IMBCNEWS – Jakarta – Sanksi etika saja agaknya tidak cukup, perlu sanksi pidana bagi siapa pun, baik aparat keamanan, penegak hukum, atasan langsung atau pejabat berwenang yang menyebabkan kerugian negara, korban jatuh, apalagi nyawa melayang walau bukan akibat langsung perbuatannya.
Hal itu dilontarkan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII), Usman Hamid (6/1) menyikapi penembakan oleh dua oknum TNI-AL yang menewaskan dua warga sipil di rest area KM 45 tol Tangerang – Merak, Kamis, 2 Jan. lalu.
Ilyas Abdurrahman (48), bos rental mobil tewas karena luka tembak di dada dan tangan, sementara Ramli Abu Bakar (59) rekan Ilyas, anggota Asosiasi Rental Mobil Indonesia (ARMI), luka tembak serius yang menembus perutnya.
Keduanya menjemput maut saat berusaha mengambil kembali mobil rental yang digelapkan oleh tersangka pelaku AS yang dibeckingi oleh tiga anggota TNI-AL, dua dari Komando Pasukan Katak (Kopaska) yakni Sertu AA dan Sertu H, satu lagi Kelasi Kepala KRI Bontang berinisial BA.
Panglima Komando Armarda Laksamana Madia TNI Denih Hendrata dalam jumpa pers, Senin (6/11) mengakui, pistol yang digunakan Serka AA melekat dengan tugasnya sebagai ADC atau ajudan (tidak disebutkan ajudan siapa).
Namun tentu saja publik sangat menyesalkan, senjata yang dibeli dari uang rakyat itu, bukannya digunakan untuk menjalankan tugas sebagai abdi negara, tetapi untuk melakukan kejahatan dan menyebabkan nyawa rakyat melayang.
Putera Ilyas (Agam) sebelumnya sudah berusaha meminta pendampingan ke Polsek Cinangka, Banten, dekat TKP dan diterima oleh dua bintara jaga saat itu, Brigadir Deri Andriani dan Bripka Dedy, karena yang dihadapi ayahnya adalah kelompok bersenjata.
Namun kedua bintara Polsek Cinangka itu menolak memberikan pendampingan, dan seperti yang dilaporkan oleh Kapolseknya AKP Asep Iwan Kurniawan, anak buahnya takut salah prosedur dan meminta Agam melengkapi laporannya dengan dokumen leasing yang diperlukan.
Dalih AKP Asep itu sendiri agaknya mengada karena yang diminta Agam adalah pendampingan polisi menghadapi komplotan bersenjata api, dan terbukti berakibat fatal, ayahnya terbunuh dan rekanya terluka parah ditembak pelaku.
“Kelalaian aparat yang berujung pada kematian warga sipil harus dipertanggungjawabkan secara pidana dan tidak hanya berhenti pada ranah etik,” ujar Usman.
Pistol boong-boongan
Sementara itu, menurut kesaksian Agam, bahkan saat ia mendesak pada petugas piket tersebut untuk mendampinginya, karena yang dihadapi adalah orang-orang bersenjata, petugas itu mengatakan: “Paling pistol bohong-bohongan”. Tidak diketahui, alasan kedua bintara polisi tersebut sebenarnya, apa memang cuma enggan melakukan pendampingan, atau ciut nyalinya berhadapan dengan para pelaku bersenjata itu.
Usman mengatakan, tindakan anggota Polsek Cinangka, Banten yang menolak permintaan korban dan tim rental mobil dalam mengejar mobil mereka yang saat itu di tangan sejumlah oknum TNI AL, harus mendapatkan perhatian serius dari Polri.
“Kelalaian Polri dalam mencegah terjadinya penembakan pada 2 Januari 2025 tersebut harus menjadi perhatian serius dari institusi kepolisian,” imbuh Usman.
Atas terjadinya kasus ini dan sejumlah kejadian pembunuhan di luar hukum yang masih marak terjadi, AII mendesak pemerintah dan DPR untuk melakukan reformasi sistem peradilan militer dengan merevisi UU Peradilan Militer No. 31 Tahun 1997.
“Pelaku harus diadili melalui peradilan umum bukan peradilan militer yang prosesnya cenderung tertutup dan tidak transparan. Oleh karena itu, kami mendesak pemerintah dan DPR untuk segera melakukan reformasi sistem peradilan militer dengan merevisi UU Peradilan Militer No. 31 Tahun 1997,” imbuh Usman.
Dia mengatakan, revisi terhadap UU ini harus memastikan bahwa pelanggaran hukum pidana umum yang dilakukan oleh personel militer dapat diproses melalui peradilan umum, sesuai amanat Undang-Undang TNI No. 34 Tahun 2004.
“Hanya dengan langkah ini kita dapat memastikan keadilan yang sesungguhnya bagi para korban dan mengakhiri impunitas yang telah berlarut-larut,” kata Usman lagi.
Sanksi untuk kasus-kasus lain
Dalam persepktif lebih luas, sanksi akibat kelalaian yang berkontribusi menjadi penyebab jatuhnya korban, apalagi sampai meninggal, harus dikenakan pula pada profesi dan kasus-kasus lain.
Misalnya saja tawuran pelajar berulang yang menewaskan orang, seharusnya guru, sampai kepala sekolah, juga polisi mulai dari anggota babinkantibmas, petugas pos polisi, sampai polsek dan Polres di llingkungan TKP harus dimintai pertanggungjawaban.
Bagitu pula terkait kasus-kasus kekerasan misalnya di sekolah termasuk yang berbasis agama, selain guru, pengelola atau pemilik pesantren, juga sampai menteri agama yang berwenang harus dimintai pertanggungkawabannya, apa saja yang sudah mereka perbuat untuk mencegahnya.
Tanggungjawab renteng terhadap semua kewenangan harus dilakukan, jika tidak, bakal terjadi kasus berulang-ulang tanpa solusi, bahkan terus bereskalasi, padahal tanggung jawab dan pengawasan atasan sering berkontribusi pada tindak pidana atau penyimpangan. (imbc/Theo sumber diolah)