Oleh; Khodijah Hulliyah, PhD. *
PADA abad klasik, otoritas seorang ustad dalam mendiseminasi ilmu agama sangat diakui karena kedalaman pemahamannya terhadap Al-Qur’an, Hadis, dan tradisi keilmuan Islam. Namun, di era digital pola ini mulai bergeser. Seorang ustad tidak lagi diukur hanya dari keluasan ilmunya, tetapi juga dari keterampilan komunikasi dan daya tariknya dalam menyampaikan pesan agama.
Bahkan, ada fenomena di mana seseorang dengan ilmu agama yang cetek tetapi memiliki kemampuan public speaking yang baik lebih menarik perhatian umat dibandingkan ulama yang memiliki ilmu mendalam tetapi kurang komunikatif.
Fenomena ini semakin berkembang dengan hadirnya AI (Artificial Intelligence) sebagai sumber pengetahuan agama. AI menawarkan kecepatan dan efisiensi dalam mengakses berbagai referensi Islam, menyusun materi ceramah, atau bahkan menjawab pertanyaan umat.
Ustad AI-er, yaitu mereka yang sangat mengandalkan AI dalam tugas dakwahnya, muncul sebagai bagian dari era digital. Namun, di balik kemudahan ini, ada risiko besar jika ketergantungan pada AI tidak diimbangi dengan kapasitas verifikasi dan pemahaman yang baik.
Dari perspektif sosiologi komunikasi, penggunaan AI dalam keagamaan mencerminkan perubahan besar dalam cara umat berinteraksi dengan otoritas keagamaan.
Menurut Manuel Castells dalam The Rise of the Network Society, era digital menciptakan masyarakat jaringan (network society), di mana individu dapat mengakses dan menyebarkan informasi tanpa harus bergantung pada otoritas tradisional.
Dalam konteks Islam, hal ini berarti bahwa umat kini dapat memperoleh jawaban keagamaan langsung dari AI tanpa harus bertanya kepada ulama. Namun, Anthony Giddens dalam The Consequences of Modernity mengingatkan bahwa modernitas membawa fenomena disembedding, yaitu pelepasan makna dari konteks aslinya.
Jika AI digunakan tanpa pendampingan ulama, ada risiko bahwa jawaban yang diberikan menjadi dekontekstualisasi dan tidak mempertimbangkan kondisi sosial serta psikologis individu yang bertanya. Hal ini bisa menyebabkan pemahaman agama yang kaku, dangkal, atau bahkan keliru.
Prinsip Kehati-hatian dalam Menyampaikan Fatwa
Seorang ustad memiliki tanggung jawab besar dalam menyampaikan ilmu kepada umat. Oleh karena itu, prinsip kehati-hatian sangat diperlukan, terutama dalam hal memberikan fatwa atau panduan keagamaan. Dalam Islam, kesalahan dalam berfatwa dapat membawa dampak buruk, baik bagi umat maupun bagi ustad itu sendiri.
Allah SWT telah memperingatkan dalam Al-Qur’an: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, ‘Ini halal dan ini haram,’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak akan beruntung.” (QS. An-Nahl: 116)
Ayat ini menegaskan bahwa menyampaikan hukum agama tanpa dasar yang kuat adalah perbuatan yang sangat berbahaya. Hal ini juga dikuatkan dalam hadits Rasulullah ﷺ: “Sesungguhnya orang yang paling berani berfatwa adalah orang yang paling berani masuk neraka.” (HR. Ad-Darimi, no. 157)
Imam Malik rahimahullah juga pernah berkata: “Barang siapa yang ditanya tentang suatu ilmu, maka hendaklah ia mempertimbangkan dirinya terlebih dahulu. Jika ia merasa yakin bahwa ia mampu menjawab dengan benar, maka silakan ia menjawab. Jika tidak, maka lebih baik ia mengatakan ‘saya tidak tahu’.”
Hal ini menunjukkan bahwa ustad tidak boleh gegabah dalam memberikan pandangan keagamaan, apalagi hanya berdasarkan hasil pencarian AI tanpa kajian mendalam. AI memang bisa memberikan referensi dari berbagai kitab dan fatwa ulama terdahulu, tetapi ia tidak memiliki kemampuan untuk memahami konteks spesifik, kondisi umat, dan dampak sosial dari sebuah fatwa.
