IMBCNWS Israel | Pemerintah Israel pada Kamis pekan ini mengumumkan bahwa mereka mencabut izin pers empat jurnalis Al Jazeera yang bekerja di negara itu. Pencabutan itu sebenarnya tidak lazim di suatu negara yang menarasikan negara demokratis dan beradab, karena jurnalis adalah bagian dari kontrol sosial atas kebijakan pemerintah yang otoriter.
“Ini adalah media yang menyebarkan konten palsu, yang menghasut warga Israel dan Yahudi dan merupakan ancaman bagi tentara Pasukan Pertahanan Israel, IDF,” kata Direktur Kantor Pers Pemerintah Nitzan Chen dalam sebuah pernyataan sepihaknya.
Wartawan di Israel tidak diharuskan memiliki kartu pers yang dikeluarkan Kantor Pers Pemerintah, tetapi tanpa kartu tersebut akan sulit mengakses parlemen atau kementerian pemerintah. Pernyataan tersebut mengatakan penggunaan kartu tersebut oleh para jurnalis Al Jazeera dapat “membahayakan keamanan negara pada saat darurat militer ini.”
Keempat jurnalis Al Jazeera yang bekerja penuh waktu itu adalah warga negara Israel atau penduduk Palestina di Yerusalem timur yang dianeksasi, menurut kantor berita AFP. Staf Al Jazeera yang tersisa, termasuk produser video dan fotografer, diizinkan bekerja di sana karena pemerintah menganggap mereka tidak secara aktif memproduksi konten.
Al Jazeera belum membalas email VOA yang meminta komentar. Namun Walid Omary, kepala biro Al Jazeera untuk wilayah Palestina, mengatakan kepada AFP bahwa pemerintah Israel belum memberi tahu kantor beritanya terkait keputusan tersebut.
Israel menuduh Al Jazeera bias dalam liputannya tentang perang Israel-Hamas. Militer menuduh jurnalis media milik Qatar itu sebagai “agen teroris” yang berafiliasi dengan Hamas di Gaza. Al Jazeera membantah tuduhan tersebut dan mengatakan pemerintah dan militer Israel secara tidak proporsional telah menarget reporternya.
Akses media dibatasi di Gaza. Israel mengatakan pada awal perang bahwa mereka tidak dapat menjamin keselamatan jurnalis.
Pengawas media mengatakan, jurnalis berperan penting dalam meliput konflik tersebut, dan bahwa sebagai warga sipil tidak seharusnya mereka menjadi sasaran.
Di antara korban sipil yang berjatuhan dalam perang Israel-Hamas di Jalur Gaza, 116 adalah jurnalis dan pekerja media, menurut Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ). Empat di antaranya merupakan jurnalis yang bekerja untuk Al Jazeera.
CPJ mengatakan perang Israel-Hamas merupakan periode paling mematikan bagi jurnalis sejak lembaga itu mulai mencatat jumlah jurnalis yang tewas sejak 1992.
imbcnews/Voa Ind/diolah/