BUKITTINGGI – Di jantung Kota Jam Gadang Bukittinggi, Sumatera Barat, ada sebuah lorong vertikal penuh cerita yang menghubungkan denyut ekonomi dan jejak sejarah: Janjang 40, atau dalam Bahasa Indonesia berarti “Anak Tangga 40.”
Meski namanya mengacu pada empat puluh anak tangga, kenyataannya ada lebih dari seratus anak tangga yang menyusun leretan curam ini, menghubungkan Pasar Bawah, Pasar Atas, hingga Pasar Banto, tiga simpul vital perekonomian kota.
Terletak di Kelurahan Benteng Pasar Atas, Kecamatan Guguk Panjang, Janjang 40 tidak sekadar jalan pintas dari pasar ke pasar.
Ia adalah saksi bisu dinamika kota sejak masa kolonial. Dibangun pada 1908 oleh pemerintah Hindia Belanda ketika Louis Constant Westenenk menjabat sebagai Asisten Residen Agam, Janjang 40 merupakan bagian dari upaya penataan kawasan niaga Bukittinggi kala itu.
H.Syahrul (72) saat ditemui IMBCNews.com, Rabu 14 mai 2025
“Tangga-tangga tua ini, terutama pada bagian paling atas yang sempit dan curam, masih dilalui kaki-kaki para pedagang dan pembeli hingga hari ini,” kata H. Syahrul salah seorang tokoh masyarakat nagari kurai kepada IMBCNews.com.
Pria 72 tahun warga Tigo Baleh ini menjelaskan, mereka naik turun dengan beban dagangan, seperti yang telah dilakukan generasi-generasi sebelumnya. Setiap langkah di atas batu-batu tua ini seolah menggema dengan napas masa lalu.
Bukittinggi, yang dahulu bernama Fort de Kock, memang terkenal dengan sistem jenjangnya.
Lebih dari setengah abad sebagai seorang pedagang dikawasan pasar atas, H. Syahrul mengatakan, selain Janjang 40, ada Janjang Gudang, Janjang Kampuang Cino, dan jenjang di Pasa Lereng yang menyambung ke Janjang Gantuang, yang dikenal sebagai jembatan penyebrangan pertama di Indonesia.
“Namun di antara semua itu, Janjang 40 punya keistimewaan tersendiri. Ia tak hanya menghubungkan pasar dan manusia, tetapi juga menjadi inspirasi budaya,” katanya.
Penyair Minang, Syahrul Tarun Yusuf, menyematkan namanya dalam lagu legendaris “Andam Oi,” menjadikan tangga ini simbol kerinduan dan romantika kota lama.
Kini, di tengah geliat modernisasi Bukittinggi, Janjang 40 tetap kokoh berdiri. Tak sekadar fasilitas publik, ia adalah monumen hidup, tempat di mana sejarah, budaya, dan keseharian warga berpadu dalam irama langkah yang tak pernah henti.
Penulis: Alex.jr
(IMBCNews.com/Bukittinggi)