Oleh Nurzengky Ibrahim
IBMCNews — Tanggal 1 Juni 1945, menjadi momentum penting bagi bangsa Indonesia. Istilah ‘Pancasila’ –kemudian harinya terwujudkan– menjadi lambang yang mendasari negara ini; Pertama kali diperkenalkan oleh tokoh terkemuka di tanah air, Ir Soekarno.
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada saat itu belum terjadi, dan masih dalam gejolak perjuangan tanpa henti. Hanya saja, munculnya Pancasila kepermukaan yang akan dijadikan dasar Negara RI, segera menyita alam pikiran sejumlah tokoh bangsa, khususnya kalangan intektual di tanah air.
Memang, Pancasila muncul ke pemukaan menjadi rumusan masih baru ‘gres’; Ini, dipandang banyak pihak sangat penting. Banyak juga kalangan yang umumnya sabagai pejuang kemerdekaan mengembangkan pemikiran secara maraton. Pasalnya, isu ini layak menjadi bahan diskusi kaum intelektual, terlebih bagi mereka yang memiliki jalur komunikasi dengan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk dan disahkan Pemerintah Jepang, pada 29 April 1945.
Maka, tat kala Kemerdekaan RI dikumandangkan pada 17 Agustus 1945 oleh ‘dwi tunggal’ Soekarno-Hatta, keesokan harinya (18 Agustus 1945) Pancasila disahkan untuk menjadi dasar negara melalui sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang berdiri pada 9 Agustus 1945.
Tidak serta-merta memang, Pancasila disahkan. Akan tetapi, telah didahului dengan proses perdebatan, kompromi, perubahan dan penyesuaian tata sila, serta juga penyempurnaan diksi kebahasaannya, terutama pada sila pertama.
Dalam sejarah menjelang proklamasi, tepatnya 29 Mei 1945, di tengah gejolak persiapan kemerdekaan Indonesia, M Yamin tampil di hadapan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Ia mengusulkan susunan naskah bagi dasar negara.
Dua hari berselang, pada 31 Mei 1945, giliran Soepomo menyampaikan gagasannya. Hingga puncaknya, pada 1 Juni 1945, Soekarno menggebrak melalui pidato yang visioner. Ia memperkenalkan istilah “Pancasila” yang berarti lima dasar.
Usulan Soekarno meliputi Nasionalisme, Internasionalisme, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan sebagai landasan pada saat Indonesia telah mencapai kemerdekaan sehingga tata negaranya dapat dilangsungkan secara berkesinambungan.
Soekarno, kala itu sempat juga merangkumkan bahwa Pancasila dapat juga disederhanakan menjadi Trisila, yaitu: Sosio-nasionalisme, Sosio-demokrasi, dan Ketuhanan. Bahkan, sebut Soekarno masih dapat dirangkum lagi menjadi Ekasila yaitu Gotong Royong sebagai intisari dari pada Pancasila.
Perjalanan Pancasila yang dirancang menjadi dasar negara, ternyata terus berkelindan. Tidak serta-merta Pancasila usai alias finish. Pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan merumuskan sebuah kesepakatan yang dikenal sebagai Piagam Jakarta.
Piagam ini memuat lima sila, dengan mengutamakan sila pertama: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Meski pun rumusan sila pertama ini merupakan tonggak penting, namun masih terus mengalami penyempurnaan hingga menjadi Pancasila yang kita kenal saat ini.
Panitia Sembilan, merupakan sebuah komite kecil, dibentuk oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia; Dengan tugas utama, melakukan rumusan dasar negara bagi Indonesia. Salah satu peran penting Panitia Sembilan ini termaktub pada perumusan Pancasila dan Piagam Jakarta.
BPUPKI, kemudian lebih mengadopsi pada rumusan Piagam Jakarta. Maka sehari setelah proklamasi kemerdekaan, tepatnya 18 Agustus 1945, rumusan Pancasila disahkan dengan maksud untuk dimasukkan ke dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam proses ini, tujuh kata pada sila pertama Piagam Jakarta dihapuskan dan disederhanakan menjadi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Perubahan ini, sebagaimana dicatat banyak pihak di tanah air, namun juga menjadi bagian kontribusi umat Islam Indonesia, yaitu: demi menjaga persatuan dan solidaritas nasional.
