IMBCBNEWS,Jakarta – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, kasus malaria yang disebarkan akibat gigitannyamuk aedes aegypti melonjak dalam lima tahun terakhir akibat krisis iklim serta resistansi terhadap obat-obatan dan insektisida.
Pada 2023 saja, kata Dirjen FAO Tedros Adanom Ghebreyesus dalam keteragan pers HO yang dirilis baru-baru ini , hampir 600.000 penduduk dunia meninggal dari 263 juta orang yan terpapar atau jumlahnya lebih tinggi dibandingkan 2022 . sebanyak 94 persen kasus berada di Afrika.
“Tidak seorang pun seharusnya meninggal karena malaria. Namun penyakit ini terus membahayakan orang-orang yang tinggal di wilayah Afrika, terutama anak-anak kecil dan wanita hamil,” ujar Tedros dikutip dari The Guardian, beberapa waktu lalu.
Dirjen FAO itu juga mengungkapkan, 4 miliar dollar AS telah dialokasikan untuk mengatasi malaria secara global. Tetapi, pendanaan yang kurang dinilai menyebabkan kesenjangan penyediaan obat-obatan dan kelambu berinsektisida.
Pihaknya mencatat, hanya 45 persen wanita hamil di Afrika sub Sahara yang bisa mendapatkan tiga dosis terapi pencegahan malaria, sementara kelompok paling rentan justru sering kali tidak mendapatkannya.
Ekosistem Riset dan Inovasi Nasional: Kebijakan Elitis atau Gerakan Budaya? Artikel Kompas.id Nenurut WHO, hal ini dikarenakan sekitar 80 juta orang di negara-negara tempat malaria ditemukan merupakan pengungsi dan sulit mendapatkan akses pelayanan pencegahan maupun pengobatan.
“Saat ini ada paket peralatan penyelamat jiwa yang melindungi dari penyakit tersebut. Namun diperlukan lebih banyak investasi dan tindakan di negara-negara Afrika dengan tingkat tertinggi,” ungkap Tedros.
Kini, WHO sudah mensertifikasi 44 negara dan satu wilayah sebagai negara bebas malaria. Ada 83 negara yang menganggap malaria sebagai penyakit endemik, dengan 25 di antaranya melaporkan kurang dari 10 kasus per tahun.
Menurut WHO, krisis iklim yang terjadi menyebabkan banjir dan membuat nyamuk mudah berkembang biak. “Kondisi itu mengganggu akses layanan kesehatan di negara seperti Pakistan dan Madagaskar,” kata WHO dalam laporannya.
Laporan terpisah dari Malaria Atlas Project dan Boston Consulting Group mengungkapkan, Afrika bakal mengalami lebih dari 550.000 kematian tambahan akibat malaria di Afrika di 2030-2049 akibat banjir serta siklon.
“Resistensi terhadap obat-obatan yang selama ini menjadi pengobatan standar emas untuk malaria sedang menyebar, dan nyamuk semakin resisten terhadap insektisida yang digunakan untuk kelambu,” ucap para peneliti.
Namun demikian, vaksin malaria untuk anak di 17 negara sejauh ini dinilai berhasil menurunkan angka kematian hingga 13 persen dan laporan tersebut juga menyarankan pengembangan kelambu baru yang lebih efektif dengan menggunakan banyak jenis insektisida untuk melawan resistansi.
Di Indonesia sendiri pada 2023 tercatat 418.546 kasus malaria, turun dari 443.530 kasus pada tahun sebelumnya, sementara yang meninggal di atas 100 orang.
Waspada! Terutama memasuki musim hujan ditandai banjir dan genangan air yang terjadi di hampir sejumlah wilayah di Indonesia akhir tahun ini sampai awal 2025. (imbcnews. diolah WHO/theo217)