Oleh M. Fuad Nasar *
Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH, pakar hukum tata negara yang sekarang menjabat Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi dan Pemasyarakatan dalam tulisannya di Majalah Panji Masyarakat No 616/Juli 1989 mengatakan bahwa sejak merdeka tak pernah negara tak mengurusi agama.
Mula-mula diurus oleh Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PPK), kemudian dalam Kabinet Sjahrir I diurus oleh Menteri Negara Haji Rasjidi, BA. Dalam Kabinet Sjahrir II baru ada Kementerian Agama yang juga dipimpin oleh Haji Rasjidi, BA.
Dalam suasana memperingati Hari Amal Bakti Ke-79 Kementerian Agama
pada 3 Januari 2025, ada baiknya menengok kembali perjalanan sejarah
kementerian yang memakai kata Agama sebagai nomenklaturnya.
Sebuah buku klasik berjudul Peringatan 10 Tahun Kementerian Agama
(1956) menarasikan suasana sidang pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Gedung Perguruan Tinggi Kedokteran Jalan Salemba Raya Jakarta (sekarang FKUI) yang berlangsung tanggal 25 – 27 November 1945.
Dalam kesempatan itu K.H.M. Saleh Su’aidy selaku Ketua dan Juru Bicara KNI Daerah Banyumas tampil berbicara, ”Mengusulkan supaya dalam Negeri Indonesia yang sudah merdeka ini, janganlah hendaknya urusan Agama hanya disambilkan kepada Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan saja, tetapi hendaklah Kementerian Agama yang khusus dan tersendiri.”
Dalam sidang KNIP tersebut utusan KNI Banyumas sebanyak tiga orang
semuanya dari Masyumi yaitu K.H.M. Saleh Suaidy (1913 – 1976) selaku juru bicara, K.H. Abu Dardiri (1895 – 1967) dan M. Sukoso Wirjosaputro. K.H.M. Saleh Suaidy berasal dari Matur, Kabupaten Agam, Sumatera Barat dan dikenal sebagai pejuang kemerdekaan, aktif dalam pergerakan Al Irsyad dan Muhammadiyah.
Keterangan yang sama diungkapkan dalam buku Sedjarah Hidup K.H.A.
Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar (1957) bahwa usulan pembentukan Kementerian Agama disambut baik dan dikuatkan oleh Mohammad
Natsir, Dr. Mawardi, Dr. Marzuki Mahdi, N. Kartosudarmo dan lain-lain dari kalangan anggota KNIP.
Maka, tanpa pemungutan suara ternyata setelah itu
terlihat Presiden Soekarno memberi isyarat kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta. Lalu berdirilah Wakil Presiden Mohammad Hatta menyatakan adanya Kementerian Agama tersendiri mendapat perhatian pemerintah.
Pada 3 Januari 1946 Pemerintah mengumumkan berdirinya Kementerian
Agama dengan Menteri Agama H. Rasjidi, B.A. Penetapan Pemerintah No 1/S.D. tanggal 3 Januari 1946 (29 Muharram 1365 H) menyatakan; ”Presiden Republik Indonesia, Mengingat: usul Perdana Menteri dan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, memutuskan: Mengadakan Kementerian Agama.”
Mengutip K.H.A. Wahid Hasjim (Menteri Agama Republik Indonesia Serikat dan Menteri Agama RI periode 1949 – 1952) bahwa dengan adanya Kementerian Agama, maka hal-hal yang mengenai keagamaan dan pekerjaan yang tadinya diurus oleh beberapa jawatan dikerjakan oleh Kementerian Agama dan dapatlah diperbaiki beberapa hal kesalahan yang diperbuat dalam zaman pemerintahan Belanda dan Jepang dengan akibat perpecahan dalam beberapa golongan agama.
”Pada waktu itu orang berpegang pada teori bahwa agama harus dipisahkan dari negara. Pikiran orang pada waktu itu, di dalam susunan pemerintahan tidak usah diadakan kementerian tersendiri yang mengurusi soal-soal agama. Begitu di dalam teorinya. Tetapi di dalam prakteknya berlainan,” ungkap Wahid Hasjim.
Setelah berjalan dari Agustus hingga November 1945, terasa sekali bahwa soal-soal agama yang di dalam praktiknya bercampur dengan soal-soal lain di dalam beberapa tangan (departemen) tidak dapat dibiarkan begitu saja.
