IMBCNEWS, Jakarta – Jika terjadi gempa berskala besar di segmen megathrust Selat Sunda, gelombang tsunami yang ditimbulkannya bisa sampai ke kawasan Pantau Utara Jawa (Pantura), termasuk wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Gempa disusul tsunami tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi sehingga aksi mitigasi untuk melakukan kesiapan jika sewaktu-waktu bencana tiba guna menekan potensi risiko harus dilakukan sejak dini.
Peneliti BRIN Nurani Rahma Hanifa di laman Badan Riset dan Inovasi Nasional itu barru-baru ini mengingatkan, jika terjadi gempa di segmen megathrust di Selat Sunda, ancaman gelombang tsunami bisa sampai Jakarta dalam waktu 2,5 jam.
Megathrust yakni pertemuan antara lempeng tektonik bumi di zona subduksi, biasanya di lautan di mana satu lempeng meluncur ke bewah lempeng lain, sementara di Indonesia berada antara lempeng Indo-Australia dan Euroasia.
Untuk itu Rahma mengajak seluruh masyarakat agar lebih waspada terhadap potensi bencana yang bisa datang kapan saja, khususnya potensi gempa megathrust di wilayah selatan Jawa yang bisa saja terjadi dan dapat memicu tsunami.
Rahma menyebutkan bahwa berdasarkan hasil risetnya, segmen megathrust di selatan Jawa, termasuk Selat Sunda, menyimpan energi tektonik yang signifikan dan berpotensi melepaskan gempa berkekuatan magnitudo 8,7-9,1.
“Potensi megathrust ini dapat memicu goncangan gempa yang besar dan tsunami, yang menjalar melalui Selat Sunda hingga ke Jakarta dengan waktu tiba sekitar 2,5 jam,” ungkap Rahma setelah menghadiri acara peringatan 20 tahun tsunami Aceh.
Berdasarkan simulasi yang telah dilakukan BRIN bersama tim peneliti dari berbagai institusi, jika tsunami terjadi, ketinggian gelombang diperkirakan dapat mencapai 20 meter di pesisir selatan Jawa, 3-15 meter di Selat Sunda, dan sekitar 1,8 meter di pesisir utara Jakarta.
Tsunami Pangandaran 2006
Penelitian tersebut juga menunjukkan fenomena serupa yang pernah terjadi dalam sejarah, seperti tsunami Pangandaran 2006 yang dipicu oleh longsor laut (marine landsslide) di dekat Nusakambangan.
“Energi yang terkunci di zona subduksi selatan Jawa terus bertambah seiring waktu. Jika dilepaskan sekaligus, goncangan akan memicu tsunami tinggi berdampak luas, tidak hanya di selatan Jawa tetapi juga di wilayah pesisir lainnya,”
Oleh karena itu, BRIN menekankan pentingnya mitigasi melalui pendekatan struktural dan non-struktural. Pendekatan struktural meliputi pembangunan tanggul penahan tsunami, pemecah ombak, serta penataan ruang di kawasan pesisir dengan memperhatikan jarak aman 250 meter dari bibir pantai.
“Pembangunan hutan pesisir atau vegetasi alami seperti pandan laut dan mangrove juga menjadi solusi berbasis ekosistem untuk meredam energi gelombang tsunami,” jelas Rahma.
Sedangkan pendekatan non-struktural melibatkan kesiapsiagaan masyarakat melalui edukasi mitigasi bencana, pelatihan simulasi evakuasi, serta penyediaan jalur dan lokasi evakuasi yang memadai.
“Kita harus memastikan bahwa masyarakat memiliki pemahaman tentang potensi bahaya tsunami, sistem peringatan dini yang efektif, serta kemampuan merespons dengan cepat,” ujarnya.
Penguatan struktur bangunan
Sedangkan untuk daerah perkotaan seperti Jakarta yang memiliki kepadatan penduduk tinggi dan sedimen tanah yang rentan mengamplifikasi guncangan, upaya mitigasi gempa, menurut Rahma, juga mencakup retrofitting atau penguatan struktur bangunan.
“Retrofitting sangat penting, terutama untuk bangunan di kawasan padat penduduk, karena goncangan kuat berpotensi menyebabkan kerusakan masif dan korban jiwa,” tuturnya.
Sedangkan untuk kawasan industri seperti Cilegon, potensi gempa juga dikhawatirkan dapat memicu kebakaran akibat kebocoran bahan bakar atau bahan kimia di pabrik-pabrik besar
Rahma menambahkan, melalui penelitian paleotsunami, BRIN menemukan bahwa gempa megathrust di selatan Jawa memiliki periode ulang sekitar 400-600 tahun.
Dari kejadian pada 1699, energi yang tersimpan saat ini telah mencapai titik kritis. “Bencana seperti tsunami Aceh mengajarkan kita bahwa kesiapsiagaan dan mitigasi bencana adalah kunci untuk menyelamatkan nyawa,” tegas peneliti BRIN.
Menurut catatan, delapan kali gempa berkekuatan besar terjadi di Selat Sunda pada periode 1851 hingga Agustus 2019. (imbc/Theo/sumber diolah)