IMBCNEWS – JAKARTA – penduduk miskin di negeri ini tega-teganya dijadikan bancakan oleh (oknum) birokrat dan mereka yang tak berhak dan dari tahun ke tahun tidak ada solusinya sehingga dana yang dialokasikan mubazir, salah sasaran.
Bahkan di tengah pandemi Covid-19 di mana jutaan penduduk strata kelas bawah seperti pedagang asongan, K-5, pengemudi ojek atau pekerja serabutan terhenti nafkahnya akibat karantina terbatas (Pembatasan Sosial Berskala Besar -PSBB), bansos non tunai disunat menteri sosial Yuliari Batubara.
Yuliari yang seharusnya menjadi panglima pendistribusian bansos malah dicokok KPK dan kemudian divonis 12 tahun penjara karena memungut “fee” Rp10.000 dari rekanan per paket sembako senilai Rp300 rubu.
Dari nilai bansos paket sembako berisi a.l. beras, minyak goreng, gula dan mie instant, dengan total 272 kontrak dengan 109 rekanan bernilai Rp5,9 trilun selama dua periode, Yuliari meraup sekitar Rp32,4 miliar.
Selain sejak awal, ada oknum pejabat atau PNS yang memang berniat menilap bansos, salah sasaran juga terjadi akibat amburadulnya data penerima yang terkesan dibuat asal-asalan atau sengaja diselewengkan mulai dari tingkat kelurahan, kecamatan sampai provinsi dan pusat.
Seorang anggota DPRD yang tinggal di pemukiman elite di bilangan Kelapa Gading, Jakarta Utara yang beristeri kepala sekolah juga heran, ia mendapatkan jatah bansos, sementara banyak orang yang berhak cuma gigit jari.
Hanya sampai separuhnya
Sementara itu, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengakui, dari Rp 500 triliun bansos, hanya setengahnya yang sampai ke masyarakat yang benar-benar berhak mendapatkannya.
Untuk itu, dia mendorong pengoptimalan digitalisasi untuk meningkatkan efektivitas penyaluran bansos yang tepat sasaran, tepat jumlah, dan tepat manfaat.
“Selama lima tahun terakhir, saya melihat sendiri bagaimana efektivitas program perlindungan sosial menghadapi tantangan besar.
Dari total Rp 500 triliun anggaran bansos, hanya separuh yang benar-benar sampai ke tangan yang berhak. Data ganda, penerima tak memenuhi syarat hingga yang tidak memiliki NIK menjadi kendala utama,” ujar Luhut di Jakarta, Sabtu (8/2).
Dalam upaya pembenahan ini, lanjutnya, pemerintah tengah membangun Data Terpadu Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN), sebuah sistem yang mengintegrasikan tiga pangkalan data utama.
Ketiganya adalah Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek), dan Penyasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE).
Daftar Data Terkonsolidasi, menurut Luhut, akan diuji silang dengan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) milik Kemendagri guna memastikan akurasi data penerima bansos.
BPS, lanjut Luhut, telah menyelesaikan finalisasi integrasi data termasuk detail seperti nama, pendidikan terakhir, dan pekerjaan,” lanjutnya.
Selain integrasi data, terang Luhut, pemerintah juga akan menyinkronkan informasi penerima manfaat dengan berbagai program perlindungan sosial lainnya, seperti bantuan sembako, subsidi listrik, dan elpiji (LPG), guna meningkatkan kualitas data dan efektivitas penyaluran.
Langkah tersbut merupakan bagian inisiatif Government Technology (GovTech), ekosistem digital pemerintahan yang diinstruksikan oleh Presiden rampung Agustus nanti.
“Sistem ini diharapkan dapat menjadi solusi jangka panjang untuk memastikan bansos tersalurkan secara transparan, tanpa kebocoran, dan tanpa penyimpangan,” tegasnya.
Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, apapun sistemnya, jika moral aparat secara berjenjang sudah rusak dan pengawasan cuma basa-basi, jangan banyak diharapkan, distribusi bansos bakal tepat sasaran, tepat jumlah dan tepat waktu. (imbc/Theo/sumber diolah)