Oleh Dr. Anwar Abbas, Wakil Ketua Umum MUI
IMBCNEWS Jakarta | Dilihat dari perspektif hukum, kenaikan PPN 12 persen jelas memiliki dasar karena hal demikian sudah tercantum dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Tetapi pertanyaannya, apakah dari perspektif hukum tuntutan dari UU itu sesuai dengan amanat konstitusi atau tidak ? Kedua, apakah dari perspektif sosial ekonomi ketentuan tersebut sudah tepat atau belum untuk dilaksanakan saat ini ?
Disinilah letak masalah dan kontroversinya bagi sebagian rakyat. Pihak pemerintah tampak bersikeras untuk memberlakukan ketentuan tersebut pada tanggal 1 Januari 2025. Alasannya ada 2 hal yang sangat mengemuka. Pertama, karena hal demikian sudah merupakan tuntutan dari UU HPP.
Kalau tidak dilaksanakan maka pemerintah tentu akan dicap telah melanggar UU. Kedua karena pemerintah saat ini memang sedang memerlukan dana yang besar bagi membiayai semua pengeluaran pemerintah termasuk pengeluaran untuk pembangunan.
Untuk itu sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam melaksanaan kenaikan PPN 12 persen tersebut, pemerintah juga sudah menyiapkan berbagai langkah seperti mengecualikan kenaikan PPN untuk barang-barang kebutuhan pokok, obat-obatan dan layanan pendidikan.
Tetapi disisi lain masyarakat dan dunia usaha tampak resah dan sangat keberatan dengan pemberlakuan UU tersebut karena dengan adanya kenaikan PPN sebesar 12 persen hal demikian jelas akan mendorong terjadinya kenaikan harga barang dan jasa.
Bila hal demikian yang terjadi maka tentu daya beli masyarakat akan menurun. Jika daya beli masyarakat menurun maka tingkat keuntungan pengusaha dan kesejahteraan serta kemakmuran masyarakat tentu juga akan menurun.
Hal demikian jelas tidak sesuai dengat amanat konstitusi karena konstitusi mengharapkan semua tindakan dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah harus diarahkan bagi terciptanya sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk itu mengingat masalah kenaikan PPN ini sangat terkait erat dengan kehidupan rakyat banyak maka untuk kebaikan semua pihak, sebaiknya pemerintah menunda pelaksanaan kenaikan PPN 12 persen tersebut sampai keadaan dunia usaha dan ekonomi masyarakat mendukung untuk itu.
Ini penting menjadi perhatian kita bersama terutama dalam menjaga persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa karena kita tahu Prabowo sebagai presiden dalam berbagai kesempatan telah berkali-kali menyampaikan sikapnya bahwa kebijakan yang akan dia buat adalah kebijakan yang memberdayakan dan pro rakyat bukan sebaliknya.
Sementara kebanyakan para ahli dan warga masyarakat menilai menaikkan PPN menjadi 12 persen di saat trust masyarakat kepada pemerintah belum begitu kuat dan disaat kehidupan dunia usaha sedang lesu karena daya beli masyarakat sedang menurun jelas tidak tepat. Oleh karena itu jika pemerintah tetap memaksakan pemberlakuan UU itu tanggal 1 Januari 2025 hal demikian jelas menjadi tanda tanya.
imbcnews/diolah/