REFORMASI 1998 atau 27 tahun lalu sejatinya adalah peluang emas bagi bangsa Indonesia untuk bangkit dari rezim otokratis Orde Baru selama tiga dekade ke era keterbukaan dan demokrasi.
Dipicu depresiasi tajam kurs rupiah pada dolar AS, utang LN yang membengkak, dampak liberalisasi ekonomi global yang tidak dikelola dengan baik, maraknya KKN dan krisis kepercayaan pada pemerintah yang akhirnya berujung aksi masa turun ke jalan.
Kurs rupiah anjlok mendekati 700 persen, dari Rp2.441 per dolar AS pada 17 Juni 1997 mencapai titik terendah menjadi Rp16.800 per dollar AS pada 17 Juni 1998.
Krisis ekonomi yang melanda negeri ini tak hanya mengguncang stabilitas finansial, tapi juga memantik gelombang keresahan sosial di kalangan mahasiswa dan akar rumput.
Ketidakpuasan terhadap rezim Presiden Soeharto yang kembali terpilih untuk ke-7 kalinya dalam Sidang Umum MPR awal Maret 1998, menyulut aksi-aksi protes yang awalnya terbatas di lingkungan kampus, lalu merambah ke jalanan.
Situasi kian panas ketika aksi jalanan mulai ditangani oleh aparat keamanan dengan kekerasan. Di Yogyakarta, Moses Gatutkaca, mahasiswa, tewas saat aksi dibubarkan secara represif pada 8 Mei 1998.
Empat hari berselang, tragedi serupa terjadi di Jakarta. Empat mahasiswa Universitas Trisakti gugur ditembus peluru tajam saat mereka bergerak keluar kampus menuju Gedung DPR/MPR.
Di tengah tekanan itu, Presiden Soeharto yang baru saja kembali dari KTT G-15 di Mesir, mencoba menyampaikan kondisi perekonomian nasional di forum internasional.
Desakan mundur
Aksi-aksi mahasiswa terus meluas dan tuntutan agar Soeharto mundur – sesuatu yang tabu di era kepemimpinannya selama tiga dekade sejak 17 Maret 1968 – makin terdengar lantang.
Puncaknya pada 18 Mei 1998. Ribuan mahasiswa dari berbagai kampus menduduki Gedung DPR/MPR, mendesak pimpinan dewan untuk segera meelengserkan Soeharto melalui SI MPR.
Harian Kompas edisi 19 Mei 1998 menggambarkan bagaimana sejak pagi, massa mahasiswa berdatangan bergelombang ke parlemen, menggunakan bus hingga mobil pribadi.
Sejumlah tokoh masyarakat yang kritis terhadap pemerintahan turut hadir dan menyampaikan orasi, salah satunya adalah Amien Rais, Ketua Umum PP Muhammadiyah saat itu.
Di tengah peringatan 90 tahun Hari Kebangkitan Nasional pada 20 Mei 1998, situasi justru mencekam. Hari yang seharusnya menjadi momen reflektif, menjadi titik balik reformasi.
Pemerintah yang berupaya meredam gejolak dengan merencanakan pembentukan Komite Reformasi untuk mengawal pemilu dan membuka jalan bagi Soeharto untuk mundur secara bertahap, ditolak mahasiswa yang menuntut pengunduran diri langsung, tanpa syarat.
Sebuah rencana aksi pun dirancang: long march dari kompleks DPR/MPR menuju Monas. Amien Rais direncanakan menjadi salah satu tokoh sentral dalam aksi tersebut, namun rencana itu tak berjalan mulus.
Dalam peringatan 20 Tahun Reformasi pada 21 Mei 2018, Amien Rais mengungkapkan bahwa ia saat itu (20 Mei 1998) mendapat telepon dari seorang petinggi TNI.
Menurut Amien Rais, ia saat itu ditelepon oleh seorang perwira tinggi dari Cilangkap (Mabes TNI), namun lupa namanya.
“Pak Amien Rais, saya Mayjen….. , tolong 20 Mei yang akan dijadikan syukuran reformasi di Monas, dibatalkan’,” tutur Amien menirukan kekhawatiran sang jenderal itu, bakal terjadi kerusuhan besar jika aksi di Monas tetap digelar.
Bahkan, jenderal itu mengancam penggunaan kekuatan militer serupa tragedi lapangan Tiananmen, China pada 1989, ketika mahasiswa dibubarkan dengan senjata dan tank, menyebabkan banyak korban jiwa.
Jakarta nyaris lumpuh
Rabu, 20 Mei 1998, Jakarta nyaris lumpuh. Ruas jalan di sekitar Monas, Istana Merdeka, Bina Graha, Jalan Cendana, Sudirman, Thamrin, hingga Rasuna Said dijaga ketat aparat keamanan.
Barikade kawat berduri dipasang rapat. Pasukan elit seperti Kopassus, Marinir, dan Kostrad bersiaga lengkap dengan panser, tank, serta berbagai jenis senjata berat.
Tak hanya kendaraan bermotor, pejalan kaki pun dilarang melintas. Aktivitas bisnis dan perkantoran berhenti. Jalanan lengang, seolah menandai hari yang sangat berbeda dari Harkitnas tahun-tahun sebelumnya.
Amien Rais yang telah menerima peringatan dari TNI, segera menyampaikan informasi tersebut kepada mahasiswa di DPR/MPR.
Ia tak ingin peristiwa berdarah kembali terulang. Menjelang dini hari, sekitar pukul 02.00 WIB, Amien yang masih mengenakan sarung dan kemeja batik, melangkah ke Monas.
