamana Muda TNI (Purn) Soleman J. Pontoh dan Kadispen TNI-AD Brigjen Wahyu Yudhayana menyebutkan, warga sipil berdatangan ke lokasi, dulu-mendului untuk mengumpulkan sisa-sisa selongsong peluru dari tembaga yang memiliki nilai jual.
Mereka intinya memuji sikap TNI di lapangan, telah berbaik hati memberi kesempatan pada warga untuk mengumpulkan sisa-sisa amunisi untuk dijual, dengan melonggarkan standar prosedur operasi (SOP) sehingga terjadi musibah itu.
“TNI serba susah. Kalau warga tidak diizinkan mengambil sisa-sisa amunisi, disangka macam-macam,. Dalam kasus ini TNI sudah berbaik hati, mengijikan mereka memanfaatkannya sehingga timbul korban. TNI lagi yang disalahkan, ” tutur Pontoh.
Sebaliknya Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyebutkan, warga sipil yag berada di lokasi kejadian sudah bekerja dengan TNI-AD sekitar 10 tahunan setelah area yang jauh dari permukiman penduduk itu digunakan untuk pemusnahan amunisi kadaluwarsa.
Hal itu yang perlu dikaji secara transparan. Apa bentuk kerjasama antara warga sipil dan anggoota TN-AD yang bertugas dalam pemusnahan amunsisi itu?.
Hal lain yang perlu disoroti, korbannya selain sembilan warga sipil, ada empat anggota TNI-AD yakni Kolonel Cpl (Corps Peralatan TNI-AD) Antonius Hermawan yang menjabat kepala gudang Pusat Munisi (Gupusmu) III, Puspalad TNI-AD, Mayor Cpl Anda Rohanda, Ka Sksi Adm. (Gupusmu) III Puspalad dan dua anggota Gupusmu III Koptu Cpl Eri Dwi Priambodo dan Pratu Aprio Setiawan.
Mereka adalah sosok yang semestinya menguasai standar prosedur operasioal (SOP) dan lika-liku pemusnahan amunisi terutama risiko ancaman nyawa yang bisa terjadi.
Setelah amunisi ditumpuk di kedua sumur, lalu diledakkan, semestinya mereka tetap berada di luar zona berbahaya, karena bisa jadi tidak semua amunisi meledak, jadi harus dituggu sampai kondisi benr-benar aman.
“Kelalaian, keababain, atau apa, “ tanya sejumlah netizen kenapa hal itu bisa terjadi pada personil yang kompeten, terlatih dan terbiasa menangani pemusnahan munisi tersebut.
Sebelumnya Kadispen TNI-AD Brigjen Wahyu menjelaskan, peledakan amunisi berjalan sempurna di dua sumur yang sudah disiapkan, namun kemudian musibah terjadi saat sumur ketiga yang disiapkan untuk memusnahkan sisa detonator tiba-tiba meledak.
Harus pastikan aman dulu
Menurut pengamat militer Anton Aliabbas, seharusnya petugas (yang kemudian gugur) menunggu beberapa jam, untuk memastikan kondisi sudah aman betul, mungkin dengan menyiramkan air lebih dulu agar tejadi pendinginan atau dilakukan pengecekan dengan robot yang dikendalikan dari jauh (remote).
Meledaknya gudang amunisi bukan yang pertama, yang terbesar mengguncang Mako Marinir di Cilandak, Jakarta Selatan, 29 Oktober 1984 menewaskan enam orang dan 11 luka-luka serta meludeskan 2.000 ton amunisi terdiri dari peluru roket BM-14 (Rusia), howitzer 122 mm, mortir, granat.
Sejak itu, beberapa kali terjadi ledakan di guang mesiu dan sebelumnya kejadian di Pamengpeuk, truk pengangkut mesiun satuan Kostrad terbakar di tol Pandaan, Pasuruan, 5 Mei lalu, menewaskan satu prajurit.
Investigasi secara menyeluruh dan transparan termasuk kenapa anggota TNI bisa jadi korban, juga kehadiran warga sipil di lokasi pemusnahan amunisi, perlu diilakukan agar kejadian serupa tak berulang terus. (imbcnews/Theo/sumber diolah)