Oleh: Irjen Pol Chaidir | Tenaga Ahli Pengajar Lemhannas RI
IMBCNews — Pada tanggal 15 dan 16 Juni 2024 telah diselenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perdamaian yang berlangsung di Swiss, mempertemukan para kepala negara, pemerintahan, dan organisasi. KTT ini bertujuan mengembangkan pemahaman bersama tentang jalan menuju perdamaian di Ukraina.
KTT Perdamaian di Swiss tersebut merupakan kelanjutan dari pertemuan-pertemuan sebelumnya yang telah diselenggarakan di Kopenhagen, Jeddah, Malta, dan Davos.
Meski pun Presiden Swiss Viola Amherd menegaskan bahwa pertemuan puncak tersebut merupakan “langkah pertama” menuju terciptanya perdamaian abadi; Sebagaimana dijelaskan oleh pemerintah Swiss sebelumnya, yaitu merupakan pertemuan dalam rangka mendorong dialog global guna meningkatkan prospek solusi yang dinegosiasikan di masa mendatang. Akan tetapi, kenyataannya, KTT tersebut lebih didominasi kepentingan negara-negara Barat bahkan NATO. Terlebih lagi, Ukraina dalam pertemuan tersebut bersikeras mengajukan sepuluh poin yang ditujukan untuk meraih dukungan yang luas bagi negara-negara yang hadir termasuk negara-negara Afrika.
Meski pun tidak semua dari sepuluh poin tersebut masuk dalam agenda pertemuan di Swiss, namun nampaknya sepuluh poin diajukan itu merupakan transformasi tersamar, sebagaimana dari tiga poin yang ditetapkan sebagai fokus pembahasan dalam KTT di Swiss; Yaitu keamanan nuklir, keamanan pangan, dan pembebasan tawanan perang juga mengenai anak-anak Ukraina yang diculik.
Ketiga poin ini diidentifikasi sebagai topik dengan dalih dapat menghasilkan keterlibatan positif dari berbagai negara, dengan berbagai tingkat dukungan untuk Ukraina. Topik keamanan nuklir dan keamanan pangan sebagai alasan memiliki implikasi global yang besar, dan sentralitasnya dalam KTT tersebut, dengan harapan semakin meningkatknya peluang negara-negara yang kurang vokal dalam mendukung Ukraina akan bersedia terlibat, khususnya negara-negara non-Barat.
Indikasi adanya transformasi kepentingan Ukraina itu terlihat dari pernyataan Menteri Luar Negeri Ukraina, Dmytro Kuleba yang menyatakan bahwa penyampaian tiga poin tersebut merupakan taktik dan strategi yang tidak menyimpang dari sepuluh poin formula perdamaian yang diajukan Ukraina.
Salah satu tujuan Swiss dan Ukraina untuk pertemuan puncak ini, adalah kehadiran maksimal dari seluruh dunia; Dengan fokus pada negara-negara berkembang dan negara-negara lain di luar sekutu terdekat Ukraina. Dengan tidak diundangnya Russia dalam KTT tersebut sudah memberikan indikasi adanya keberpihakan yang diciptakan untuk menjejali para peserta KTT yang hadir. Padahal, sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa konflik Ukrania adalah sebagai perang hybrida antara dua kekuatan global, sehingga tidak mengherankan banyak negara yang absen termasuk Tiongkok.
Dokumen KTT Perdamaian Ukraina itu akhirnya ditandatangani oleh 80 negara, dari 92 yang hadir. Namun Armenia, Bahrain, Brasil, Takhta Suci Vatikan, India, termasuk Indonesia, Libya, Meksiko, Arab Saudi, Slovakia, Afrika Selatan, Swiss, Thailand, dan Uni Emirat Arab tidak menandatanganinya.
Menurut juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Rolliansyah Soemirat, Indonesia tidak ikut menandatangani dokumen tersebut, karena proses perdamaian terkait Ukraina hanya mungkin terjadi jika semua pihak yang terlibat dalam konflik terwakili.
Di kalangan dalam negeri Swiss pun terjadi pro-kontra mengenai keterlibatan Swiss dalam penyelenggaraan KTT tersebut. Seorang pemimpin nasionalis Swiss, Nils Fiechter mengkritik keras bahwa KTT Perdamaian Ukraina yang diadakan Swiss untuk menekan Rusia agar mengakhiri perang di Ukraina. Ia menyebutnya, KTT tersebut memalukan.
Kritik Nils Fiechter mencerminkan pandangan jika KTT tersebut merusak tradisi netralitas Swiss. Partai Rakyat Swiss (SVP), kelompok terbesar di majelis rendah parlemen, menekankan netralitas adalah bagian penting dari kemakmuran Swiss, dan telah menginisiasi referendum untuk menanamkan prinsip ini dalam konstitusi. Para tokoh terkemuka di partai ini berpendapat: “Swiss seharusnya tidak mengadakan konferensi tanpa kehadiran Rusia.”
