IMBCNEWS Jakarta | Pengangamat hukum dan praktisi menilai putusan PN Jakarta Pusat atas kasus yang menjerat Harvey Moeis korupsi di kasus timah hanya 6,5 tahun menunjukkan belum adanya arah pemberantasan korupsi di Indonesia dilakukan secara serius, transparan dan akuntable.
Jika dilihat dari kuantitas yang dikorupsi nilainya cukup fantastis sekitar Rp300 triliun, dengan mempertimbngkan kerusakan lingkungan yang demikian dasyat, tetapi putusan hakim relatif ringan. Itu artinya, harapan masyarakat terhadap pemberantasan korupsi, belum serius dan transparan, kata pengamat hukum Pidana dari Universitas Nasional (Unas) Surajiman di Jakarta, Senin.
Dikatakan, putusan itu relatif ringan dan membuat orang tidak jera atau kapok untuk tidak mengulang perbuatannya. Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT) divonis pidana penjara selama 6 tahun dan 6 bulan terkait kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk pada 2015–2022, menjadikan kerugian negara yang cukup besar dan berdampak luar biasa.
Surajiman yang juga mantan Ketua Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) dimintai tanggapannya terkait putusan Hakim Ketua Eko Aryanto yang memutus 6,5 tahun terhadap Harvey. Dengan putusan itu, kata hakim ia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan secara bersama-sama.
Menurut Surajiman, dalam UU Korupsi No 20 Tahun 2001 Jo. UU No 31 Tahun 1999 anacamannya seumur hidup hingga pidana mati, karena masalah korupsi adalah digolongkan kejahatan extraordiniary crime. Oleh karenanya, putusan ringan tidak sejalan dengan keinginan masyarakat dan keinginan masyarakat internasional yang sependapat hukumannya harus “keras” karena banyak merugikan kepentingan umum. Masalah itu perlu mendapatkan penanganan serius, seperti melakukan pemiskinan terhadap pelaku.
“Undang-undang penyitaansset negara hingga kini belum tuntas diselesaikan DPR, semestinya Presiden Prabowo segera perintahkan untuk menuntuataskan dan dampaknya baik terhadap penyitaan asset milik para koruptor itu,” kata Surajiman.
Sebelumnya diberitakan, Harvey terbukti melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ke-1 KUHP.
Selain pidana penjara, Harvey juga dikenakan pidana denda sebesar Rp1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama enam bulan.
Majelis Hakim turut menjatuhkan pidana tambahan kepada Harvey berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp210 miliar subsider dua tahun penjara.
Dalam menjatuhkan putusan, Majelis Hakim mempertimbangkan beberapa hal yang memberatkan dan meringankan. Hal memberatkan, yakni perbuatan Harvey dilakukan saat negara sedang giat melakukan pemberantasan terhadap korupsi.
“Sementara hal meringankan, yaitu terdakwa berlaku sopan di persidangan, mempunyai tanggungan keluarga, dan belum pernah dihukum,” ucap Hakim Ketua menambahkan.
Selain Harvey, dalam persidangan yang sama terdapat pula Suparta selaku Direktur Utama PT RBT serta Reza Andriansyah selaku Direktur Pengembangan Usaha PT RBT yang mendengarkan pembacaan putusan majelis hakim.
Suparta divonis secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan yang sama dengan Harvey, sehingga dituntut dengan pasal yang sama.
Oleh karena itu, Suparta dijatuhkan hukuman penjara selama delapan tahun, denda Rp1 miliar subsider pidana kurungan selama enam bulan, serta membayar uang pengganti senilai Rp4,57 triliun subsider enam tahun penjara.
Sementara Reza dinyatakan secara sah dan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama, sehingga melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Untuk itu, Reza dijatuhkan pidana penjara selama lima tahun dan pidana denda sebanyak Rp750 juta subsider pidana kurungan selama tiga bulan.
Adapun putusan majelis hakim tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) sebelumnya.
Dalam tuntutan, Harvey dituntut agar dijatuhkan pidana penjara selama 12 tahun serta pidana denda sejumlah Rp1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 1 tahun.
Selain itu, Harvey juga dituntut agar dikenakan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp210 miliar subsider pidana penjara selama 6 tahun.
Sementara itu, Suparta dituntut pidana penjara selama 14 tahun, pidana denda Rp1 miliar subsider pidana kurungan satu tahun, dan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti senilai Rp4,57 triliun subsider pidana penjara selama 8 tahun.
Sedangkan Reza dituntut agar dikenakan pidana penjara selama delapan tahun dan pidana denda sebanyak Rp750 juta subsider pidana kurungan selama enam bulan.
Dalam kasus korupsi timah, ketiga terdakwa diduga melakukan korupsi bersama-sama sehingga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp300 triliun.
Kerugian tersebut meliputi sebanyak Rp2,28 triliun berupa kerugian atas aktivitas kerja sama sewa-menyewa alat peralatan processing (pengolahan) penglogaman dengan smelter swasta, Rp26,65 triliun berupa kerugian atas pembayaran biji timah kepada mitra tambang PT Timah, serta Rp271,07 triliun berupa kerugian lingkungan.
Harvey didakwa menerima uang Rp420 miliar bersama Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE) Helena Lim, sedangkan Suparta didakwa menerima aliran dana sebesar Rp4,57 triliun. Kedua orang tersebut juga didakwa melakukan TPPU dari dana yang diterima.
Sementara Reza diduga tidak menerima aliran dana dari kasus dugaan korupsi tersebut. Namun, dirinya didakwa terlibat serta mengetahui dan menyetujui semua perbuatan korupsi itu.
imbcnews/ant/diolah/