Dr. Wahyu Nugroho, SH., MH.
Pengajar/Peneliti Hukum Lingkungan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam FH USAHID
IMBCNEWS Jakarta | Pembahasan perubahan RUU Minerba yang tengah berlangsung di DPR salah satu point Pasal 51A adalah pemberian secara prioritas atas Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) pertambangan mineral dan Batubara kepada perguruan tinggi.
Pemberian izin konsesi tambang kepada perguruan tinggi akan mengakibatkan runtuhnya marwah perguruan tinggi sebagai lembaga nirlaba di sektor pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, bukan bersifat profit oriented.
Alih-alih untuk bantuan dana pendidikan, atau kegiatan pengabdian masyarakat, perguruan tinggi secara langsung menjadi entitas atau pelaku bisnis yang justru kontradiktif dengan tujuan utama perguruan tinggi berdasarkan UU Pendidikan Tinggi, UU Guru dan Dosen, atau peraturan lain terkait lembaga perguruan tinggi.
Pemberian izin konsesi tambang yang sebelumnya kepada organisasi kemasyarakatan keagamaan yang dituangkan ke dalam perubahan PP 25/2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, yang justru bertentangan dengan UU Minerba, tujuan undang-undang ormas, dan prinsip-prinsip maupun etika lingkungan yang bersumber dari ajaran agama. Saat ini pemberian izin tambang untuk perguruan tinggi dapat melunturkan independensi perguruan tinggi, menghilangkan esensi dan prinsip-prinsip etika lingkungan hidup, moralitas, kemanusiaan, maupun integritas perguruan tinggi.
Kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara dikatakan sebagai kegiatan ekstraktif sumber daya alam masuk kategori non renewable natural resources (tidak dapat diperbarui) dan bersifat merusak alam dan lingkungan, setidaknya fungsi pengendalian dan instrumen perizinan lingkungan dilaksanakan dalam tataran praksis-operasional.
Selain itu, kegiatan usaha pertambangan seringkali menimbulkan konflik sosial, perubahan budaya dan ekonomi masyarakat lokal, alih fungsi lahan, perubahan fungsi ruang dan kawasan, penggusuran lahan, hingga kriminalisasi warga lokal yang dianggap “merintangi” atau “menghalang-halangi” kegiatan usaha pertambangan.
Apabila kita lihat yang masih menjadi problematika saat ini adalah belum adanya perlindungan hukum dalam tataran praktis dan komitmen pemerintah, dalam konteks terancamnya ahli/akademisi dari perguruan tinggi yang berperan memberikan keterangan ahli dalam persidangan kasus-kasus lingkungan hidup dan pertambangan, atau warga lokal yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Kelompok itu rentan dikriminalisasi, sementara dalam tataran normatif UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (32/2009) telah dijamin tidak digugat perdata atau dipidana atas perjuangan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sehingga norma tersebut tidak implementatif. Ruang hidup warga lokal menjadi terancam, kegiatan perladangan, pertanian, dan aktivitas nelayan menjadi terganggu.
Kita dapat belajar dari pengalaman dan kasus-kasus lingkungan hidup di sektor pertambangan, kasus kendeng, kasus wadas, kasus budipego, kasus pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, kasus penyelesaian hak atas tanah untuk kegiatan usaha pertambangan yang dianggap belum “clear”, kasus pertambangan dalam kawasan hutan berkonflik dengan masyarakat adat, penggusuran lahan dan perubahan fungsi ruang dan kawasan untuk kegiatan usaha pertambangan, yang kompleks. Apa jadinya jika perguruan tinggi menjadi bagian dari aktor pengelola tambang, menceburkan diri ke dalam entitas bisnis yang justru semakin memperparah dan menambah kompleksitas permasalahan tersebut.
