IMBCNews – Jakarta – MANTAN ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga bekas Menkopolhukam, Mahfud MD menilai, kasus korupsi di peradilan saat ini yang menyeret nama-nama hakim sedang berkembang sebagai perilaku dan praktek yang sangat jorok.
“Sekarang juga yang tumbuh adalah korupsi peradilan jorok sekali ya karena sekarang kasus korupsi yang dibawa ke pengadilan itu menjadi korupsi baru,” ujar Mahfud dalam dialog publik bertemaan: “Enam Bulan Pemerintahan Prabowo” pekan lalu, yang dikutip dari kanal Youtubenya, Minggu (20/4).
Mahfud MD di berbagai kesempatan juga mengungkapkan kegeramannya dengan semakin marak dan brutalnya praktek korupsi termasuk di lingkungan peradilan.
Dalam kampanye Pilpres pada 2024 lalu berpasangan dengan cawapres mantan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, Mahfud menyatakan obsesinya untuk membasmi korupsi jika menang.
“Separuh persoalan bangsa dan negara terselesaikan jika praktek korupsi berhasil dibasmi, “ serunya seraya menambahkan, saat ini korupsi hampir terjadi di seluruh lembaga negara di negeri ini, baik eksekutif, legislatif, mau pun yudikatif.
“Hampir tidak ada lembaga sekarang ini yang tidak ada kasus korupsinya,” ujar Mahfud dikutip dari kanal Youtubenya, Minggu (20/4/2025).
Ia bahkan menilai praktek korupsi di lingkungan pemerintahan jorok sekali, dan jauh lebih dahsyat dibandinkan dengan praktik yang terjadi di era pemerintahan Presiden Soeharto.
Pada era itu, kata Mahfud, korupsi dilakukan oleh satu “tangan”, yaitu korporasi negara yang dikelola Soeharto dan kroninya.
“Kali ini lebih parah, nilainya juga antastis, triliunan rupiah. Dulu waktu awal reformasi (1998), mendengar kasus korupsi Rp10 miliar saja kaget. Kok gede banget, “ gitu. Sekarang hampir tiap hari kita dengar berita korupsi bernilai triliunan rupiah,” ujar Mahfud.
Mahfud menilai, sekarang, kasus yang dibawa ke peradilan, sering menjadi lahan korupsi baru bagi sejumlah pihak di bidang penegakan hukum.
Kasus fasilitas ekspor CPO
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu juga menyinggung empat hakim yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap penanganan perkara ekspor crude palm oil (CPO) yang divonis lepas.
“Kasus ada unsur korupsinya, dibilang bukan korupsi, dianggap kasus perdata, sehingga tiga pimpinan korporasi yang makan uang triliunan rupiah dilepas” ujar Mahfud.
Menurut Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidan Khusus Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Abdul Kohar, Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta diduga menerima suap vonis lepas kasus ekspor CPO Rp 60 miliar.
Suap diberikan agar hakim memberikan vonis ontslag atau putusan lepas terhadap tiga perusahaan yang terlibat yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
Arif Nuryanta awalnya menyerahkan ung Rp 4,5 miliar kepada ketiga hakim. Lalu pada September-Oktober 2024 ia menyerahkan lagi Rp 18 miliar kepada Djuyamto (DJU). Djuyamto membagi uang tersebut dengan Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AL) yang diserahkan di depan Bank BRI Pasar Baru Jakarta Pusat.
“ASB, DJU, dan AM masing-masing menerima uang dollar AS setara Rp 4,5 miliar, Rp 6 miliar, dan Rp 5 miliar.
Mahfud MD mengingatkan, praktek korupsi di pengadilan akan menjadi sangat berbahaya dan seakan menjadi jaringan yang terjalin dalam konspirasi antara oknum lintas instansi penegak hukum.
Kolaborasi BUMN dan Tambang Liar
Kasus megakorupsi lain yang terungkap baru-baru ini a.l terkait penambangan ilegal di wlayah Izin Usaha Pertambangan PT Timah antara 2015-2022 yang merugikan negara Rp 300 triliun lebih.
Setelah itu publik dikejutkan lagi oleh kasus dugaan korupsi di PT Pertamina (Persero) terkait tata kelola minyak mentah dan produk kilang periode 2018–2023 yang diperkirakan merugikan negara dengan nilai sangat fantastis, mendekati Rp1 quadriliun (Rp1.000 triliun).
Kerugian negara berasal dari beberapa komponen utama, a.l. ekspor minyak mentah ilegal yang menyebabkan kerugian sekitar Rp35 triliun, impor minyak mentah melalui perantara (broker) dengan kerugian sekitar Rp2,7 triliun.
Selanjutnya, impor BBM melalui broker (degan nilai kerugian Rp9 triliun), pemberian kompensasi BBM yang tidak sesuai prosedur (nilai kerugian Rp126 triliun) serta subsidi BBM yang tidak tepat sasaran (dengan nilai kerugian Rp21 triliun).
Pada periode 1 Januari 2004 – 31 Desember 2024, KPK mencatat ada 1.835 kasus korupsi di Indonesia dari 13 instansi atau profesi yakni:
1. Pegawai swasta: 468 kasus
2. Eselon 1-4: 432 kasus
3. DPR dan DPRD: 360 kasus
4. Profesi lain: 240 kasus
5. Wali kota/Bupati: 171 kasus
6. Kepala lembaga/kementerian: 41 kasus
7. Hakim: 31 kasus
8. Gubernur: 30 kasus
9. Pengacara: 19 kasus
10. Jaksa: 13 kasus
11. Korporasi: 12 kasus
12. Komisioner: 8 kasus
13. Polisi: 6 kasus
14. Duta besar: 4 kasus
Korupsi makin marak sejak diberlakukannya revisi UU KPK No. 19 tahun 2019 yang memuat berbagai pasal pelemahan KPK, menggantikan UU No 30 tahun 2002.
Komitmen para pemimpin dan politisi untuk membasmi korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa itu agaknya makin melemah. Mau dibawa ke mana negeri ini? Mau dibawa ke mana negeri ini? (imbc/Theo/sumber diolah)