IMBCNews, Jakarta – Bangsa Jepang dikenal paling disiplin dalam hal apa pun termasuk menjaga kebersihan dan lingkungan terutama terkait penanganan dan pengelolaan sampah mulai dari individu sampai korporasi dan pemerintahan.
Sejak usia dini, siswa sekolah telah diajari tertib soal kebersihan termasuk membuang sampah di tempatnya dan sebaliknya, pihak sekolah dan pemerintah menyediakan sarana dan prasarananya, sehingga tidak ada alasan bagi siapa pun untuk membuang sampah sembarangan.
Tak puas dengan capaiannya tetang penanganan sampah, pemerintah kota Fukushima, mulai Maret 2025 bahkan akan menghukum warga yang membuang sampah tidak pada tempatnya atau tidak sesuai dengan tong sampai sesuai jenis sampahnya, organik, anorganik atau sampah kaleng bekas dengan menyebar identitas pelaku ke publik.
Berbeda dengan di negeri ini, jika ada, tong sampah sering kondisinya tidak layak, dipenuhi sampah sampai luber, tidak diangkut-angkut sehingga aroma tak sedapnya ke mana mana, tong sampah terkadang juga tidak tersedia. Ini jadi dalih, orang tidak tertib membuang sampah.
Industri di Jepang yang teknologinya sangat maju juga menproduksi berbagai alat penanganan dan pemrosesan sampah, sementara pemerintah pusat dan perfektur juga terus berinovasi mencari cara-cara yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
Berbuat kebajikan, membuang sampah usai menonton laga sepak bola ditunjukkan oleh suporter Jepang pada laga putaran ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026 di SGBK, Senayan, Jakarta 15 Nov. lalu di mana tim samurai Jepang mencukur Timnas Garuda 4- 0.
Usai laga, pendukung tim Jepang, tua muda, laki perempuan
dengan plastik-plastik besar bewarna biru mengumpulkan botol-botol plastik bekas kemasan air mineral untuk selanjut mereka buang ke tempat-tempat pembuangan sampah.
Di berbagai kesempatan, komunitas warga Jepang di Jakarta juga melakukan acara bersih-bersih, menyapu dan mengumpulkan sampah di sekitar SGBK atau di kawasan Blok M setelah usai bazar kuliner dan produk Jepang lainnya.
Ritual membersihkan sampah juga pernah dilaporkan media saat timnas Jepang harus tersingkir dari laga 16 besar penyisihan Piala Dunia 2022 di Doha, Qatar setelah adu pinalti dengan tim Kroasia, padahal di laga sebelumnya, Jepang menaklukkan tim raksasa Jepang dan Spanyol.
“Kalah ya kalah”, tegas pelatih Jepang Hajime Moriyasu. Ia pun membungkukkan tubuhnya dalam dalam, mengucapkan terima kasih pada para supporter dan tuan rumah penyelenggara.
Tak sepatah kata pun pernyataan untuk mencari kambing hitam atau menyalah-nyalahkan wasit, lawan dan alasan lainnya.
Tidak hanya itu, saat stadion Doha sudah sepi, pelatih tim Jepang Hajime Moriyasu kembali ke sana, bersujud syukur, sekali lagi untuk berterima kasih dan merenungkan kekalahan timnya.
Membangun dari bawah
Jepang membangun tim sepak bola dari bawah, didukung industri raksasa dengan mendirikan klub-klub yang kemudian menjadi unggulan di kawasan Asia dan mencetak pemain-pemain yang diincar dan laku, merumput di tim-tim papan atas Eropa.
Persepakbolaan negara Matahari Terbit itu maju berkat semangat Bushido dan budaya disiplin tinggi yang mengakar dalam diri setiap individu orang Jepang.
Sudah menjadi tradisi, Moriyasu dan seluruh pemain membersihkan ruang ganti, meninggalkan hiasan kertas (origami) berbentuk “tsuru” (bangau simbul keberuntungan ) dan selembar kertas bertulisan “Syukron” atau terima kasih dalam Bahasa Arab.
Pembelajarannya, pada saat terpuruk atau mengalami situasi terburuk pun, orang harus tetap mengedepankan adab, etika, sikap fair, sportif dan melakukan kebaikan bagi orang lain.
Jadi, tidak dengan hal yang muluk-muluk, cara pandang mereka terkait soal sampah saja sudah mencerminkan tingginya falsafah hidup yang mereka lakoni. Bagaimana dengan negeri kita? (imbcnews/theo – diolah dari BBC)