IMBCNEWS – Jakarta – RI resmi bergabung menjadi anggota penuh BRICS, kelompok negara dengan misi utama mengurangi hegemoni Barat di bidang perdagangan dan ekonomi serta meningkatkan kerjasama di antara para anggota, khususnya antara negara Selatan dan Selatan.
BRICS yang diinisiasi oleh Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan sesuai singkatannya, didirikan pada 2009 dan saat ini beranggotakan 18 negara. Empat negara bergabung pada 2024 dan sembilan termasuk RI bergabungawal 2025.
Empat anggota baru yang bergabung pada 2024 yakni Ethiopia, Iran, Mesir dan Uni Emirat Arab, sedangkan yang bergabung tahun ini Belarus, Bolivia, Kuba, Indonesia, Kazakhstan, Malaysia, Thailand, Uganda dan Uzbekistan.
Dari angka-angka, kelima negara BRICS dihuni 2,88 miliar jiwa atau hampir separuh (44 persen) dari total penduduk dunia, mencakup 26 persen luas bumi dan pada 2013 menyumbang 27 persen PDB global.
Yang pro menganggap bergabungnya RI ke BRICS sesuai amanat konstitusi yakni menjalankan kebijakan LN yang bebas dan aktif dan diharapkan bisa menjembatani antara negara-negara Selatan yang tergabung dalam BRICS dengan ngara di belahan dunia lainnya seperti kekuatan Barat dipimpin Amerika Serikat.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI Telisa Aulia Falianty dalam dialog di TV swasta (8/2) menilai, bergabungnya RI ke dalam BRICS diharapkan menaikkan posisi tawar-menawar menghadapi hegemoni dan menekan ketergantungan dengan Barat.
Namun demikian, menurut dia, narasi yang dibangun hendaknya tidak untuk meninggalkan dollar yang sejauh ini mendominasi transaksi internasional, tetapi sebagai upaya diversifikasi untuk menyeimbangkan arsitektur perekonomian global dan mengurangi ketergantungan dengan pihak Barat.
Ancaman Presiden Trump
Sementara itu. terkait kemungkinan dampak ancaman Presiden AS Donald Trump yang akan mengenakan tarif impor dari negara-negara anggota BRICS sebesar 100 persen, Telisa mengatakan, perlu diantisipasi.
Masalahnya, neraca perdagangan RI dan AS, menurut dia, jauh lebih menguntungkan yakni menurut BPS selalu surplus, sebaliknya dengan China yang merupakan salah satu pelopor BRICS defisit.
Menurut catatan BPS, tren perdagangan RI dengan AS mengalami surplus 53 bulan berturut-turut sejak Mei 2020 sampai September 2024 dengan total akumulasi 21,98 miliar dollar AS, sebaliknya dengan China, pada Oktober 2024 saja tercatat 765,6 juta dollar AS.
Untuk itu, lanjut Telisa, kinerja espor Indonesia ke negara-negara anggota BRIC terutama China, mulai dari efisiensi dan mutu produk guna meningkatkan daya saing harus terus dibenahi, jika tidak, Indonesia malah bisa kebanjiran impor produk-produk China dan anggota BRICS lainnya.
Surplus perdagangan dengan AS, kata Telisa, harus tetap dipertahankan. “Jadi intinya, kita tingkatkan kerjasama dengan BRICS, tanpa meninggalkan mitra-mitra dagang sebelumnya yang sudah terjalin baik dan menguntungkan.
Sementara Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai, keanggotaan tetap RI di BRICS menguntungkan dan merupakan langkah strategis untuk menaikkan posisi tawar Idi kancah global, khususnya terhadap Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).
“RI adalah kekuatan ekonomi potensial global. Potensi ini harus di-unlock dengan lebih berani mengambil sikap,” tuturnya, seraya menambahkan, keanggotaan dalam BRICS adalah peluang bagi RI untuk menentukan arah dan cetak biru BRICS ke depan.
Dianggap Sentimen Barat
Sementara itu, Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menilai masuknya Indonesia sebagai anggota penuh BRICS bisa saja membawa sentimen anti negara barat, dianggap bersikap menjauh dari pengaruh negara-negara barat seperti AS.
Tawaran pada RI untuk bergabung dengan BRICS sebenarnya sudah muncul sejak 2023. Sejumlah anggota BRICS menyambut baik ketertarikan Presiden saat itu Joko Widodo,yang hadir dalam KTT BRICS 2023 di Afrika Selatan.,
Proses pendaftaran sudah dilakukan melalui surat ketertarikan atau expression of interest yang disampaikan Menlu Sugiono, dalam KTT BRICS Plus, di Kazan, Rusia, (24 Okt., 2024).
Sugiono mengikuti KTT BRICS Plus sebagai Utusan Khusus Presiden Prabowo dan merupakan kunjungan resmi perdananya usai dilantik sebagai Menlu.
Ia mengatakan, bergabungnya Indonesia dengan BRICS, bukan berarti ikut dalam blok tertentu. “Bergabungnya Indonesia ke BRICS merupakan pengejawantahan politik luar negeri bebas aktif. Indonesia ingin berpartisipasi aktif di semua forum,” kata Sugiono.
Menurut dia, BRICS merupakan wahana yang tepat untuk membahas dan memajukan kepentingan bersama negara-negara di dunia selatan.
Menlu melihat tiga langkah konkret untuk memperkuat kerja sama BRICS dengan negara-negara selatan. Pertama, menegakkan hak atas pembangunan berkelanjutan sehingga negara-negara maju harus memenuhi komitmen mereka kepada negara berkembang.
Kedua, mendukung reformasi sistem multilateral supaya lebih inklusif, representatif, dan sesuai dengan realitas saat ini. Institusi internasional juga harus diperkuat dengan sumber daya yang memadai.
Ketiga, menjadi kekuatan untuk persatuan dan solidaritas di antara negara-negara global south. “BRICS dirasa dapat berfungsi sebagai perekat untuk mempererat kerja sama di antara negara-negara berkembang,” ujar Sugiono.
Dia menambahkan, bergabungnya Indonesia ke BRICS selaras dengan program kerja Kabinet Merah Putih, antara lain terkait ketahanan pangan dan energi, pemberantasan kemiskinan dan pengembangan SDM.
Jadi, manfaat bagi RI menjadi anggota tetap BRICS, terpulang lagi pada itung-itungan hasil kinerja segenap elemen terkait pembangunan ekonomi dan perdagangan, terutama peningkatan efisiensi, inovasi dan upaya menekan biaya tinggi.
Jika berbagai prasyarat tak dipenuhi, mungkin saja seperti pameo lawas terjadi:,”Lepas dari mulut buaya, malah masuk ke kandang singa”. (imbcnews/Theo/sumber diolah)