Perspektif Psikologi tentang Ustad AI-er
Dari sudut pandang psikologi, interaksi ustad dengan AI dalam dakwahnya memiliki dampak signifikan terhadap cara berpikir dan mengambil keputusan. Teori Cognitive Load dari John Sweller menjelaskan bahwa otak manusia memiliki kapasitas terbatas dalam memproses informasi. AI, dengan kemampuan menyajikan informasi dalam jumlah besar secara instan, bisa membuat ustad terbebani jika tidak memiliki sistem seleksi dan analisis yang baik. Ketergantungan berlebihan pada AI bisa mengurangi kemampuan berpikir kritis dan reflektif dalam menyampaikan ilmu agama.
Selain itu, teori Decision Fatigue dari Roy Baumeister menunjukkan bahwa semakin sering seseorang mengambil keputusan tanpa proses berpikir yang mendalam, semakin tinggi risiko membuat keputusan yang salah. Jika ustad terbiasa mendapatkan jawaban instan dari AI tanpa menelaahnya lebih lanjut, ia bisa kehilangan kepekaan terhadap nuansa hukum Islam yang kompleks dan membutuhkan perenungan.
Psikologi komunikasi juga menyoroti pentingnya human connection dalam dakwah. Teori Emotional Contagion dari Elaine Hatfield menunjukkan bahwa emosi dapat menular melalui interaksi sosial. Jika seorang ustad hanya mengandalkan AI dalam menyusun ceramah atau menjawab pertanyaan, maka elemen emosional dalam komunikasi bisa berkurang. Umat mungkin mendapatkan jawaban yang informatif, tetapi tanpa sentuhan empati yang diperlukan dalam membimbing mereka.
Harapan Umat terhadap Ustad di Era AI
Di tengah derasnya arus informasi, umat tetap memiliki harapan besar kepada para ustad. Mereka bukan hanya dianggap sebagai penyampai ilmu, tetapi juga sebagai sumber ketenangan dan bimbingan dalam kehidupan. Umat berharap para ustad mampu menjadi pembawa pencerahan yang menyampaikan anjuran suci dari Allah SWT dan Rasulullah ﷺ untuk menciptakan kehidupan yang harmonis, baik dalam lingkup keluarga maupun bangsa.
Dalam era AI ini, peran ustad semakin penting untuk menjaga keaslian ajaran Islam. Ustad harus memastikan bahwa pemahaman agama yang berkembang tetap sesuai dengan prinsip-prinsip Islam yang otentik, tanpa terdistorsi oleh informasi yang bias atau tidak valid dari AI. Selain itu, ustad juga harus menjadi penengah dalam perbedaan pandangan. AI dapat menyajikan berbagai sudut pandang dalam Islam, tetapi ustad harus mampu menjelaskan mana yang lebih sesuai dalam konteks sosial dan budaya umatnya.
Ustad juga diharapkan memberikan bimbingan spiritual yang menyentuh hati umat. AI tidak memiliki empati dan pemahaman terhadap perasaan manusia. Oleh karena itu, ustad tetap dibutuhkan untuk memberikan bimbingan yang menyentuh hati umat, baik dalam menghadapi persoalan keluarga, ekonomi, maupun sosial. Terakhir, ustad harus menyebarkan nilai-nilai Islam yang damai. Di era informasi yang penuh dengan hoaks dan fitnah, ustad harus menjadi penjaga nilai-nilai Islam yang menyejukkan, mengajarkan kesabaran, persatuan, dan kasih sayang dalam kehidupan bermasyarakat.
AI Hanya Alat
Pemanfaatan AI dalam dakwah harus dilakukan dengan bijak. AI seharusnya menjadi alat yang memperkaya dakwah dan membantu efisiensi penyebaran ilmu, bukan menggantikan otoritas keulamaan. Dengan tetap mengutamakan ilmu, ketelitian dalam menelaah informasi, serta kebijaksanaan dalam membimbing umat, ustad dapat menjaga perannya sebagai cahaya bagi umat dalam menjalani kehidupan yang lebih harmonis dan bermakna. **
Penulis,
* Dosen pada Fakultas Sains dan Teknologi, Direktur Artificial Intelligence Literacy and Innovation Institute (ALII) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta