IMBCNews – JAKARTA – SETELAH muncul pro-kontra terkait pelonggaran bagi anggota TNI nyambi kerja seperti buka warung atau ojol, penugasan baru untuk menjaga kantor kejari dan kejati di seluruh Indonesia, juga menuai polemik.
Penugasan baru itu tertuang dalam telegram Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, 6 Mei 2025 memuat perintah pengerahan personil dan alat kelengkapannya untuk mendukung pengamanan kantor kejakasaan negeri dan kejaksaan tinggi.
Kapuspen Hukum Kejagung Harli Siregar saat dikonfirmasi Kompas.com, (11/5) mengiakan tugas pengamanan tersebut dan menyebutkan sebagai bentuk kerja sama antara TNI dengan pihak kejaksaan. Wacananya, diperlukan satu peleton (8 – 13 personil) untuk mengamankan kantor kejari dan satu peleton (30-an personil) untuk kantor kejati, namun jumlah personil bisa disesuaikan menurut kebutuhan.
Sebaliknya, perintah pengerahan prajurit untuk mengamankan kantor kejaksaan tersebut menuai beragam penolakan dari kelompok masyrakat sipil, bahkan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan (KMSRSK) mendesak Panglima TNI mencabut surat perintah tersebut karena dinilai tak ada pijakan hukumnya.
“Hal itu bertentangan dengan berbagai regulasi, terutama Konstitusi, UU Kekuasaan Kehakiman, UU Kejaksaan, UU Pertahanan Negara, dan UU TNI sendiri yang mengatur secara jelas tugas dan fungsi pokok TNI.
“Kami menilai, kerangka kerja sama bilateral antara TNI dan kejaksaan tidak memiliki dasar hukum kuat untuk dijadikan acuan pengerahan pasukan perbantuan kepada Kejaksaan,” ujar anggota KMSRSK, yang aajuga menjabat Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.
Hamid mengemukakan, pengerahan seperti ini semakin menguatkan adanya intervensi militer di ranah sipil khususnya di wilayah penegakan hukum.
“Prajurit TNI seharusnya fokus menjalankan tugas di wilayah pertahanan, alih-alih masuk ke penegakan hukum, “
Di sisi lain, saat ini belum ada dasar operasi militer selain perang (OMSP) menyangkut bagaimana pengamanan tersebut dilakukan.
Tidak bisa dicampuraduk
Usman mengingatkan, tugas penegakan hukum oleh kejaksaan tidak boleh dicampuradukkan dengan fungsi TNI menjaga pertahanan. Kehadiran TNI menjaga kejaksaan juga dinilai bakal memengaruhi independensi penegakan hukum.
“Mencampurkan fungsi penegakan hukum dan fungsi pertahanan bisa menimbulkan kekacauan dalam sistem ketatanegaraan ,” tutur Usman.
KMSRSK menyebut pengamanan institusi kejaksaan seharusnya bisa dilakukan oleh satuan pengamanan internal (satpam), tanpa perlu melibatkan personel TNI.
Sebab, kata Usman, tidak ada ancaman yang bisa menjustifikasi pengerahan satuan TNI, sehingga surat telegram panglima TNI itu dinilai sangat tidak proporsional terkait fungsi perbantuannya dan dianggap tindakan melawan hukum dan undang-undang.
“Kami mendesak Panglima TNI mencabut Surat Perintah tersebut dan mengembalikan peran TNI di ranah pertahanan,” ujar dia.
Sementara Kapuspen TNI Mayjen Kristomei Sianturi mengatakan, pengerahan prajurit TNI dalam pengamanan di lingkungan kejaksaan adalah kerja sama resmi dengan Kejaksaan Agung.
Dia menyatakan, kerja sama tersebut tertuang dalam Nota Kesepahaman NK/6/IV/2023/TNI tanggal 6 April 2023.
“Perbantuan TNI kepada kejaksaan merupakan bagian dari kerja sama resmi antara TNI dan Kejaksaan RI yang tertuang dalam Nota Kesepahaman No. NK/6/IV/2023/TNI tanggal 6 April 2023,” kata Kristomei.
Nota Kesepahaman itu memuat sejumlah bidang kerja sama TNI dan Kejagung a.l diklat, pertukaran informasi penegakan hukum, penugasan prajurit TNI di lingkup Kejari, serta penugasan jaksa sebagai supervisor di Oditoriat Jenderal TNI.
Profesi militer sejatinya memang harus fokus, diasah, dan dilatih dan digembleng terus agar prajurit siap setiap saat menghadapi berbagai bentuk ancaman dan tantangan.
Di tengah derasnya kemajuan teknologi dan perubahan cepat konstelasi geopolitik baik di dalam dan di luar negeri, dituntut kesamaptaan fisik dan mental, kesiapan taktik dan strategi, tidak bisa disambi-sambi.
(imbcnews/Theo/sumber diolah: kompas.com)