IMBCNews, Jakarta | Universitas Ekasakti bekerjasama dengan Jimly School of Law and Government (JSLG) menggelar kajian konstitusi dengan mendiskusikan buku karya Prof Dr Jimly Asshiddiqie, SH., MH., berjudul Green Constitution: Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai pemapar dalam diskusi, seorang pengajar Hukum Lingkungan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Dr. Haris Retno Susmiyati, SH., MH. dari Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Kota Samarinda Kalimantan Timur (Kaltim).
Dalam diskusi yang digelar secara daring, Jumat (22/12/2023), buku yang diterbitkan pertama kali pada 2009 itu dipandang telah menginspirasi banyak pihak; Terlebih-lebih pada kalangan akademisi ilmu hukum di tanah air.
Rektor Universitas Ekasakti Prof. Dr. Sufyarma Marsidin. M.Pd., dalam sambutannya mengungkap, bukan hanya kaum akademisi yang menyerap kandungan buku yang ditulis Prof Jimly, namun juga gagasan orisinilnya telah membawa pengaruh kuat pada sisi konstitusi, khususnya pada masalah-masalah yang terkait dengan hukum lingkungan atau ekologi.


“Dalam buku itu Prof Jimly mengangkat keberadaan hak azasi manusia dengan lingkungan kehidupan yang mesti dijaga secara berimbang. Karena, pada lingkungan itulah kita bernapas, mencari penghidupan, dan manusia berkehidupan secara berkisambungan, secara bersama-sama pula, serta ada juga makhluq lain,” sebutnya.
Selaku penulis, Prof Jimly Asshiddiqi dalam penjelasannya mengatakan, buku yang membahas masalah green contitution atau konstitusi lingkungan hijau, hingga tahun 2008 belum ada. “Boleh disharecing. Waktu itu memang belum ditemukan, namun isu soal perubahan iklim sudah mulai mengemuka di berbagai negara di dunia,” katanya.
Dalam buku ini, ungkap Prof Jimly, mengenai kedaulatan sebagaimana dalam konstitusi atau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945, telah mencakup adanya kedaulatan yang berada pada 4 (empat) cakupan. Pertama, kedaulan ketuhanan (theologi); Kedua kedaulatan rakyat (demokrasi); Ketiga kedaulatan hukum (nomokrasi); Dan keempat kedaulatan lingkungan (ekokrasi).
“Berdasarkan empat hal ini, saya berharap agar diadakan penelitian-penelitian lanjutan, agar masalah lingkungan hendaknya menjadi perhatian dari semua pihak. Jika ada undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 misalnya, undang-undang tersebut harus dibatalkan,” jelas dan harap Jimly.
Pemapar dalam kajian buku green contitution Dr Haris Retno mengatakan, buku karya Prof Jimly tersebut pertama kali ia baca sekitar 2015. “Buku ini menjadi salah satu yang menginspirasi saya dalam mengembangkan ilmu hukum lingkungan,” katanya.


Ia mengemukakan, dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sendiri olehnya, kadang sampai saat ini masih ditemukan kejanggalan-kejanggalan. Sekali pun secara konstitusi hukum lingkungan posisinya sudah begitu jelas, sebut Haris Retno, namun beberapa undang-undang perlu ditinjau kembali.
“Khususnya undang-undang dan peraturan peraturan yang berkaitan dengan lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam, yang di dalamnya ada eksploitasi minerba,” ucap dan harap dia.
Haris Retno kemudian mengurai, seperti yang terjadi Kalimantan, antara lain mengenai eksploitasi sumberdaya alam; Di mana, daratan Kaltim itu luasnya sekitar 12 juta hektare, namun dalam izin eksploitasi yang diberikan lebih luas dari daratan yang ada, yaitu sekitar 13,11 hektare.


Hal lain, sebut Haris Retno, adalah mengenai bembagian keuntungan. “Nilai keuntungan yang diperoleh masyarakat cenderung tidak berimbang dan rendah jika dihitung hidup berkesinambungan. Selain itu, pada umumnya perusahanaan pertambangan rendah pula ketaatannya dalam hal menjaga lingkungan,” katanya.


Lebih jauh Haris Retno mengatakan, lahan yang telah ditambang banyak sekali yang tidak direklamasi serta dibiarkan mengancam keselamatan warga. “Hal yang juga mengherankan, bukannya perusahaan penambang dituntut mereklamasi lingkungan namun malah undang-undangnya yang diubah.”


Haris Retno melanjutkan, industri pertambangan selama ini juga punya kerentanan dengan kekerarasan terhadap perempuan dan anak. “Kerusakan lingkungan juga mengancam kaum perempuan. Lubang bekas tambang yang ditinggalkan, mengancam keselamatan jiwa warga, karena banyak juga warga yang meninggal dunia terecebur. Selain itu terjadi juga kekerasan pemerkosaan dan pelecehan seksual yang sampai kini belum ada penyelesaian,” jelas dia. (Asyaro G K: jslg/zo)