IMBCnews, Jakarta – Pemerintah Rakyat China (RRC) atau Tiongkok tega untuk melakukan eksekusi mati pada para koruptor yang merugikan keuangan negara dengan nilai wow demi menimbulkan efek jera pada pelaku korupsi.
Seperti dilaporkan Business Standard, Selasa (17/12) seorang koruptor terbesar dalam sejarah negara itu, Li Jianping yang mantan pejabat di Daerah Otonomi Mongolia Dalam dan juga mantan Sekretaris Komite Kerja Partai Komunis divonis mati.
Keseriusan dan tekad untuk membasmi korupsi yang merupakan penyakit para pejabat dan birokrat serta politisi itu tercermin dari yang pernah dilontarkan Perdana Menteri RRC Zhu Rongji.
“Siapkan100 peti mati, gunakan 99 di antaranya untuk para koruptor dan sisakan satu untuk saya bila saya korupsi, ” kata PM Zhu Rongji saat acara pelantikannya pada 1998.
Pelaku korupsi, di negeri dengan 1,3 miliar penduduk itu tidak pernah jera dan terus terjadi, namun keseriusan pemerintah China untuk membasmi bentuk kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) itu agaknya perlu ditiru.
Li dijatuhi hukuman mati setelah dinyatakan bersalah usai menggelapkan lebih dari tiga miliar yuan (sekitar Rp 6,6 triliun) yang merupakan nilai terbesar dalam satu kasus korupsi sepanjang sejarah China. Sebelumnya ia divonis mati pada September 2022 atas tindakan korupsi, penyuapan, penyalahgunaan dana publik, dan berkolusi dengan sindikat kriminal.
Di pengadilan ia terbukti atas berbagai kejahatan, memiliki niat yang sangat jahat, menimbulkan dampak sosial yang parah, serta melakukan pelanggaran berat. Keputusan itu dikuatkan Mahkamah Rakyat Agung Mongolia yang menolak banding yang diajukannya dalam sidang pada Agustus 2024 dan eksekusi diperintahkan oleh Mahkamah Rakyat Tertinggi Tiongkok dan dilaksanakan oleh pengadilan di Mongolia Dalam.
Li terbukti menyalahgunakan berbagai jabatan yang diembannya sepanjang 2006 sampai 2018 untuk menggelapkan uang lebih dari 1,437 miliar yuan (sekitar Rp 3,1 trilun) dan menerima grativikasi total lebih dari 577 juta yuan (sekitar Rp 1,3 triliun) serta menyalahgunakan lebih dari 1,055 miliar yuan (sekitar Rp 2,3 triliun) dana publik dari perusahaan milik negara.
Terdakwa juga terungkap menjalin hubungan dekat dengan seorang pemimpin sindikat kriminal dan meloloskan kegiatan ilegal organisasi tersebut.
Pengadilan memutuskan kejahatan Li sangat berat karena jumlah kerugian sangat besar dan yang dilakukannya memiliki dampak sosial yang luas.
Hukuman mati yang dikenakan pada Li Jianping, menurut harian the Independent, termasuk kasus langka, karena pejabat China yang dieksekusi mati atas tuduhan korupsi biasanya mendapat penangguhan hukuman dua tahun lalu diubah mejadi penjara seumur hidup jika berperilaku baik.
Kader partai juga korupsi
Meski Presiden RRC Xi Jinping berusaha menyingkirkan pejabat korup, Partai Komunis Tiongkok banyak memiliki kader yang terlibat korupsi. Partai tersebut memecat dua mantan menteri pertahanan dalam dua tahun terakhir karena korupsi.
Para pelaku diduga menerima suap serta membantu pihak lain memperoleh keuntungan yang tidak pantas. Kasus teranyar, Kementerian Pertahanan mengungkapkan loyalis lama Xi bernama Laksamana Miao Hua yang bertugas di badan komando militer tertinggi China, Komisi Militer Pusat sedang diselidiki karena pelanggaran disiplin serius.
Data Komisi Pusat Inspeksi Disiplin dari China menunjukkan, sebanyak 610.000 pejabat partai dihukum karena melanggar disiplin partai, 49 di antaranya adalah pejabat di atas tingkat wakil menteri atau gubernur.
Dalam upaya memerangi korupsi, beberapa negara di dunia selain China, Iran, Korea Utara dan dua negara anggota ASEAN yakni Thailand dan Vietnam juga menerapkan hukuman mati sebagai sanksi tertinggi bagi para pelaku korupsi.
Pemimpin Korut Kim Jong-un bahkan mengeksekusi pamannya sendiri, Chang Song-thaek, pada 2013 dan Panglima Operasi Tentara Rakyat Jenderal Pyon In Son yang didakwa melakukan korupsi.
Eksekusi mati dijatuhkan sebagai bentuk kebijakan pemerintah untuk membuat para pelaku kapok untuk mengulangi perbuatannya sehingga diharapkan dapat menekan kasus kasus tindak pidana korupsi yang merugikan negara dan masyarakat.
Pada tahun 2011, dua mantan wakil wali kota, Xu Maiyong dari Kota Hangzhou dan Jiang Renjie dari Kota Suzhou, dijatuhi hukuman mati karena terbukti melakukan suap dengan jumlah sangat besar.
Bai Tianhui, mantan eksekutif Huarong Asset Management (HAM) dijatuhi hukuman mati karena menerima suap sebesar 1,1 miliar Yuan atau sekitar Rp2,45 triliun.
Dia didakwa menggunakan posisinya untuk menawarkan keuntungan bagi pejabat berwenang dalam akuisisi proyek dan pembiayaan perusahaan, sebagai imbalannya menerima suap, sementara Lai Xiaomin, mantan CEO Ham diIeksekusi pada Januari 2021 karena menerima suap senilai USD260 juta.
Studi menunjukkan sebagian besar warga China mendukung hukuman mati, namun pandangan ini mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan opini publik secara keseluruhan.
Sementara di Indonesia, KPK yang tadinya sebuah lembaga superbodi, dibonsai kewenangannya dalam penyelidikan dan penyidikan dengan UU Revisi KPK No. 19 tahun 2019 yang memuat 26 poin pelemahan dalam pasal-pasalnya. Selain melalui perundang-undangan, KPK juga dlemahkan oleh ulah, komitmen dan integritas figur-figur internal, kepemimpinannya sendiri
Ketua KPK Firli Bahuri tersandung kasus pemalakan mantan Mentan Syahrul Yasir Limpo, sementara pimpinan lainnya yakni Nurul Ghufron, Alexander Marwata dan Ny Lily Pintauli Siregar dalam kasus gratifikasi.
Jadi ironis, dari lima pimpinan KPK, hanya satu-satunya yakni Nawawi Pomolago yang belum terkena kasus, sedangkan 70 karyawan KPK juga terseret kasus pugli di rutan KPK.
Hukuman mati seperti diberlkukan di China dan beberapa negara lain, mungkin sudah waktunya difikirkan oleh para ahli hukum dan disiplin ilmu-ilmu lainnya untuk mencegah praktek korupsi yang makin brutal dan menggurita di negeri ini.
IMBCnews/the0127- diolah dari BBC)