Di sana, ia melihat kawat berduri, panser, dan tentara telah memagari seluruh kawasan. Amien mendekati sekelompok tentara dan bertanya, “Saya mau tanya ke Anda semua, instruksinya apa?”
Seorang tentara menjawab, “Pak Amien, kami belum ada instruksi. Tapi sudah disuruh berjaga di Monas ini. Semua pintu masuk ke Monas sudah dijaga dengan beberapa tank, panser, dan juga gulungan kawat berduri.”
Amien dan sejumlah tokoh reformasi menggelar konferensi pers sekitar pukul 04.00 WIB, menyatakan pemindahan lokasi aksi ke DPR/MPR, di mana mahasiswa sudah berkumpul sejak 18 Mei.
Dampak dan titik balik keputusan membatalkan aksi di Monas terbukti efektif, tidak hanya mernghindari potensi bentrokan, tapi juga membawa efek positif bagi situasi politik dan ekonomi.
Dokumentasi Harian Kompas edisi 21 Mei 1998 mencatat, nilai tukar rupiah menguat drastis, dari Rp 12.300 per dolar AS, rupiah naik menjadi Rp 11.000 atau penguatan 1.300 poin.
Pasca Reformasi
Hari ini, 27 tahun pasca reformasi, rezim silih berganti, mulai dari Presiden B.J. Habibie (1998-1999), Gus Dur atau Abdurrachman Wahid (1999-2000), Megawati (2001-2004), Susilo B Yudhoyono (2004 – 2014), Joko Widodo (2014-2024) dan Prabowo Subianto (2024 – sekarang).
Tidak bisa diingkari, sudah banyak kemajuan fisik berupa sarana dan parsarana publik dan ekonomi yang dicapai dari presiden ke presiden sebelumnya sejak pasca reormasi 1998.
RI kini sudah masuk deretan negara berpendapatan menengah ke ata (upper-middle income country) dengan pendapatan per kapita 4.850 dollar AS pada 2022.
Namun di balik capaian ekonomi. seperti disebutkan mantan Menko Polhukam Mahfud MD, paca reformasi, praktek demokrasi di negeri ini mengalami “setback”, ditandai maraknya praktek oligarki dan korupsi.
“Oligarki sebagai sistem kepemimpinan yang ditetapkan kelompok yang kolutif dan curang, diformulasikan dengan undang-undang melalui kebijakan resmi legislatif. Permainannya ada di situ, “ ujarnya dalam Seminar di UGM pada 27 Agustus 2022.
Menurut pengamatan banyak pihak, berkelindan dengan praktek korupsi dan oligarki, serta pembiaran demi pembiaran akibat lemahnya pengawasan, sementara para elite dan penentu kebijakan berada di zona nyaman, terjadi krisis kepemimpinan, dekadensi moral dan ahlak.
DPR pusat dan daerah yang seharusnya menjalankan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan terkesan lebih mirip paduan suara, “kompak” dalam koalisi besar antarfraksi dan pemerintah.
Legitimasi sesunguhnya para wakil rakyat itu juga dipertanyakan, mengingat pencalonan sebagian mereka juga penuh dengan politik uang dan persekongkolan para oligarki kekuasaan.
Korupsi makin menggila pasca diberlakukannya revisi UU Anti Korupsi no. 19 tahun 2019 yang sebagian pasal-pasalnya memuat pelemahan KPK itu sendiri, tapi didukung seluruh fraksi di DPR.
Sebut saja kasus pengaplingan kawasan pesisir berupa penerbitan 263 Surat Hak Guna Bangunan (SHGB) di Tangerang dan 17 Sertifikat Hak Milik (SHM) Bekasi yang diduga melibatkan pengusaha kakap, birokrat dan aparat.
Begitu pula dugaan kasus penambangan ilegal di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. Timah, Tbk antaar 2015 sampai 2022 yang merugikan negara Rp300 triliun.
Dugaan korupsi PT Pertamina terkait impor minyak mentah, impor BBM melalui broker dan pemberian subsidi serta kompensasi mendekati Rp1 quadriliun (Rp1.000 triliun) kerugian negara sampai saat ini kasusnya juga belum jelas mau diapakan.
Cerminan praktek “pagar makan tanaman” juga terungkap saat seorang mantan pejabat MA Zarof Ricar yang dikenal sebagai makelar kasus, menyimpan uang Rp 1 triliun dan emas 51 kg di bawah ranjang tempat tidur di rumahnya Oktober tahun lalu.
Pada saat gencar-gencarnya penangkapan preman jalanan sejak awal Mei lalu setelah viral di media, meresahkan dan mengganggu investasi, terkuak permainan antara penguaha dan preman berkedok ormas memeras kontraktor asing 16 Mei lalu.
Ketua da Wakil Ketua KADIN Cilegon M. Salim dan Ismatullah serta Ketua HSNI Cilegon Rufaji Jahuri menjadi tersangka setelah terbukti memaksa kontraktor China, pemenang tender proyek pembangunan PT Chandra Asri Alkali (CAA) untuk memberikan bagian proyek Rp5 triliun.
Preman berkedok ormas berani membakar mobil polisi di Harjamuakati, Depok (18/4) saat aparat penegak hukum hendak mengamankan seorang tersangka penguasaan lahan secara liar.
Bahkan, ada kelompok preman berkedok ormas yang berani menantang-nantang para jenderal yang mengecam aksi-aksi mereka meresahkan dan mengintimidasi masyrakat.
Reformasi yang lebih serius dan komprehensif agaknya perlu diulang untuk meluruskan berbagai penyimpangan dan anomali jalannya kehidupan berbangsa, tata kelola negara dan pemerintahan jika Indonesia ingin meraih era emas 2045. (imbcnews/Theo/sumber diolah: kumparan)