Oleh: Buya Dr. Gusrizal Gazahar Dt. Palimo Basa (Ketua MUI Sumatera Barat)
DIJANTUNG pulau Sumatera, terhampar sebuah ranah yang kaya akan nilai budaya dan keagamaan: Sumatera Barat. Dikenal dengan semboyan “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah” (ABS-SBK), provinsi ini sejak lama menjadi contoh harmonisasi antara adat Minangkabau dan ajaran Islam.
Namun kini, harmoni itu tengah diuji oleh dinamika baru dalam konteks kenegaraan, terutama menyangkut program sertifikasi tanah ulayat.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sumatera Barat baru-baru ini mengambil sikap tegas terhadap program tersebut, dengan menerbitkan Bayan Nomor: 001/MUI-SB/V/2025. Dalam dokumen ini, MUI menyatakan penolakan terhadap sertifikasi tanah ulayat karena dinilai berpotensi besar merusak tatanan adat dan mengaburkan nilai-nilai keagamaan yang telah terjaga sejak dahulu.
Tanah Ulayat, Bukan Sekadar Lahan, Melainkan Warisan
Bagi masyarakat Minangkabau, tanah ulayat bukan sekadar aset fisik. Ia adalah bagian dari identitas dan kesinambungan sejarah. Di sinilah filosofi adat hidup dan dijalankan oleh niniak mamak dan anak kemenakan.
Sertifikasi yang didesain negara dengan pendekatan birokratis dan ekonomis dianggap menyederhanakan kekayaan sistem tanah ulayat, yang sebenarnya terdiri atas berbagai bentuk, dari ulayat kaum, nagari, hingga ulayat rajo yang meskipun secara administratif nyaris tak terdengar, tetap hidup dalam sanubari budaya lokal.
MUI Sumbar memandang, sertifikasi dengan model “Hak Pengelolaan” mengarah pada penyusutan hak adat yang sah. Lebih dari itu, ada kekhawatiran besar bahwa mekanisme ini justru membuka jalan bagi penguasaan terselubung oleh pihak luar, khususnya investor besar. Dalam konteks ini, adat dan agama menyatu dalam narasi perlindungan, bahwa hak atas tanah adalah amanah, bukan komoditas.
Agama Menjadi Penjaga Moralitas Kepemilikan
Dalam Bayan tersebut, MUI menegaskan peran agama sebagai penuntun dalam persoalan kepemilikan tanah. Dengan mengutip hadis-hadis Nabi Muhammad SAW, MUI memperingatkan bahwa mengambil hak milik orang lain, walau sejengkal tanah, merupakan bentuk ghulul (pengkhianatan) yang akan mendatangkan siksaan berat di akhirat.
Penegasan ini memperlihatkan bagaimana agama tidak sekadar menjadi aspek spiritual, tetapi juga kerangka etis yang melandasi tata kehidupan masyarakat Minangkabau, termasuk dalam urusan pengelolaan sumber daya.
Negara, Antara Kepastian Hukum dan Kepekaan Budaya
Kritik MUI juga mengarah pada negara, yang dianggap tidak cukup peka terhadap kompleksitas sosial dan historis tanah ulayat. Proyek sertifikasi dinilai dijalankan tanpa terlebih dahulu menyelesaikan konflik-konflik lahan yang telah lama mengakar. Bahkan, perhatian pemerintah dinilai baru muncul ketika tanah ulayat menjadi bagian dari kepentingan investasi besar.
Ironisnya, tanah yang dahulu diperjuangkan dan diwariskan oleh leluhur justru terancam menjadi milik asing melalui skema legal yang belum tentu adil.
Mencari Jalan Tengah, Solusi dari MUI
Alih-alih menolak tanpa solusi, MUI Sumbar justru memberikan tawaran konstruktif, penelusuran, pemetaan, dan registrasi tanah ulayat dengan dasar hukum yang kuat, namun tetap dalam koridor adat. Pendekatan ini dianggap lebih menghargai karakteristik lokal, tanpa harus memaksakan sistem yang mungkin tidak kompatibel dengan nilai adat dan agama.
Pesan penutup dalam Bayan itu sangat kuat dan menyentuh: “Jangan sampai karena kelalaian kita, anak kemenakan menjadi tamu di kampung sendiri.”
Sebuah peringatan keras bahwa tanpa kehati-hatian, kita bisa kehilangan lebih dari sekadar tanah, kita bisa kehilangan identitas.
Menjaga Keseimbangan Tiga Pilar
Sumatera Barat kini berada di simpang tiga, antara adat, agama, dan negara. Tantangannya bukan hanya soal tanah, melainkan bagaimana menjaga agar ketiga pilar ini tetap berdiri sejajar, saling menopang, bukan saling menekan.
Perdebatan seputar tanah ulayat adalah cermin dari dinamika yang lebih luas, tentang bagaimana bangsa ini harus belajar memahami kearifan lokal dalam kerangka kenegaraan. Sebab dalam konteks Minangkabau, membicarakan tanah bukan hanya membicarakan ruang, tetapi juga ruh, warisan, dan arah masa depan.
Tulisan ini adalah ajakan untuk merenung, bahwa dalam masyarakat yang menjunjung tinggi nilai adat dan agama, negara tak bisa hadir sebagai kuasa tunggal. Ia harus datang sebagai mitra yang memahami, mendengarkan, dan menghargai.
Penulis: Alex.jr
(IMBCNews.com/Bukittinggi)