IMBCNEWS – Jakarta – Perilaku menyimpang yang terus berlangsung di dunia pendidikan, perlu pembenahan secara terstruktur, sistematis dan masif jika Indonsia serius hendak mewujudkan Generasi Emas 2045.
Aksi-aksi tawuran terjadi di mana-mana, hampir tiap hari, bahkan di hari-hari sakral seperti saat Ramadhan, Hari Kesaktian Pancasila dan momen momen lain perigtatan lainnya, sejauh ini belum ada upaya serius menyetopnya.
Aksi-aksi kekerasan, dilakukan oleh (oknum) guru terhadap murid, murid terhadap guru, orang tua murid terhadap guru atau sesama murid, juga perundungan dan kekerasan seksual oleh oknum guru, bahkan yang berbasis pendidikan agama, terhadap santriwati.
Aksi kekerasan fisik, tentu menimbulkan trauma berkepanjangan, bahkan di antaranya ada yang sampai merenggut nyawa. Kasus teranyar yang viral dan membuat miris terkait siswa SD Swasta di Jalan STM dipaksa mengikuti pelajaran “nggelosor” di lantai karena menunggak uang sekolah.
Namun Kepala yayasan, Beny Sinomba Siregar berkilah, wali murid berangkutan menyuruh siswa mengikuti pelajaran di lantai bukan karena ia menunggak uang sekolah tetapi karena tidak mengambil rapor.
“Karena orang tuanya tidak mengambil rapor sampai pada awal masuk sekolah semester genap, “ kilah Benny, walau logikanya, kenapa rapor tidak diambil, tentu karena orang tuanya tidak bisa membayar uang sekolah anaknya.
Mendengar dan melihat anaknya duduk di lantai, orang tua siswa itu marah kepada wali kelas tanpa melapor ke kepada sekolah. Atas kejadian tersebut, pihak kepala sekolah dan Yayasan telah meminta keterangan kepada guru kelas dan mengaku telah memberikan pembinaan terhadap pelaku.
Sebelumnya diberitakan, sebuah video menampilkan seseorang siswa SD swasta di Jalan STM, Kota Medan, disuruh belajar di lantai oleh wali kelas hanya karena menunggak uang sekolah tiga bulan.
Orang tua siswa, Kamelia (38), mengatakan jika peristiwa dalam video terjadi pada Rabu (8/1) menimpa anaknya yang selama tiga hari nggelosor di lantai untuk mengikuti pelajaran di kelasnya.
“Di hari Rabu, tanggal 6 (Januari) masuk sekolah kan, jadi sekitar 3 hari itu dia memang duduknya di lantai tanpa sepengetahuan saya,” kata Kamelia kepada detikSumut, Jumat (10/1).
Kamelia mengaku sudah berkomunikasi dengan wali kelas jika dia belum bisa datang ke sekolah. Dirinya berniat menjual handphone-nya agar bisa melunasi uang sekolah kedua anaknya di sekolah itu.
Santri AR tewas dikroyok
Kasus mengenaskan yang viral sebelumnya menimpa AR (14), santri asal Bali yang tewas dikeroyok enam seniornya di Ponpes Nurul Abror Al-Robbaniyin Alasbuluh, Banyuwangi, Jawa Timur, 27 Des. lalu.
AR meninggal enam hari kemudian (3 Jan.) seusai menjalani operasi herniasi batang otak akibat pendarahan hebat di tengkorak di RSUD Blambangan, Banyuwangi.
Polisi sudah menetapkan enam pelaku sebagai tersangka. Mereka masing-masing berinisial HR (17), IJ (18), MR (19), S (18), WA (15), dan Z (18). Kasus tersebut kini telah dilakukan penyelidikan.
Ironisnya, kekerasan seksual terjadi di lingkup pendidikan berbasis agama yang sejatinya mengedepankan nilai-nilai moral, bahkan pelakunya guru atau ustadz yang seharusnya menjadi panutan para santri dan santriwati.
Kasus kekerasan seksual paling brutal dilakukan oleh pengelola ponpes Madani Boarding School, Cibiru, Bandung Herry Wiryawan yang memerkosa 13 santriwati antara 2016 sampai 2021.
Delapan korbanya melahirkan sembilan bayi, sedangkan pelaku dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri, Bandung.
Kasus lain yang viral, pelakunya, Mas Becchi (M Subchi, 42 tahun) , putera pengasuh Ponpes Shiddiqiyah, Jombang yang juga menjabat wakil rektor di pesantren ternama itu
Ia divonis tujuh tahun oleh Pengadilan Surabaya akhir 2022 karena terbukti mencabuli sejumlah santri.
Kasusnya ramai diviralkan, karena sekompi polisi dikerahkan untuk menciduknya karena dihalang-halangi oleh para centeng, bahkan para korbanjuga diintimidasi agar tidak melaporkan aib yang menimpa mereka.
Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPPA Dea Pangestu menyebutkan, tiga dari 10 anak laki dan empat dari 10 anak perempuan usia antara 13 – 17 tahun (SLTP/SLTA) pernah mengalami kekerasan terutama kekerasan seksual.
Pak menteri dikdasmen dan menteri agama yang membawahi pesantren, tunggu apalagi untuk membenahi secara sistematis, terstruktur dan masif berbagai anomali di dunia pendidikan yang anda pimpin?
Jika tidak, apa yang bisa diharapkan dari dunia pendidikan untuk mencapai Generasi Emas 2045? Quo Vadis dunia pendidikan! (imbc/Theo/sumber diolah)