Dan terasa perlu sekali berpusatnya soal-soal keagamaan itu di dalam satu tangan (departemen) agar soal-soal demikian itu dapat dipisahkan (dibedakan dari soal-soal lainnya). Oleh karena itu, maka pada pembentukan kabinet parlementer yang pertama, diadakan Kementerian Agama.
Model Kementerian Agama pada hakikatnya adalah jalan tengah antara teori memisahkan agama dari negara dan teori persatuan agama dan negara.
Keberadaan Kementerian Agama menjadi bukti bahwa negara Republik
Indonesia tidak menganut paham sekuler dan perbedaan agama/kepercayaan tidak menghambat terwujudnya persatuan nasional.
Salah satu teori menyebut pembentukan Kementerian Agama adalah sebagai kompensasi dihilangkannya tujuh kata tentang syariat Islam dari Piagam Jakarta yang diterima sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Pada Jumat malam tanggal 4 Januari 1946 Menteri Agama H.M. Rasjidi menyampaikan pidato di depan corong RRI Yogyakarta. Ia menegaskan,
”Berdirinya Kementerian Agama adalah untuk memelihara dan menjamin
kepentingan agama serta pemeluk-pemeluknya.”
Surat kabar Kedaulatan Rakjat di Yogyakarta tanggal 5 Januari 1946 memuat keterangan pers pemerintah yang mengumumkan pembentukan kementerian baru yaitu Kementerian Agama dan memuat teks lengkap pidato radio Menteri Agama.
Pada konperensi Jawatan Agama seluruh Jawa dan Madura pada 17 – 18
Maret 1946, Menteri Agama H.M.Rasjidi mengemukakan sebab dan
kepentingan Pemerintah Republik Indonesia mengadakan Kementerian Agama tersendiri ialah untuk memenuhi kewajiban Pemerintah terhadap pelaksanaan UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2 yang berbunyi: ”Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan ”Negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Di masa Menteri Agama ke-2 K.H. Fathurrachman Kafrawi untuk pertama
kalinya Kementerian Agama mengeluarkan produk hukum nasional yang
menjadi tonggak awal pelaksanaan tugas pegawai pencatat nikah yang
diangkat oleh Menteri Agama berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk (NTR). Undang-Undang
Pencatatan NTR merupakan produk hukum pertama yang dihasilkan
Kementerian Agama.
Jika kita membaca buku Kementerian Agama dan Parlemen (Penerbitan
Kementerian Agama, 1952) terungkap dahulu pernah terjadi perdebatan di parlemen mengenai Kementerian Agama. Keberadaan dan program kerja
Kementerian Agama dipertanyakan oleh sebagian anggota DPR di masa itu.
Malah ada yang mengusulkan agar Kementerian Agama dibubarkan saja. Soal-soal agama semestinya tidak dicampuri oleh pemerintah.
Selama Kementerian Agama masih berdiri dan berfungsi, Indonesia tidak akan terombang-ambing dengan obsesi negara berdasarkan agama dan obsesi negara sekuler. Kementerian Agama melindungi dan melayani semua agama dengan prinsip keadilan.
Kementerian Agama pernah dipimpin oleh figur Menteri-Menteri Agama yang tangguh sekaliber H.M. Rasjidi, K.H. Fathurrachman Kafrawi, K.H. Masjkur, K.H. Moh Iljas, K.H. Faqih Usman, K.H.A. Wahid Hasjim, K.H. Wahib Wahab, K.H. Saifuddin Zuhri, K.H. Mohd Dachlan, Prof. Dr. H.A. Mukti Ali, H. Alamsjah Ratu Perwiranegara, H. Munawir Sjadzali, MA, Dr. H. Tarmizi Taher, Prof. Dr. Quraish Shihab, Prof. Abdul Malik Fadjar (Menteri Agama pertama di era Reformasi), dan menteri-menteri selanjutnya sampai saat ini Menteri Agama Prof. Dr. K.H.4
Nasaruddin Umar, MA dan Wakil Menteri Agama Dr. Romo H.R. Muhammad
Syafii.
Sepanjang perjalanan sejarahnya Kementerian Agama pernah terdampak jatuh-bangunnya kabinet pemerintahan dalam periode singkat akibat mosi tidak percaya dari parlemen dan suksesi pemerintahan melalui Pemilihan Umum.
Kementerian Agama selama hampir delapan dekade menghadirkan peran
negara dalam membina masyarakat beragama menghadapi kemajuan teknologi dan globalisasi.
