Liga Korupsi Indonesia
IMBCNews – Jakarta – SAKING banalnya atau menjadi isu yang selalu muncul tanpa solusi, sehingga dianggap biasa, bahkan makin menjadi-jadi dengan nilai makin wow atau mencengangkan, memicu medsos memuat tulisan “nyeleneh” tentang praktek korupsi di negeri ini.
Dugaan kasus korupsi tata kelola impor-ekspor minyak mentah dan BBM serta dugaan pengoplosan BBM oleh Pertamina yang diperkirakan merugikan negara sampai mendekati angka quadriliun rupiah seperti yang dihebohkan di media pekan ini menempatkan kasus korupsi paling akbar atau juara sementara “Klasemen Liga Korupsi Indonesia”.
Jumlah tersebut didasarkan pada hitungan kasar. Dalam kasus korupsi di PT Pertamina dan sejumlah anak perusahaannya itu, negara diduga mengalami kerugian Rp 193,7 triliun per tahun dari 2018 sampai 2023.
Taksiran kerugian negara Rp193,7 triliun pada 2023 meliputi ekspor minyak mentah ilegal Rp 35 triliun, impor minyak mentah melalui broker Rp 2,7 triliun, impor BBM melalui broker Rp 9 triliun, kompensasi BBM tak sesuai prosedur Rp 126 triliun, dan subsidi BBM tak tepat sasaran Rp 21 triliun.
Tujuh tersangka yakni para petinggi PT Pertamina dan anak perusahaannya sudah ditetapkan dalam kasus perkara dugaan skandal mega korupsi itu dan tak mustahil, tersangka dan taksiran nilai kerugian negara juga lebih besar lagi.
Sementara ranking kasus korupsi di PT Timah Tbk yang merugikan negara Rp 300 triliun pun bergeser ke urutan kedua. Kasus korupsi di perusahaan BUMN ini menyangkut tata niaga komoditas timah di Bangka Belitung, menyeret suami aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis, ke penjara.
Berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kerugian ini meliputi kerugian lingkungan Rp 271 triliun dan kerugian keuangan negara akibat sewa smelter hingga pembelian bijih dari penambang timah ilegal mencapai Rp 29 triliun.
Sementara urutan Klasemen Liga Korupsi Indonesia di urutan ketiga setelah kasus timah yakni kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan kerugian negara Rp 138 triliun.
Kasus itu berawal dari krisis moneter 1997 ketika 48 bank dalam negeri collapse dan menerima suntikan dana Rp 147,7 triliun dari pemerintah, namun, seiring berjalannya waktu, dana itu tidak dikembalikan para pihak bank kepada negara.
Di bawah ketiga kasus mega korupsi itu, masih terdapat kasus penyerobotan lahan PT Duta Palma Group yang disebut merugikan negara Rp 78 triliun; Kasus PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) Rp 37,8 triliun.
Skandal besar BUMN
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Zarnurrohman menyebut, dalam kurun lima tahun terakhir, aparat penegak hukum mengungkap kasus yang menjadi skandal besar di BUMN.
Menurut Zaenur, banyaknya skandal korupsi di perusahaan-perusahaan negara ini menunjukkan terdapat problem serius dalam tata kelola di BUMN.
“Muncul skandal yang kemudian mengakibatkan kerugian yang sangat besar diderita oleh negara dan diderita oleh masyarakat gitu ya,” ujar Zaenur saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (1/3).
Pihaknya melihat, persoalan di BUMN ini terus terjadi karena BUMN sebagai institusi badan usaha tidak bebas dari interes politik sehingga keiatan bisnis perusahaan plat merah itu tidak dilakukan secara profesional seperti di perusahaan swasta.
“Kalau di BUMN itu ada faktor ketidakprofesionalan di sana an juga faktor politik di sana,” tutur Zaenur.
Peneliti itu mengatakan, jabatan di BUMN banyak diduduki aktor politik yang belum tentu menguasai bidang tersebut. Di sisi lain, tata kelola BUMN dekat dengan praktik korupsi seperti penyuapan hingga kecurangan (fraud).
“Karena perusahaan dimiliki negara, para pejabat di BUMN tidak merasa institusi bisnis itu milik mereka, “ kata Zaenur dan menambahkan, sikap sama juga ditunjukkan oleh para komisaris dan direksi, jajaran Dewan Komisaris dan Dewan Direksi.
Banyaknya fraud di BUMN yang selama ini terjadi mengakibatkan nilai integritas di perusahaan pelat merah keropos, sementara fungsi pengawasan internal di BUMN tidak berjalan.
Menurut catatan, kasus korupsi makin menggila setelah revisi UU Korupsi dari UU No. 30/2002 mnjadi UU No. 19/2019 yang memuat 26 pasal pelemahan KPK.
Entah bagaimana sikap dan tanggungjawab para anggota fraksi di DPR saat itu yang notabene seluruhnya mendukung revisi UU tersebut, begitu pula Presiden RI ke-7 Jokowi yang memiliki hak prerogatif untuk paling tidak menundanya, tapi bergeming seribu bahasa.
Ayo ramaikan da angkat terus isu “Klasemen Liga Korupsi Indonesia” agar rakyat paham, mana yang pahlawan, mana yang penghianat bangsa dan negara! (imbcnews/Theo/ sumber diolah: kompas.com).