Oleh: *Khodijah Hulliyah, PhD.
IMBCNews- INDONESIA hari ini menghadapi tantangan besar: bagaimana mencetak generasi yang tak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki integritas moral dan komitmen kebangsaan yang kuat.
Terus terang pertanyaan di atas menstimulasi saya menggali titik krusial kurikulum integrasi–khususnya di PTKIN.
Dikotomi Sempit
Di tengah arus globalisasi, kemajuan teknologi, dan polarisasi identitas, kita sering terjebak pada dikotomi yang sempit: antara sains yang kering nilai, agama yang terpisah dari realitas sosial, dan kebangsaan yang rapuh menghadapi gempuran ideologi transnasional.
Namun sejarah bangsa kita telah menunjukkan bahwa integrasi sains, religiusitas, dan nasionalisme bukan hanya mungkin, tetapi juga esensial.
Tokoh-tokoh seperti BJ Habibie, Buya Hamka, Gus Dur, dan Syafii Maarif menjadi teladan bagaimana ilmu pengetahuan harus diiringi dengan kesadaran spiritual dan kecintaan pada tanah air.
Mereka adalah gambaran konkret dari generasi holistik yang kita dambakan: ilmuwan yang humanis, pemikir agama yang inklusif, dan warga negara yang berjiwa patriot.
Sains dan Etika
Kemajuan teknologi harus disertai dengan kesadaran moral dan tanggung jawab sosial. BJ Habibie, dengan kejeniusannya dalam teknologi penerbangan, selalu menekankan pentingnya etika dalam inovasi.
Emil Salim, ekonom lingkungan, menegaskan bahwa sains tanpa pertimbangan keberlanjutan hanyalah jalan menuju kehancuran.
Dalam konteks krisis iklim hari ini, kita membutuhkan ilmuwan yang tidak sekadar mengejar inovasi, tetapi juga memahami nilai keberlanjutan, keadilan, dan kemaslahatan bersama.
Religiusitas yang Mencerahkan
Agama semestinya menjadi cahaya yang membimbing manusia menuju kebaikan bersama, bukan sumber konflik atau eksklusivitas.
Buya Hamka, Kiai Sahal Mahfudz, dan Quraish Shihab menekankan bahwa Islam adalah agama yang membumi: hadir untuk menyelesaikan problem umat, bukan menciptakan sekat-sekat baru.
Tafsir Al-Azhar mengingatkan kita bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk hidup, bukan sekadar teks ritual. Fiqh sosial Kiai Sahal memperluas makna ibadah menjadi aksi nyata: memerangi kemiskinan, membela keadilan, dan menjaga lingkungan.
Kebangsaan Inklusif dan Berkeadilan
Dalam konteks Indonesia yang majemuk, nasionalisme bukan sekadar jargon, tetapi landasan hidup bersama. Gus Dur mengajarkan bahwa Pancasila adalah rumah besar bagi semua, tempat perbedaan dihargai sebagai rahmat, bukan ancaman.
Cak Nur menegaskan pentingnya menjembatani iman dan kemanusiaan dalam kerangka kebangsaan. Syafii Maarif mengingatkan bahwa nasionalisme yang sehat adalah yang berakar pada moralitas agama dan etika publik.
Kurikulum pendidikan kita harus menanamkan semangat ini: mencintai Indonesia bukan hanya di lisan, tetapi juga dalam tindakan nyata yang mendorong kemajuan dan keadilan.
Kurikulum Holistik
Dalam tulisan saya yang lalu, istilahnya adalah kurikukum integratif–memadukan keilmuan, keislaman dan keindonesiaan dalam satu tarikan nafas. Nomenklatur kurikulum holistik, sama sekali tidak mengubah substansi. Tapi jadinya kita punya banyak istilah teknis.
Makanya, membangun generasi holistik bukan sekadar soal menambahkan mata kuliah agama di fakultas sains atau sebaliknya, tetapi menciptakan cara berpikir lintas disiplin. Mahasiswa sains harus diajak memahami bahwa inovasi teknologi harus selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan.
Mahasiswa agama harus diajak keluar dari menara gading teks-teks klasik untuk menyelami realitas sosial kontemporer.
Semua bidang ilmu harus terhubung dalam satu benang merah: mencetak manusia Indonesia yang beriman, berilmu, dan berakhlak, yang menjawab tantangan zaman dengan solusi yang berpihak pada kemanusiaan..
Momentum perubahan ini ada di tangan kita. Sebagai pendidik, kita memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa kurikulum kita tidak hanya mencetak generasi yang cerdas, tetapi juga generasi yang peka terhadap problem bangsa dan umat manusia.
Inilah visi pendidikan Islam yang sejati: mencetak insan kamil—manusia paripurna—yang membawa maslahat bagi semesta. Lulusan pendidikan Islam, tentu saja, memuliakan ajaran Islam rahmatan lil alamiin.
Akhirnya, marilah kita bangun generasi masa depan dengan sains yang bermartabat, religiusitas yang mencerahkan, dan nasionalisme yang membebaskan. (**)
Penulis,
*Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Catatan: Tulisan senada telah diturunkan di media online yang lain.