Kementerian Agama sesuai namanya mengawal fungsi agama
sebagai landasan etik, moral dan spiritual pembangunan bangsa memasuki perubahan masyarakat industri dan masyarakat digital. Dalam pembangunan kesejahteraan rakyat Kementerian Agama berperan menggerakkan potensi ekonomi umat zakat dan wakaf sebagai instrumen untuk membantu penanggulangan kemiskinan.
Kerawanan dalam kehidupan umat beragama yang ditandai dengan anomali
sosial menjadi tantangan berat Kementerian Agama, para pemimpin agama dan organisasi keagamaan, seperti kemerosotan moral dan krisis etika kehidupan berbangsa dan bernegara, melemahnya kearifan lokal, praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), masalah paham atau aliran keagamaan menyimpang, kasus penistaan agama, kerusakan lingkungan, kemiskinan, krisis ketahanan keluarga, dan lainnya.
Indonesia adalah negara yang penduduknya multi-agama. Kementerian Agama sejak 1970-an menanamkan fondasi Kerukunan Umat Beragama meliputi kerukunan intern-umat seagama, kerukunan antarumat beragama dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah. Tidak ada kerukunan tanpa toleransi dan sikap menghormati asas keyakinan agama masing-masing.
Kerukunan umat beragama bukan kondisi tertutup dan statis, melainkan kondisi yang terbuka dan dinamis serta tercipta karena komitmen semua pihak. Sejak tiga tahun terakhir Kementerian Agama mensosialisasikan sikap, cara pandang dan praktek beragama yang moderat dalam rangka membangun tatanan kehidupan masyarakat yang harmonis.
Bangsa Indonesia dikenal dunia sebagai bangsa yang relijius dan memiliki kekayaan nilai-nilai budaya yang terbentuk karena pengaruh agama. Pengalaman membuktikan sosialisasi program pembangunan yang dilakukan dengan pendekatan dan bahasa agama atau melibatkan pemuka agama memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi. Oleh karena itu Kementerian Agama hampir selalu dilibatkan dalam berbagai program dan penanganan isu-isu asional.
Misalnya, dalam sosialisasi program Keluarga Berencana sejak akhir
dekade 60-an, pembinaan keagamaan bagi warga transmigrasi, pemberantasan penyakit masyarakat dalam hal ini Narkoba, HIV/AIDS dan judi online, deradikalisasi narapidana teroris, TNI Manunggal Membangun Desa (d/h ABRI Masuk Desa), penanganan isu lingkungan hidup, penanggulangan bencana, pencegahan stunting, pencegahan penyebaran pandemi Covid-19 melalui peran rumah ibadah dua tahun lalu, dan lain-lain.
Seluruh aparatur Kementerian Agama sebagai pengayom dan perekat
kerukunan umat serta penyejuk masyarakat, tidak boleh membedakan-bedakan umat karena perbedaan suku, etnis, agama, keturunan, daerah, golongan dan organisasi.
Aparatur Kementerian Agama harus bisa menjadi jembatan dialog
kultural di masyarakat dan dengan sadar menempatkan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi maupun kelompok.
Keberhasilan kinerja Kementerian Agama bisa dikuantifikasi ke dalam angka-angka dan persentase, namun tidak semua bisa dihitung dengan angka-angka.
Sebagian hasil pekerjaan Kementerian Agama tidak bisa dinilai secara
kuantitas, tetapi dapat dirasakan oleh umat dan masyarakat luas. Pekerjaan Kementerian Agama berada dalam jangkar membangun manusia seutuhnya, memperkuat ketahanan keluarga melalui bimbingan perkawinan, memberikan bimbingan dan pelayanan keagamaan, pemberdayaan ekonomi umat serta memperkuat kerukunan antarumat beragama.
Suatu hal yang tak boleh dilupakan keberadaan Kementerian Agama menjadi simbol keseriusan pemerintah dan bangsa Indonesia dalam
mengimplementasikan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Keberadaan
Kementerian Agama yang ruang lingkup tugasnya disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara RI telah menepis ilusi negara sekuler yang sempat muncul di awal kemerdekaan ataupun masa-masa setelahnya. Pada prinsipnya, negara tidak dapat lepas tangan dari urusan agama dan tidak pula terlalu campur-tangan dalam urusan agama hingga masuk ke domain yang tidak perlu dimasuki.
Sesuai amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 negara wajib melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, termasuk menjamin kemerdekaan dalam memeluk agama dan beribadah.
*Penulis,
M. Fuad Nasar, penggiat literasi dan pejabat pimpinan tinggi pratama di lingkungan Kementerian Agama.