Oleh Toby Mann, dari ABCNEWS
IMBCNEWS | Jakarta, – Sejumlah negara, termasuk Indonesia, mempertahankan klaimnya di wilayah perairan Laut China Selatan (LCS). Tapi China begitu agresif ingin mendominasi segalanya, termasuk kekayaan alam yang terkandung di bawahnya.
Ketegangan di LCS diperkirakan meningkat tahun ini, karena China terus melanjutkan pembangunan pulau buatan dan operasi militer, hingga ada peringatan kawasan ini akan “dipenuhi dengan kapal-kapal China”.
Di sisi lain, Amerika Serikat dan sekutunya, termasuk Australia, bertekad mempertahankan kehadiran mereka di sana, mempertaruhkan proyek minyak dan gas, potensi perikanan, sumber daya dasar laut, serta rute perdagangan di kawasan tersebut.
LCS memiliki kepentingan komersial dan strategis yang sangat penting bagi Indonesia, Malaysia, Filipina, Vietnam, Taiwan, dan Brunei. Tapi hampir seluruh wilayah ini telah diklaim secara sepihak oleh China, sehingga mengancam potensi perikanan, minyak dan gas yang ingin dimanfaatkan negara-negara lain.
LCS dengan luas 3,3 juta kilometer persegi ini menjadi wilayah yang paling banyak diperebutkan di dunia, menurut Profesor John Blaxland dari Universitas Nasional Australia (ANU).
Hal senada disampaikan oleh Dr Bec Strating, Direktur Kajian Asia di La Trobe University “Sebenarnya hal utama yang mendorong perselisihan ini adalah kebutuhan tiap negara yang terlibat untuk mengakses sumber daya LCS,” katanya kepada ABC News.
China Kini Pegang Kendali di Laut China Selatan
Apakah sempat terjadi konfrontasi di laut lepas, atau hanya kontak rutin yang tak direncakana antara kapal perang Australia dan China? A man in a navy uniform and life jacket stands beside a rocket launcher on a ship.
Perjanjian internasional telah dilakukan untuk menetapkan batas-batas klaim, serta memberikan gambaran yang lebih jelas tentang negara mana yang memiliki hak atas wilayah tertentu. Namun, China telah mengabaikan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1982 tentang Hukum Laut.
China menegaskan hak teritorialnya di LCS, yang mereka sebut sebagai “sembilan garis putus-putus” berbentuk U, yang tidak jelas.
Klaim ini dibuat tahun 1947, dan sejak itu China menggunakan berbagai argumen hukum, sampai hadir di wilayah tersebut untuk mendukung klaimnya.
Dr Strating menyebut “sembilan garis putus-putus” sengaja dibuat tidak jelas oleh China, sehingga membuatnya sulit untuk menafsirkan apa yang diklaim China dan apakah klaim tersebut memiliki dasar hukum internasional atau tidak.
“Pembenaran quasi-legal adalah bentuk hukum, dan dirancang untuk membingungkan orang tentang argumen mana yang sah menurut hukum,” jelasnya. Wilayah yang diklaim oleh China mencakup sebagian besar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Vietnam dan tumpang tindih dengan ZEE Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Taiwan.
Ini juga termasuk Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly, atau titik-titik penting di wilayah yang semakin termiliterisasi ini.
“Sembilan garis putus-putus di LCS memberi China, dalam pandangan mereka, legitimasi untuk mengklaim sumber daya dasar laut dan stok perikanan di LCS,” kata Profesor Blaxland.
Sebagian besar negara mengakui ZEE satu sama lain, yang membentang hingga 200 mil laut dari garis pantai.
Tapi klaim China lebih dari persoalan kekayaan alam di perairan tersebut, yang juga dilalui oleh sepertiga pengiriman barang dunia dengan nilai $4,84 triliun setiap tahun.
A map shows the countries and their claims around the South China Sea, marked in coloured lines.
Klaim China atas wilayah perairan ini menabrak wilayah perairan negara-negara tetangganya.(ABC News: Jarrod Fankhauser)
“China telah membangun Angkatan Laut, penjaga pantai, milisi maritim, dan armada penangkap ikan bersenjata untuk menegaskan klaimnya. Ini didukung oleh pembangunan pulau-pulau buatan sebagai pangkalan militer yang mengintimidasi negara tetangga untuk mundur,” jelas Profesor Blaxland.