Jika perguruan tinggi (PT) diseret sebagai pelaku bisnis tambang, eksistensi PT sebagai pusat ilmu pengetahuan dengan pendekatan saintis, akan berubah menjadi PT sebagai perusak lingkungan dan menjadi anti sains. Konflik-konflik sosial yang diatur dalam UU Penanganan Konflik Sosial (7/2012) salah satunya konflik yang bersumber dari sengketa sumber daya alam antarmasyarakat dan/atau antarmasyarakat dengan pelaku usaha.
PT pada akhirnya akan berhadapan dengan masyarakat lokal atau kelompok sipil atau organisasi sipil yang selama ini melakukan kampanye dan advokasi-advokasi lingkungan hidup dan pertambangan, bukankah ini akan menimbulkan masalah baru?
Lebih jauh lagi, PT akan berubah menjadi korporasi yang profit oriented, hilangnya independensi sebagai otorisasi keilmuan, tidak obyektif dan menurunnya daya kritis perguruan tinggi kepada institusi pemerintahan. Jaminan kebebasan akademik, mimbar akademik dan otonomi keilmuan yang diatur dalam UU Pendidikan Tinggi luntur seketika, seakan tak berdaya. Pemberian izin tambang kepada perguruan tinggi sebagai unsur “penyumbat” dan akan “melegitimasi” kebijakan apapun yang dibuat oleh penguasa demi memuluskan agenda utamanya.
Secara lambat laun, seperti siput yang lepas dari cangkang-nya, perguruan tinggi akan lepas dari tugas utamanya, dan bergeser menjadi lembaga yang berorientasi mengejar keuntungan, serta menjadi pihak yang “dikambinghitamkan” ditengah konflik sosial pertambangan di lingkungan sekitar.
Masuknya PT menjadi bagian dari entitas bisnis tambang merupakan konstruksi hukum berpikir yang sesat dan destruktif. Politik legislasi dalam perubahan RUU Minerba yang memberi ruang untuk mengatur pemberian izin konsesi untuk perguruan tinggi sudah seharusnya dibatalkan atau dihentikan pembahasannya. Setidaknya para pembentuk UU untuk mengembangkan riset-riset perguruan tinggi melalui dukungan pembiayaan terkait dengan praktik pengelolaan pertambangan yang baik (good mining practice), kebijakan pertambangan yang berwawasan lingkungan hidup, atau kegiatan pengabdian kepada masyarakat melalui kemitraan dalam rangka memberikan wawasan, diklat, konsultasi atau apapun istilahnya kepada pelaku usaha pertambangan, dan sumber pembiayaannya dari korporasi pertambangan. Perguruan tinggi tidak perlu ditarik menjadi bagian dari entitas bisnis yang menjauhkan dari spirit tridharma perguruan tinggi.
PT memiliki banyak program studi (prodi) yang dapat diintegrasikan ke dalam kebijakan pengelolaan pertambangan, mengingat pertambangan merupakan kegiatan yang membutuhkan SDM profesional yang bersifat multidisiplin dari berlatar belakang berbagai prodi, misalnya prodi hukum, prodi teknik pertambangan, prodi teknik lingkungan, prodi teknik geologi, prodi manajemen-bisnis, prodi lingkungan, prodi kesehatan lingkungan, dan lain sebagainya.
Pintu masuknya adalah program praktisi mengajar dari kalangan profesional pelaku usaha tambang, pengembangan riset, dan program pemagangan hingga pengabdian kepada masyarakat yang berkaitan dengan usaha pertambangan. Hal ini sangat dimungkinkan untuk diintegrasikan melalui kolaborasi, kemitraan atau apapun istilahnya, tanpa melibatkan perguruan tinggi sebagai pelaku bisnis tambang. Penulis berharap pembentuk UU sebagai representasi demokrasi kerakyatan dalam pembahasan melalui perubahan RUU Minerba dapat bersikap bijak dan menjalankan fungsi legislasinya dengan “hikmah”, sebagaimana rumusan sila keempat Pancasila.
imbcnews, penulis tinggal di Jakarta.