Nils Fiechter mengatakan, pemerintah Swiss telah tunduk pada tekanan internasional dengan tidak mengundang Rusia. Ia menganggap hal ini sebagai lelucon dan memalukan bagi Swiss, karena Swiss telah membiarkan Ukraina menentukan siapa yang boleh atau tidak boleh diundang ke konferensi tersebut dan mengubahnya menjadi pertunjukan Presiden Zelensky.
Selanjutnya ia menilai bahwa sekarang Swiss dalam bahaya besar, karena telah membiarkan negaranya terlibat dalam perang dunia. Hal ini terbukti dengan sikap Kremlin yang menggambarkan bahwa Swiss secara terbuka telah bermusuhan dan tidak layak menjadi mediator dalam upaya perdamaian, terutama karena mengadopsi sanksi Uni Eropa terhadap Moskow.
Perjuangan Ukraina melawan Rusia tidak terbatas di medan perang. Keterlibatan diplomatik, opini global, dan perhatian internasional semuanya dilancarkan untuk mempengaruhi kemampuan Ukraina untuk terus melawan agresi Rusia. KTT tersebut menawarkan Ukraina dan sekutunya kesempatan untuk menunjukkan solidaritas dari seluruh dunia dan forum untuk menyoroti dampak perang dan kejahatan Rusia terhadap negara-negara di luar Ukraina. Ini terjadi pada saat yang kritis, karena perang di Timur Tengah telah mendominasi berita utama, dan Ukraina menghadapi situasi berbahaya di medan perang.
Bila ditelaah secara sekilas tiga tema yang mencakup keselamatan nuklir, keamanan pangan, dan pertukaran tahanan, semuanya jelas-jelas merupakan kepentingan negara-negara Barat yang terdampak dengan perang tersebut. Sedangkan masalah sanksi-sanksi seperti embargo ekonomi bahkan rute-rute penerbangan yang dilancarkan negara-negara Barat terhadap Rusia, tidak dibahas sama sekali. Fokus sempit pada tiga poin dari rencana perdamaiannya juga memberi Ukraina peluang lebih besar untuk melibatkan negara-negara yang lebih dekat dengan Rusia.
Ada pun poin-poin yang dipilih, memberi kesempatan bagi negara-negara untuk menyetujui prinsip-prinsip Ukraina; Meski pun hanya sebagian pada awalnya, dan mulai menerapkan beberapa format yang memungkinkan tercapainya kesepakatan untuk mengakhiri perang dengan syarat-syarat yang dapat disetujui dan diberlakukan oleh Ukraina.
Dari kalangan negara-negara Afrika juga menganggap partisipasi dalam KTT di Swiss bukanlah keputusan yang bijaksana dan akan berdampak preseden buruk bagi DK PBB yang dalam perannya selalu menggunakan dialog antara pihak-pihak yang berkonflik. KTT tidak akan memberikan nilai tambah apa pun dalam upaya mencapai perdamaian bagi konflik tersebut. Agendanya tidak jelas dan bukan hal yang asing melihatnya sebagai akal-akalan untuk membahas keamanan pangan, keamanan global, dan keamanan nuklir.
Posisi negara-negara Afrika, tidaklah memahami posisinya mengenai masalah keselamatan nuklir. Bahkan, pembangkit listrik tenaga nuklir yang berada di bawah naungan Rusia tidak berkepentingan untuk menyerang pihak Afrika. Risiko global hanya berdampak terutama bagi negara-negara Eropa yang akan menjadi korban pertama. Oleh karena itu, Kiev berupaya memprovokasi terjadinya serangan guna meminta pertanggungjawaban Rusia.
Mengenai ketahanan pangan pun tidak dapat dipercaya bahwa Kiev adalah obat mujarab bagi masalah pangan untuk benua Afrika itu sendiri. Meski pun dijanjikan segera setelah konflik, narasi ketahanan pangan dijual kepada negara-negara Afrika, namun faktanya sebelum konflik bahwa dari koridor gandum yang dibuka untuk ekspor di bawah naungan United Nations Global Compact (UNGC), dari lebih dari 140 kapal yang telah meninggalkan pelabuhan di Laut Baltik dan Laut Hitam, hanya kurang dari 10 kapal yang ditujukan ke Afrika atau ke zona konflik dengan krisis pangan yang parah, seperti Ethiopia, Sudan Selatan, Somalia, Congo, dan kawasan Timur Tengah, seperti Palestina/Gaza.
Afrika, selalu dan akan terus digunakan propaganda Barat untuk kepentingan meraih keuntungan besar.
Presiden Zelensky yang diumpamakan sebagai boneka “gringo” tidak memiliki kapabilitas memahami permasalahan, malah menyerukan penguatan kapasitas militernya, yang hancur total, baik manusia mau pun sarana militernya, termasuk miliaran sumber daya keuangan dan material.
