Lomba antariksa AS dan Soviet sampai ke Tanah Air
Oleh Alwi Shahab |*
IMBCNews | Tahun ini tepat 54 tahun pendaratan perdana manusia di Bulan. Neil Amstrong, disebut-sebut manusia pertama yang mendarat dan berjalan di Bulan, meninggal dunia dalam usia 82 tahun, Ahad (26/8). Ketika dia menjejakkan kakinya di permukaan Bulan, terjadi kehebohan di dunia dan juga di Indonesia. Banyak yang tidak memercayai kalau ada manusia bisa ke Bulan. “Numpak (naik) kereta api saja dari Jakarta pagi hari baru nyampe di Surabaya malam hari,” kata seseorang dari sebuah desa yang bekerja di Jakarta.
Bukan hanya dia, melainkan banyak lagi yang tidak memercayainya. Sebelum Amstrong berjalan di permukaan Bulan selama dua jam 32 menit pada 20 Juli 1969, di Jakarta sedang gandrung lagu berjudul “Di wajahmu kulihat bulan”. Lagu itu dinyanyikan Sam Saimun, penyanyi kesohor era 1960- an dan juga beberapa kali terpilih sebagai “bintang radio” yang ketika itu diselenggarakan RRI setiap tahun.
Lirik lagu seriosa tersebut di anta ranya, “Di wajahmu kulihat bulan. Bersembunyi di sudut kerlingan. Sadarkah tuan kau ditatap insan yang haus akan belaian”. Bulan memang kata-kata pujaaan untuk gadis dan jejaka yang te ngah kasmaran.
Ketika terjadi perebutan keunggulan untuk saling mendahului mendarat di ruang angkasa antara dua kekuataan adidaya Amerika Serikat dan Uni Soviet, hal tersebut juga berpengaruh di Indonesia. Bung Karno tidak mau kalah.
Dalam satu pidatonya yang disiarkan media secara luas, ia menyatakan Indonesia yang lebih dulu unggul ke angkasa luar. Menurut Presiden Soekarno, ketika Gunung Krakatau di Selat Sunda meletus pada 1883, debu dan kerikil gunung berapi itu memasuki ruang angkasa dan berada di orbitnya hingga sekarang.
Meski media massa belum sehebat dan secanggih sekarang, berita-berita misi sputnik ke ruang angkasa yang merupakan adu gengsi antara Prediden Kennedy dan Perdana Menteri Nikita Khrushchev terasa sekali getarannya di Jakarta. Getaran ini menyebabkan tempat yang terkenal di Jakarta sebagai pusat prostitusi namanya pun berubah menjadi “Planet Senen”, entah siapa yang menamakan demikian.
Lokasinya kira-kira dari pintu kereta api Senen sampai ke depan Stasiun Senen hingga ke dekat Gunung Sahari sejauh lebih dari 500 meter. Di rel-rel dan gerbong-gerbong KA, ribuan wanita “P” berjejeran mencari mangsa menunggu tawaran. Mereka tidak mengenal malu karena ada yang “buka praktek” berdekatan dengan sebuah masjid di Senen.
Di rel-rel dan gerbong yang sedang berhenti, ribuan PSK menjajakan diri dengan menyenggol laki-laki yang melewatinya. Sangat tidak beradab ketika mereka menjual diri di depan masjid yang tidak berjauhan dari Stasiun Senen.
Di Planet Senen, para wanita tinggal di bangunan yang terdiri atas kotak sabun dan kardus di pinggir rel. Begitu beduk Maghrib, kawasan ini bukan hanya diramaikan oleh para pelacur, melainkan juga terdapat ratusan doger, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pertunjukan tandak.
Mereka mengenakan kain batik dan kebaya tipis. Bagian pantat, perut, dan atas tubuhnya diikat erat. Maklum mereka hanya boleh dicium dan dipegang. Mereka ngibing dengan memakai selendang yang diletakkan di bahu lelaki sambil menggoyangkan tubuhnya. Para penonton ada yang berbaur di tengah gelandang sambil memberikan uang sawer.
Seperti juga daerah hitam lainnya, Planet Senen dapat dikatakan pusat dari kegiatan kejahatan. Pada awal 1970-an, terjadi kebakaran di Pasar Senen. Si jago merah melahap kawasan hitam Planet Senen meski ada isu kebakaran ini disengaja. Sejak saat itu, bang Ali Sadikin, gubernur DKI Jakarta, tidak perlu membersihkan daerah yang sudah bebas dari pelacuran.
Meski “daerah hitam” ini sudah le bih dari 40 tahun “dibersihkan” Gubernur DKI Ali Sadikin dengan menggusur mereka ke Kramat Tunggak, Jakarta Utara, yang ketika itu masih berupa rawa-rawa, nama Planet Senen sampai sekarang masih banyak diingat orang. Bukan hanya di Planet Senen, didekatnya, yakni di Jalan Kramat Raya, kala malam hari dipenuhi kupu-kupu malam. Mereka berpraktek di becak-becak.
Di sekitar Jalan raya Kramat dari bioskop Rivoli (kini sudah tergusur) sampai ke Proyek Senen, di kaki lima ki ta jumpai para pedagang yang mang- kalpada malam hari. Kala itu, di jalan ini juga berpraktek seorang dokter yang dikenal dengan dr Basri yang nong krong dengan alat tensi meter dan jarum suntik. Ketika itu, injeksi pe nisilin dianggap ampuh untuk meng hindari penyakit “raja singa”. Waktu itu belum dikenal HIV/AIDS.
Menurut Bang Ali, dia melokalisasi para pelacur di Kramat Tunggak meniru tempat serupa di Surabaya. Beberapa tahun lalu, lokalisasi di Kramat Tunggak itu dijadikan sebagai Islamic centre oleh Gubernur DKI Sutiyoso. Sekarang, banyak kegiatan keagamaan di sini. (Sumber: Republika)
|* Disadur dari Harian Republika edisi 19 Juni 2014. Alwi Shahab adalah wartawan Republika sepanjang zaman. Beliau wafat pada 2020.