Oleh Jaelani, S Sos, Wartawan Imbcnews Biro Jawa Barat
IMBCNEWS – Bekasi | Salah satu syarat negara demokrasi diadakannya Pemilihan Umum (Pemilu) secara periodik untuk memilih wakilnya, baik di DPRD maupun di Kepala Daerah ditingkat wilayahnya. Batasan tahunnya tergantung dalam pasal dalam konstitusinya, apakah empat tahun atau lima tahun.
Indonesia menganut negara demokrasi konstitusional dimana kedaulatan berada di tangan rakyat, dan semua aturan negara diaur melalui Perundang-undangan atau hukum. Itu sebab, Indonesia juga disebut sesuai negara hukum. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar RI menyebutkan,
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Pasal itu diterjemahkan melalui UU Pemilu, seperti UU No 7 Tahun 2017.
Dalam Pemilu kali ini, Indonesia Corruption Watch (ICW), Themis Indonesia, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengumpulkan informasi kecurangan pemilu dengan dua metode. Pertama, menghimpun aduan publik melalui kanal kecuranganpemilu.com. Kedua, melakukan pemantauan dan liputan jurnalistik kepemiluan. Metode kedua dilakukan dengan berkolaborasi bersama jaringan masyarakat sipil dan jurnalis di 10 daerah.
Ternyata hasil pemantauan dari 10 daerah yang menjadi keterwakilan daerah-daerah lainnya, kecurangan pemilu menjadi sorotan dan patut dicermati dengan banyaknya kejanggalan, kontroversi, dan indikasi kecurangan pemilu pada setiap tahapan, termasuk dari penunjukan Penjabat (Pj) Kepala Daerah.
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkopolhukam), Mahfud MD, mengatakan Pemilu-Pilkada pada 2024 cenderung masih transaksional. Pasalnya, pendapatan per kapita mayoritas penduduk Indonesia masih rendah sehingga banyak dimanfaatkan oleh politisi untuk ‘membeli’ suara.
“Pemilu kita nampaknya masih akan transaksional karena pendapatan per kapita masih rendah. Demokrasi kita akan semakin baik jika pendapatan per kapita naik menjadi 5.500 dolar AS, posisi sekarang masih 4.500 dolar. Pernyataan soal kualitas demokrasi berkaitan dengan jumlah pendapatan per kapita sebuah negara, diakuinya, ia kutip dari pidato pengukuhan Guru Besar FEB UGM, Prof Boediono.
Apa yang harus dilakukan ?
Pelaksanaan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah adalah milik rakyat, merupakan satu jembatan untuk masyarakat berdaulat. Dengan kedaulatan itu masyarakat pemilih memiliki kebebasan untuk menentukan calon yang diinginkannya.
Ada tiga unsur yang harus berperan aktif terlibat langsung yang akan menentukan suksesnya pelaksanaan pemilihan umum yaitu; penyelenggara, peserta pemilu dan masyarakat (pemilih). Pemilu merupakan serangkaian proses dimana semua elemen bangsa mempunyai andil di dalamnya. Oleh karenanya, semua pihak mempunyai saham dalam menjawab apakah pemilu kali ini benar-benar melahirkan sosok-sosok pemimpin negarawan yang tidak hanya ”nguwasani”, tetapi juga ”ngayemi” dan ”ngayomi”.
Oleh karenanya, perlu ada perbaikan di dua elemen, Partai politik harus berusaha memperbaiki kualitas calegnya (calon legislatif), sehingga caleg yang diusung memang calon yang ber-integritas dan kompeten yang mampu memenuhi harapan masyarakat.
Sementara KPU, dalam hal sosialisasi masih perlu lebih gencar lagi. Sehingga bisa benar-benar menjalankan tugasnya sebagai lembaga yang mensosialisasikan pemilu. Jika tidak, mungkin di pemilu selanjutnya akan semakin banyak masyarakat yang memilih untuk golput dan tidak memilih karena kurangnya informasi secara optimal dari penyelenggara.
Selama pemerintah dengan segala perangkat kekuasaannya tidak netral, selama partai politik beserta kadernya hanya berorientasi pada kue kekuasaan, selama para tokoh agama dan budaya hanya memprioritaskan kepentingan golongannya, dan selama rakyat bersemboyan ”wani piro”, maka keniscayaan untuk mendapatkan pemimpin ideal serasa mustahil.
Masyarakat luas di kawasan Bekasi, tentu sependapat dengan ide, bahwa untuk mencari seorang Pemimpin Kepala Daerah maupun Anggota DPRD, hindari politik uang, dan perkuat indepensi penyelenggara Pemilu, karena jika KPU dan Bawaslu sebagai badan pengawas Pemilu, jika tidak punya kemandirian, jangan berharap akan ada kepala daerah dan anggota DPRD berkualitas.
Rakyat yang haus ”serangan fajar” menjadi celah sekaligus memaksa para politisi untuk berlomba-lomba membeli dengan materi, bukan dengan gagasan dan ide. Harga kemenangan akan menjadi mahal dan pada imbasnya, praktik-praktik kolusi, korupsi dan nepotisme tak terhindar.
Selain itu lembaga KPUD maupun partai politik harus sama-sama membenahi diri untuk meningkatkan kualitas Pemilu. Banyak masyarakat mengaku mendapatkan informasi Pemilu dari tokoh masyarakat bukan KPUD yang memiliki tanggungjawab utama melakukan sosialisasi. Kondisi ini menyebabkan masyarakat memahami Pemilu dari persepsi partai politik yang dominan unsur kampanyenya dari pada pendidikan politiknya.
Situasi yang kita hadapi saat ini membutuhkan komitmen persatuan dari seluruh pihak, soliditas seluruh elemen bangsa memerlukan pemerintahan yang tenang dan kuat agar dapat bekerja sungguh-sungguh, memerlukan stabilitas politik dan keamanan untuk mengatasi tantangan di masa yang akan datang.
Agar pada saat pemilu, kampanye ada aturan yang tegas mengenai tidak digunakannya politik identitas. Namun regulasi dari KPU dan Bawaslu tidak cukup. Kita memerlukan seluruh dukungan dari elemen bangsa untuk ikut berpartisipasi melakukan pengawasan, agar politik identitas tidak terjadi.
Politik identitas berpotensi pada memecah belah bangsa dan menghambat perkembangan demokrasi. Oleh karenanya, untuk mewujudkan Pemilu yang bersih pada Pilkada Bekasi mendatang, sekali lagi masyarakat Bekasi harus berani menolak sikap keculasan, menolak politik uang dan tetap memilih Calon berintegritas dan punya rekam jejak yang baik di dalam masyarakat.
(*)