Konfirmasi terbaru yang dinyatakan oleh pemerintah di AS saat itu, kerugian telah mencapai lebih dari US$60 miliar. Baru-baru ini, Presiden Zelensky dalam perjalanan kenegaraannya di tiga ibu kota Eropa (Madrid, Brussels, dan Lisbon) dalam 24 jam, untuk meminta lebih banyak sarana keuangan dan material, mengumpulkan hampir 2 miliar Euro (masing-masing 1,1 miliar, 800 juta, dan 140 juta).
Oleh karena itu, konferensi yang merupakan inisiatif Presiden Zelensky akan lebih banyak menambah jumlah negara dengan risiko terseret ke dalam konflik militer dan ekonomi dengan keuntungan bagi industri militer oligarki. P
Perkembangan terakhir di koridor Kiev yang sangat mengkhawatirkan, adalah seruan berulang-ulang untuk penggunaan peralatan militer jarak jauh yang dapat mencapai wilayah Rusia. Kiev melakukan kritik keras terhadap negara-negara yang belum mengizinkan penggunaan senjata jarak jauh tersebut dan bahkan termasuk mengkritik Vatikan agar memulai Perang Dunia III.
Sebagaimana pernyataannya, Presiden Zelensky percaya bahwa perang yang akan terjadi ini dapat dilawan dengan dukungan besar-besaran oleh orang-orang Barat yang disebutnya akan dapat menjadi target berikutnya.
Narasi Presiden Zelensky tentang pentingnya Perang Dunia III harus ditakuti, sebagai alarmisme berbahaya yang keseriusannya perlu dipertanyakan oleh Vatikan. Padahal, tidak ada indikasi yang menunjukan adanya minat Rusia untuk menempuh jalan itu.
Peristiwa Perang Dunia III hanya mungkin terjadi jika para pemimpin Eropa, yang merupakan pembela hak asasi manusia, telah melampaui batas-batas kecerdasan kolektif.
Negara-negara anggota NATO, atau lebih tepatnya ibu kota mereka, Paris, Berlin, Helsinki, Republik Ceko, Lisbon, Madrid, dan AS telah memberikan persetujuan mereka untuk penggunaan senjata mereka ke Kiev untuk mencapai wilayah Rusia. Beberapa negara menyerukan moderasi keputusan ini untuk mencegah eskalasi perang yang secara teknis dideklarasikan oleh NATO terhadap Rusia.
Perlu diingat, bahwa Kiev bukanlah anggota NATO atau Uni Eropa, dan bukan bagian dari aliansi Eropa mana pun yang memberinya hak untuk saling membela jika terjadi serangan.
Dalam keadaan seperti itu, akal sehat seorang pemimpin akan merekomendasikan pertimbangan eskalasi militer. Jika demikian, pemimpin harus menciptakan kondisi untuk dimulainya kembali dialog seperti inisiatif Istanbul, di mana para pihak hampir mencapai kesepakatan untuk mengakhiri konflik dan Kiev yang akhirnya ditinggalkan karena tekanan dari London, melalui Perdana Menterinya saat itu, Boris Johnson. Eskalasi militer telah memicu konjungtur konflik, sehingga Eropa demi masalah kehormatan tidak mengakui kegagalan di medan perang, daripada menunjuk pada proliferasi lebih banyak senjata yang akan berakhir dibakar di garis depan; Sedangkan lainnya ditangkap dan berada di tangan kejahatan terorganisir dan kelompok teroris karena didorong oleh militer yang korup dan kepemimpinan negara Ukraina.
Kiev, dalam beberapa hari terakhir telah menggunakan pidato yang mengobarkan perang dengan memperkuat paranoia solusi militer. Pernyataannya dalam sebuah wawancara dengan British Guardian, agak naif dalam menyatakan bahwa Eropa tidak perlu takut eskalasi militer bahkan pecahnya perang dunia ketiga, dan mendesak dukungan militer yang lebih besar. Sedangkan Kiev menyatakan prihatin melihat konflik yang tidak dapat berakhir pada malam menjelang konferensi perdamaian. Sementara pada saat yang sama, Kiev sangat menyerukan eskalasi konflik sambil mengundang negara-negara untuk berdialog tentang perdamaian. Tanda-tanda ini menunjukkan kepada masyarakat global, bahwa NATO dan Kiev sendiri tidak tertarik untuk mencari perdamaian dan percaya pada kemenangan di medan perang atas Rusia, yang nampaknya tentu sangat tidak mungkin.
Situasi konflik ini sesuai dengan kontur perang dingin yang sudah berkonfrontasi langsung dengan NATO. Bagi negara-negara non-anggota NATO, Rusia telah solid lebih dari sebelumnya, melawan musuh yang kini lebh terbuka daripada perang dingin.