China mencoba mencaplok seluruh wilayah LCS secara efektif sebagai perairan teritorialnya, menurut Malcolm Davis dari Institut Kebijakan Strategis Australia (ASPI).
“Mereka membangun pulau-pulau buatan ini dan kemudian mengklaimnya sebagai wilayah daratan China, menempatkan pangkalan militernya di terumbu karang dan pulau bebatuan itu,” katanya.
Terlepas dari hal itu, negara-negara lain pun terus menjalankan proyek di LCS, termasuk Indonesia yang mengumumkan proyek blok migas baru di wilayah perairan yang dianggap China sebagai miliknya. Proyek migas Indonesia
A map shows Indonesia’s Natuna Islands along with lines demarking various countries’ South China Sea claims.
Indonesia berencana menjual hak pengelolaan 10 blok migas, termasuk di perairan Laut China Selatan.
Pemerintah Indonesia mengumumkan proyek migas lepas pantai senilai 3 miliar dolar AS di dekat Kepulauan Natuna, yang berada di atas salah satu ladang gas terbesar di dunia yang terletak di perairan antara Indonesia, Malaysia, dan Vietnam.
“Akan ada aktivitas di kawasan perbatasan yang merupakan salah satu titik panas geopolitik dunia,” ujar Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto. Disebutkan, TNI Angkatan Laut akan ikut mengamankan proyek ini sehingga secara ekonomi dan politik menjadi penegasan kedaulatan Indonesia.
Menurut Profesor Blaxland, meski Kepulauan Natuna berada di ZEE Indonesia, itu sulit untuk mewujudkan proyek ini di area tersebut. “Karena China gigih meningkatkan kehadiran kapal-kapalnya yang digunakan untuk intervensi dan penegasan klaimnya,” katanya.
Pada pertengahan Januari 2023, Indonesia mengerahkan kapal perang ke Laut Natuna Utara untuk memantau kapal penjaga pantai China yang ternyata telah aktif di wilayah itu. Indonesia-China di Laut Natuna Utara
Militer Indonesia menyatakan telah mengirim kapal perang, pesawat patroli, dan drone ke Laut Natuna Utara untuk memantau kapal penjaga pantai China yang telah aktif di wilayah perairan yang diperebutkan dan kaya sumber daya. Seperti apa Pemerintah Indonesia akan menanggapi setiap langkah China selanjutnya, bergantung pada situasi politik dalam negeri, apa langkah dari Presiden Joko Widodo, serta siapa yang menggantikannya ketika jabatannya berakhir tahun depan.
“Ada faktor pendukung dan penghambat dalam pendekatan Indonesia yang lebih tegas di LCS, karena Pemerintah Indonesia berkepentingan menarik investasi China yang lebih besar,” jelas Profesor Blaxland.
Menurut Dr Strating, China dan Indonesia telah bekerja sama dalam berbagai proyek infrastruktur, tapi tidak mudah untuk bersama-sama mengembangkan ladang gas Pulau Natuna.
“Bagi Indonesia, narasinya tentang wilayah maritim yang diklaimnya di Laut China Selatan benar-benar terkait dengan kedaulatan negara, sangat terkait dengan identitas nasionalnya,” kata Dr Strating kepada ABC.
“Mereka tidak ingin melihat haknya terkikis melalui semacam skema pembangunan bersama dengan China di wilayah tertentu,” tambahnya. Menurut Dr Davis, insiden antara armada penangkap ikan China yang bersenjata dan kapal Angkatan Laut Indonesia pernah terjadi, karena Indonesia berusaha mencegah penangkapan ikan ilegal di perairannya.
“Ada kekhawatiran [dari pihak Indonesia] jika China diizinkan menguasai Kepulauan Spratly di LCS, maka langkah selanjutnya adalah memperluas kontrol itu ke arah selatan menuju Pulau Natuna dan pada dasarnya akan merebut Natuna dari Indonesia,” katanya. Di sisi lain, China dan Vietnam terus memperluas langkah mereka di LCS, menggunakan peralatan pengerukan tanah untuk membangun pulau-pulau buatan.
imbc/abc/diolah/**