Oleh Anwar Abbas, Ketua PP Muhammadiyah
IMBCNEWS Jakarta | Sumitro Djojohadikusumo pernah membuat rencana dalam bidang ekonomi yang disebut dengan sistim ekonomi gerakan benteng yang dilaksanakan pada masa pemerintahan kabinet Natsir, bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi peninggalan Belanda menuju ekonomi nasional.
Hal ini menurut Sumitro perlu dilakukan karena peta penguasaan ekonomi yang ada tampak sekali berat sebelah dan cenderung mengedepankan kepentingan pengusaha asing serta tidak menguntungkan bagi pengu saha pribumi atau penduduk asli.
Untuk itu sebagai solusi dalam gerakan benteng tersebut Sumitro mengedepankan dua kebijakan utama yaitu : Pertama, mengistimewakan importir pribumi yang diberi kewenangan melakukan impor khusus dengan mendapatkan jatah devisa dengan kurs murah.
Kedua, memberikan kredit modal kepada para pengusaha pribumi/penduduk asli sebab mereka selama ini sangat sulit untuk memperoleh pinjaman dari lembaga keuangan terutama dari dunia perbankan.
Tetapi program yang dilaksanakan oleh Sumitro ini bisa dikatakan gagal karena para pengusaha yang didukung oleh pemerintah tersebut tidak memiliki mentalitas sebagai pengusaha yang tangguh dimana mereka tidak mampu bersaing dengan para pengusaha dari etnis tionghoa sehingga akhirnya banyak dari mereka yang menjual lisensi impor yang telah mereka peroleh kepada para pengusaha non-bumiputra yang memang sudah berpengalaman dalam dunia bisnis.
Meskipun demikian gagasan Sumitro ini bila dikaitkan dengan peta perekonomian nasional saat ini tentu masih sangat relevan untuk dilanjutkan agar negeri ini kedepan bisa berjalan dengan baik tanpa ada kecemburuan sosial ekonomi diantara sesama warga bangsa sebab penguasaan perekonomian nasional saat ini sangat didominasi oleh warga negara Indonesia dari etnis tertentu yaitu dari etnis cina/Tionghoa.
Dalam menghadapi hal ini kita tentu tidak bisa menyalahkan etnis tionghoa saja karena pihak pribumi/penduduk asli juga punya kelemahan dimana mereka tidak memiliki mentalitas sebagai entrepreneur yang handal.
Hal ini tidak hanya menjadi kerisauan dari kita yang berasal dari penduduk asli tapi juga telah menjadi perhatian besar dari para pengusaha nonpenduduk asli seperti Ir. Ciputra seorang konglomerat dalam bidang properti dari kalangan keturunan Tionghoa.
Dalam salah satu wawancara Ciputra pernah menyampaikan keprihatinannya dimana dari 45 sampai 50 perusahaan publik dalam bidang properti di negeri ini yang dimiliki oleh penduduk asli kata beliau hanya satu. Hal ini menurut Ciputra tentu tidak bisa dibiarkan karena kalau berketerusan tentu akan menimbulkan hal-hal yang tidak baik dan tidak sehat bagi kehidupan sosial ekonomi dan politik di negeri ini.
Untuk merubah keadaan tersebut ke arah yang diinginkan juga tidak mudah karena penduduk asli kata Ciputra tidak punya orang tua, masyarakat/lingkungan dan guru yang mendukung bagi terciptanya entrepreneur-entrepreneur yang diinginkan tersebut.
Oleh karena itu jalan keluarnya kata Ciputra pemerintah
harus bisa mengalokasikan sebagian besar anggaran pendidikan yang dimilikinya untuk mencetak para entrepreneur melalui jalur pendidikan yang ada sehingga keseimbangan jumlah entrepreneur dalam perekonomian nasional bisa tercipta dan stabilitas sosial ekonomi serta politik nasional kedepan dapat terwujud sesuai dengan yang kita harapkan.
imbcnews/diolah/**