IMBCNEWS Jakarta | Niatan untuk menekan impor bahan pangan dan menciptakan swasembada pangan nasional oleh Presiden Prabowo Subianto patut diacungkan jempol, namun program itu, termasuk menghidupkan kembali pola transmigrasi dari penduduk Jawa ke luar Jawa, jangan sampai mematikan masyarakat adat yang selama ini hidupnya sudah kian tertekan dan terdesak.
“Sebelum ke Program Pemerintah tentang Transmigrasi, saya akan meyorot beberapa program pemerintah utamanya bidang pangan (food estate) ke Merauke Papua. Mereka itu sudah merasa nyaman makan sagu dan umbi-umbiaan. Kenapa lahan mereka akan diambil dan diganti tanaman padi atau tanaman lain yang bukan kebiasaannya ?,” kata Prof. Dr. Laksanto Utomo, Dekan Fakultas Hukum Univ. Bayangkara Jakarta, via saluran telepon pada Sabtu.
Pengambilan lahan milik masyarakat adat, katanya, sangat menyakitkan hati Masyarakat adat, utamanya adat di Papua yang saat ini tengah menjadi objek percontohan penanaman padi dan palawija. Kehidupan masyarakat adat diberbagai wilayah kian terdesak oleh kepentingan investor swasta dan kepentingan pemerintah.
Masyarakat Papua pegunungan makananan pokoknya umbi-umbian dan masyarakat Papua pesisir makanan pokoknya adalah sagu, sehingga tidak dapat dipaksakan mereka harus beralih makan pokonya menggunakan beras atau jagung.
Prof. Dr. Laksanto dimintai tanggapannya, terkait dengan berita sebelumnya, dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang menyoroti rusaknya lahan milik adat tahun berjalan. Sepanjang 2024 saja AMAN mencatat ada sedikitnya 121 kasus kriminalisasi dan perampasan wilayah adat yang terjadi di 140 komunitas dengan total luas wilayah terdampak mencapai 2,8 juta hektar. Beberapa kasus mencolok terjadi di wilayah adat Sihaporas, Poco Leok, dan Kepulauan Togean.
Sejalan dengan itu, Pemerintah juga akan kembali melakukan program transmigrasi masyarakat dari 16 kabupaten/kota di Jawa Tengah, 5 kabupaten/kota di DI Yogyakarta, dan 15 kabupaten/kota di Jawa Timur ke Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara. Tanpa kajian yang matang.
ilustrasi foto masyarakat adat Papua, foto bbc/ist/
Menurut Dr. Laksanto, dalam penelitian yang dilakukan timnya bersama Universitas Cenderawasih Papua, dan Univ di Jepang, disimpulkan Papua khususnya disekitar Sentani, merupakan produk sumber sagu nomor dua di Dunia.
Oleh karena itu, sebaiknya jangan berpaling bahwa Masyarakat Papua harus makan beras , padi bukan dari budaya masyarakat adat Papua. Demikian juga kebijakan Transmigrasi tanpa adanya kajian yang matang, yang melibatkan LSM dibidang itu, hanya akan membuat kebijakan yang kurang tepat atau bahkan menyakiti penduduk adat di suatu tempat.
“Jika ada program transmigrasi ke Papua untuk memperkuat program food estate, tanpa mempertimbangkan mendalam budaya masyarakat Papua dengan menguasai tanah ulayat masyarakat adat secara sepihak, akan menjadi bom waktu yang akan meledak dikemudian hari,” katanya seraya menambahkan, perlunya edukasi menyeluruh agar tidak terjadi kesenjangan yang mencolok, dan mendorong atau menimbulkan gejolak masyarakat.
Dicontohkan, coba periksa penelitian Tomagola gejolak masyakat Dayak dan Madura di Kalimantan Barat dan sekitarnya, harus menjadi perhatian semua pihak karena kejadian atau konflik yang selalu berulang menimbulkan korban jiwa.
Oleh karenanya, solusi yang baik adalah merealisasikan janji Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam debat publik cawapres 2024 untuk mengesahkan RUU Masyarakat Adat yang hingga bulan ini belum terlihat dalam proses transisi kekuasaan di tingkat nasional.
“Kalau hal RUU Masyarakat adat ini tidak dilakukan pembahasan secara serius oleh pemerintah dan partai pengusungnya menunjukkan pengabaian negara terhadap perlindungan dan penghormatan terhadap masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya,” kata laksanto yang konsisten memperjuangkan hak adat itu.
imbcnews/diolah/