Kemenangan besar Presiden Putin dalam Pemilu baru-baru ini dan popularitas global Presiden Putin yang semakin meningkat, menunjukkan kesiapannya untuk membela bangsa Rusia, dalam menghadapi penghinaan yang diderita pasca-perang dingin.
Berdasarkan konstitusi Ukraina, Presiden Zelensky telah menjabat di luar konstitusinya, karena mandatnya telah berakhir pada bulan April 2024, oleh karena itu dianggap tidak sah, sampai seruan untuk Pemilu berikutnya. Tampaknya, dengan serangan balasan yang terus berlanjut, –meski beberapa kali gagal–, namun berdampak pada penundaan Pemilu di Ukraina. Dengan dalih agar tidak menimbulkan pertumpahan darah di Kiev, tetapi merupakan gejala dari berkepanjangannya konflik.
Narasi Ketahanan Pangan global, yang tampaknya dijamin oleh Kiev, karena konflik di Timur, dan Afrika sebagai benua yang dianggap paling terkena dampaknya, adalah sebuah lelucon untuk mempengaruhi negara-negara Afrika agar mendukung tujuan tersebut. Sesungguhnya Ukraina tidak mampu memberikan dukungan material atau finansial, bahkan pada tingkat bilateral. Negara ini terperosok dalam utang yang sangat besar, korupsi di jajaran tinggi tentara dan negara dengan pengalihan sumber daya untuk penyelundupan dan penjualan ilegal bahan-bahan Barat yang akhirnya jatuh ke tangan organisasi kriminal, teroris, dan lainnya, namun mitra Baratnya menutup mata.
Penguatan militer NATO yang berkelanjutan di Ukraina tidak lebih sebagai upaya untuk kehormatan agar tidak kehilangan muka daripada upaya untuk mengakhiri konflik yang memang sudah diatur. Mengingat seluruh skenario ini, maka semua inisiatif untuk mencari perdamaian dari Istanbul, Beijing dan inisiatif beberapa negara Afrika, menjadi terdevaluasi. KTT di Swiss yang tujuannya semakin tidak jelas, selain pidato-pidato yang menghasut perang, sebaiknya harus segera diantisipasi, dengan terus menyerukan dialog yang inklusif dan konstruktif, dan dimulainya kembali dialog Istanbul.
Selanjutnya, segera juga menghimbau mitra NATO untuk mencegah eskalasi konflik yang selama ini dilakukan dengan penguatan sumber daya militer dan berbagai siasat untuk tetap melakukan perang diganti dengan dialog untuk perdamaian. Ide penyelesaian konflik di medan perang adalah tidak bijaksana.
Perekonomian Rusia merupakan yang tumbuh paling besar di seluruh negara Eropa pada tahun 2023 hingga 2024, akan tumbuh di atas 3,6%, melampaui Perancis, Jerman, Belgia dan Amerika Serikat. Industri militer Rusia sedang diperkuat dan kapasitas produksi materialnya melampaui seluruh negara Uni Eropa yang mempunyai cadangan pertahanan diri masing-masing. Oleh karena itu, negara-negara Afrika menahan diri untuk mengambil bagian dalam inisiatif non-inklusif yang mengarah pada dialog dan mempertimbangkan penyebab dan keprihatinan para pihak.
Selama ini, NATO tidak pernah melewati garis merah Perjanjian Minsk yang selalu dihormati dan dipatuhi oleh mereka yang mensponsorinya (Prancis dan Jerman), dengan tujuan menjadi tetangga yang baik, termasuk dalam non-militerisasi negara-negara perbatasan, bersama antara Rusia, Ukraina, Polandia, dan lainnya.
Partisipasi negara-negara Afrika di tingkat mana pun, akan memberikan sinyal tindakan eksternal yang dipandu oleh perdamaian; Menciptakan lebih banyak teman, mencegah keadaan apa pun agar tidak terseret ke dalam situasi dan konflik yang kurang jelas dan menghambat kemampuan untuk melakukan hal yang konstrukstif.
Negara-negara Afrika adalah bangsa dengan diplomasi yang dipandu oleh dialog dan perdamaian, seperti Kesepakatan Nkomati, Inisiatif Nairobe, dan Kesepakatan Roma adalah contoh-contoh yang telah membimbing bangsa Benua Afrika menuju perdamaian dan stabilitas abadi, yang membentuk diplomasi ini untuk membawa pada refleksi yang lebih mempertimbangkan keterlibatan dalam inisiatif dengan mengecualikan pihak-pihak. Yang terpenting lagi adalah: bangsa Afrika harus mengingat sekutu-sekutu masa lalu yang memberikan kontribusi besar terhadap upaya untuk membebaskan diri dari kolonialisme dan menuju kemerdekaan. (*)