Poto: kunjungan komisi ll DPRD Bukittinggi ke gedung pasar atas, jumat (23/5)
BUKITTINGGI – Dahulu riuh rendah suara pengunjung dan dentingan mesin kasir mewarnai suasana gedung Pasar Atas, ikon ekonomi Kota Bukittinggi yang berdiri angkuh tak jauh dari Jam Gadang.
Namun kini, lorong-lorongnya lebih banyak diisi oleh langkah-langkah sunyi dan etalase yang menganggur. Troli belanja besar yang dulu dipenuhi barang kini menganggur bak monumen kecil dari masa kejayaan yang meredup.
“Dulu, sebulan sekali belanja besar, sekarang seminggu sekali pun mikir-mikir,” ujar Win, salah satu pedagang yang masih bertahan dengan senyum getir, Selasa (27/5).
Kepala Dinas Pasar dan Perdagangan Kota Bukittinggi, Wahyu Bestari, mengakui bahwa kondisi ini berkaitan erat dengan anjloknya daya beli masyarakat.
“Banyak gerai tutup karena konsumen makin sedikit. Mereka yang datang pun sangat selektif, bukan lagi cari merek, tapi cari harga paling bersahabat,” katanya kepada IMBCNews.com.
Pergeseran perilaku konsumen kini nyata. Yang dulunya berburu diskon di awal bulan, kini menunda belanja sampai benar-benar mendesak. Sebagian bahkan hanya datang sekadar berteduh atau nostalgia, bukan untuk belanja.
Deflasi dan Dampaknya, Ketika Murah Tak Lagi Menarik
Fenomena ini juga didukung oleh data, Indonesia mengalami deflasi dua bulan berturut-turut pada awal 2025, kondisi yang belum pernah terjadi dalam 25 tahun terakhir. Meski harga barang menurun, masyarakat tetap memilih menahan konsumsi, karena isi dompet tak ikut menebal.
Bahkan di momen Ramadan dan Lebaran yang biasanya jadi puncak perputaran uang, penjualan barang konsumsi harian (FMCG) justru lesu. “Orang lebih hati-hati. Belanja bukan soal kebutuhan lagi, tapi tentang bertahan hidup,” tambah Win.
Antara Kenangan dan Kenyataan, Simbol Modernitas yang Nyaris Jadi Museum
Pada era 1990-an hingga awal 2000-an, Pasar Atas bukan sekadar tempat belanja. Ia adalah tempat rekreasi keluarga. Anak-anak menggantungkan es krim di tangan, sementara orang tua sibuk memilih rice cooker baru atau pakaian Lebaran. Kini, suasana itu tinggal kenangan yang mengendap di ubin lantai dan tiang-tiang gedung yang mulai berdebu.
Para pelaku usaha pun mulai melakukan kalkulasi ulang. Menutup gerai bukan lagi aib, tapi langkah logis ketika ongkos listrik lebih besar dari pendapatan.
“Daripada jadi hantu toko, lebih baik fokus ke tempat yang masih hidup,” ujar seorang pemilik toko yang enggan disebutkan namanya.
Masa Depan Ritel, Bertahan atau Bertransformasi?
Pengamat ekonomi lokal menyebut bahwa untuk bertahan, pelaku usaha ritel harus berani bertransformasi. Sinergi antara pemasok dan peritel, penguatan kanal digital, hingga pengelolaan biaya operasional jadi kunci di tengah tantangan seperti inflasi, penurunan daya beli, dan persaingan e-commerce.
“Bisnis ritel bukan sekadar soal menjual barang. Ini soal menjual pengalaman, kepercayaan, dan kedekatan dengan konsumen. Yang tidak adaptif, akan tergilas,” ungkap Wahyu.
Kini, Pasar Atas menunggu babak baru. Apakah akan bangkit sebagai pusat belanja modern yang adaptif? Ataukah menjadi simbol sejarah ekonomi lokal yang tinggal cerita?
Sementara itu, lorong-lorong pasar tetap setia menyimpan cerita tentang kejayaan, ketahanan, dan tantangan di tengah derasnya arus perubahan zaman. (Alex.jr)