Semenjak saat itu, Pancasila terus diteguhkan kedudukannya melalui berbagai ketetapan, antaranya pada: TAP MPR No. XX Tahun 1966, TAP MPR No. II Tahun 1978, hingga TAP MPR No. XVIII Tahun 1998 dan lain-lain.
Soekarno, telah memperkenalkan istilah “Pancasila” pertama kali pada 1 Juni 1945. Hanya saja, Pancasila yang kita kenal saat ini dan telah menjadi dasar bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan segala proses rumusannya, memakan waktu sampai ketetapan pengesahan pada 18 Agustus 1945. Hal ini telah menunjukkan bahwa Pancasila tidak serta merta ‘lahir’ pada tanggal tersebut.
Jika ditelaah lebih detil, proses penyempurnaan lima sila pada rumusan Pancasila yang dimulai 1 Juni hingga 18 Agustus 1945, tidaklah menunjukkan keserta-mertaan identik dengan yang pertama kali diusulkan Soekarno; Meski secara subtantif usulan pada lima sila (non trisila dan ekasila) lebih diperjelas dengan rumusan Piagam Jakarta sebagaimana yang diadopsi Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) Indonesia dari Panitia Sembilan.
Dalam Piagam Jakarta menyebut, bahwa sila pertama: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sedangkan naskah Pancasila yang disahkan oleh PPKI bunyinya: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perubahan demikian terjadi, setelah digelar persidangan tokoh-tokoh di BPUPKI dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), pada 18 Agustus 1945.
Hal tersebut telah memperkuat bahwa, Pancasila yang ada di dalam Piagam Jakarta pada gilirannya dijadikan acuan ketika mengkompromikan mengenai perubahannya. Perbedaan utama antara naskah Piagam Jakarta dengan naskah Pancasila yang ada sekarang ini, adalah pada sila pertama.
Perubahan itu, tentu saja dapat menunjukkan makna penting pada dinamika perumusan Pancasila yang adaptif terhadap perkembangan zaman. Pada perubahan ini, dapat juga disebutkan bahwa kandungan komitmen pada prinsip persatuan dan kesatuan bangsa, lebih mengemuka untuk dipahami banyak pihak.
Oleh karenanya pula, dapat juga dikatakan: perubahan pada sila pertama pada Piagam Jakarta menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, menunjukkan upaya-upaya pencapaian kesepakatan lebih luas dan inklusif, bagi seluruh bangsa Indonesia.
Pada perubahan sila pertama itu, juga memiliki tujuan untuk mengamankan persatuan dan kesatuan bangsa, serta menjamin pada kebebasan beragama dengan tidak memaksakan agama tertentu dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Penting juga diketahui, bahwa Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI (Tempo: 13 Nov 2024), adalah sebuah lembaga yang dibentuk untuk mempersiapkan berbagai hal menjelang Kemerdekaan Indonesia. Organisasi ini dalam Bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Inkai, memiliki peran vital dalam sejarah kemerdekaan dan pembentukan negara Republik Indonesia.
PPKI resmi berdiri pada 9 Agustus 1945: Ketua Ir Sukarno, Wakil Ketua Mohammad Hatta dan beberapa tokoh penting lain ada di dalamnya. PPKI dibentuk tidak terlepas dari pendirian Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI yang diresmikan pada 29 April 1945, oleh Pemerintah Jepang yang kala itu masih menjajah Indonesia.
Pada 7 Agustus 1945, BPUPKI dibubarkan oleh Pemerintah Jepang. Hal itu disebabkan BPUPKI telah menyelesaikan tugasnya dan telah menyusun rancangan Undang-Undang Dasar (UUD) bagi Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPKI), tak lain untuk meneruskan rencana kemerdekaan RI lebih matang.
Setelah pendiriannya, PPKI setidaknya melakukan tiga sidang penting selepas didengungkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia; Tepatnya, pada 18 hingga 22 Agustus 1945 Sidang PPKI digelar dan dilangsungkan dengan baik.
Pada sidang pertama, berhasil: Mengesahkan UUD 1945 include ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara; Mengangkat Presiden dan Wakil Presiden; Membentuk Komite Nasional. Pada sidang kedua, 19 Agustus 1945, mengasilkan keputusan: Pembagian Wilayah Indonesia dan Pembentukan Departemen Pemerintahan. Sedangkan pada sidang ketiga 22 Agustus 1945, Pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR). (*)