IMBNews, Jakarta | Ada tiga zaman berbeda dilalui Dr. (H.C) Priyo Iswanto, S.Hum., M.H. Lintasan zaman yang dilalui sebagai seorang diplomat menginspirasi dirinya untuk menulis dan menjadi buku inspiratif bagi kaum cendikia mau pun umum. Tiga zaman yang kemudian jadi basic penelitiannya, meliputi Era Bipolar, Era Unipolar dan Era multipolar.
Duta Besar RI untuk Kolombia selama 36 tahun ini mengaku, karya bukunya terinspirasi dari perjalanan karier sebagai seorang diplomat. Pengakuannya itu mengemuka dalam Bedah Buku Diplomasi Tiga Zaman, dilaksanakan World Moslem Studies Center bersama Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada Rabu, 03 Juli 2024.
“Tiga zaman dimaksud adalah Era Bipolar di mana Barat dan Uni Soviet berkonflik di Perang Dingin. Selanjutnya, Era Unipolar dengan dominasi Amerika Serikat yang mengarah pada globalisasi setelah Uni Soviet bubar. Kemudian Era multipolar saat kekuatan Amerika Serikat mulai kendur pada abad ke-21 dan munculnya peran negara-negara menengah atas seperti China, Rusia, Brazil, Turki, dan Indonesia,” ungkap Priyo.
Selama 36 tahun Priyo berkarier sebagai diplomat dan diakui bahwa ia mengalami berbagai pengalaman unik. “Belum tentu yang saya alami dialami oleh diplomat lain; Seperti negara bubar dan suksesi negara, pengakuan negara baru, tiga kudeta, membuka kantor kedutaan baru, kunjungan kenegaraan, ekstradisi gembong mafia Italia, pernah disekap perampok selama 4 jam di dalam taksi, dan gagasan-gagasan ke depan,” terangnya.
Ia berharap buku ini dapat memberikan perspektif baru tentang diplomasi yang menarik bagi masyarakat umum, mahasiswa, dan akademisi di bidang hubungan internasional dan hukum interansional.
Priyo kemudian mengemukakan mengenai peluang dan tantangan dalam diplomasi bilateral dan multilateral. Menurutnya, diplomasi bilateral hasilnya lebih membumi dan akan lebih mudah dilakukan jika negara memiliki posture yang kuat; Terlebih bila mampu menerapkan tangan di atas lebih baik seperti investasi, alih pengetahuan/teknologi, dan hibah/donasi.
“Komponen tersebut dapat meningkatkan citra dan daya ungkit lebih tinggi karena negara akreditasi yang akan mencari kita,” jelas dia.
Lebih lanjut ia menambahkan bahwa di negara kecil, pertemuan diplomat dengan pejabat tinggi seperti menteri luar negeri akan lebih mudah dibandingkan di negara negara besar.
“Sementara dalam diplomasi multilateral, bidang ini memerlukan individu yang kompeten, terbuka, dan pandai bergaul,” tutur Priyo.
Alasan dia, informasi dan posisi seseorang akan lebih diterima jika kita bisa berkawan. “Pandai berkewan, akan lebih mudah mencari kesesuaian antara posisi kita dengan posisi teman-teman kita,” sebutnya.
Direktur World Moslem Studies Center (Womester), Prof. Dr. KH. M. Noor Harisudin, S.Ag., S.H., M.Fil.I., CLA., CWC, menilai buku tersebut dapat menjadi guidance bagaimana menjadi diplomat yang berhasil dengan misinya.
Menurut Noor terdapat 18 topik menarik yang berisi teori dan praktik dari pengalaman dari seorang diplomat yang mencapai puncak karier dengan pengalaman selama 36 tahun.
“Menjadi diplomat adalah impian bagi sebagian kalangan anak muda yang memiliki cita-cita yang tinggi namun mereka tidak tahu cara mendapatkan dan berproses menjadi diplomat, buku ini menjadi bacaan wajib.” saran Noor.
Sedangkan Prof Prof. Harisudin menyampaikan, bahwa penulis Diplomasi Tiga Zaman adalah seorang diplomat yang meniti karir dengan background pendidikan Bahasa Inggris dan Hukum Bisnis Internasional, dengan kunci ‘terus update belajar.
“Bagaimana dengan mahasiswa PTKIN, peluang menjadi diplomat khususnya bagi mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta? Man jadda wajada. Bedah buku ini batu bata pertama menjadi Dubes RI.” sebut dia.
Pada acara sama, Dosen FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga narasumber, Dr. Atep A. Rofiq, M.Si menyebut, buku tersebut layak untuk dimiliki dan dipahami oleh mahasiswa hubungan internasional atau hukum internasional sebagai salah satu referensi yang lengkap dengan akumulasi teori dan praktik.
“Tidak banyak diplomat yang mencapai puncak karir dari bawah dan mau menuliskannya ke dalam bentuk buku. Buku ‘Diplomasi Tiga Zama’ ini menjadi refleksi dan modal yang kuat dalam melakukan tugas-tugas diplomasi di era digital saat ini,” pungkasnya. (rls: wmsc)