IMBCNEWS Jakarta | Mantan Wakil Presiden Indonesia, Jusuf Kalla, menyerukan agar kelompok militan Hamas “menunjukkan persatuan dan kebersamaan dengan (kelompok) Al Fatah, begitu pula hubungan internal Hamas sendiri.”
Jusuf Kalla menyampaikan hal itu secara langsung kepada Ismail Haniyeh, pemimpin politik Hamas dalam pertemuan di Doha, Jumat (12/7). Dia menegaskan bahwa “tanpa kesatuan aspirasi dan institusi, hanya akan menambah pelik penyelesaian masalah Gaza.”
Dalam pertemuan selama dua jam itu, Jusuf Kalla menjelaskan bagaimana mata dunia kini tertuju ke Gaza dan memicu semua pihak untuk ikut membantu warga yang terdampak langsung perang Israel-Hamas, tetapi begitu pelik untuk mendistribusikan bantuan ke Gaza akibat blokade Israel. Dia juga menyebut kekerasan yang dilakukan Hamas.
“Kita semua harus membuat rencana kemanusiaan untuk Gaza, misalnya, menyusun program berdasarkan skala prioritas, seperti mengobati korban luka dan sakit, menyelamatkan perempuan, orang tua dan anak-anak, sehingga tidak menambah jatuhnya korban perang,” kata JK, singkatan yang menjadi panggilan keseharian Jusuf Kalla.
Dia menegaskan rencana kemanusiaan tersebut hanya bisa efektif jika kekerasan dihentikan terlebih dahulu.
“Jika kekerasan dapat dihentikan, maka rekonstruksi dan rehabilitasi Gaza secara otomatis dapat dilaksanakan,” imbuhnya.
JK mengajak Ismail Haniyeh untuk mengupayakan semua ikhtiar ini dari perspektif kemanusiaan, bukan soal politik dan pandangan ideologis.
Keterangan tertulis dari tim JK seusai pertemuan di Doha itu menyatakan bahwa “Ismail Haniyeh sangat memuji posisi dan peran diplomatik Republik Indonesia, pemberian bantuan kemanusiaan kepada rakyat di Gaza, kontribusi dalam merawat korban luka, gerakan kerakyatan dalam demonstrasi, dan solidaritas luas terhadap rakyat Palestina.”
Namun, keterangan tim JK tida menyebut perincian lain soal tanggapan Haniyeh terhadap seruan JK untuk menunjukkan persatuan dengan Fatah, satu faksi berpengaruh lain di Palestina.
Lawatan Kemanusiaan: Patani, Kabul, Doha
Pertemuan Jusuf Kalla dengan pemimpin politik Hamas, Ismail Haniyeh, merupakan bagian dari perjalanan misi perdamaiannya dari Patani, kota di bagian selatan Thailand; Kabul, ibu kota Afghanistan, dan kini Doha, ibu kota Qatar.
Meskipun memiliki misi besar yang sama, yaitu kemanusiaan, masalah yang dibahas JK dengan para pemimpin kelompok militan yang ditemuinya berbeda-beda. Misalnya, saat bertemu Menteri Pertahanan Afghanistan Mullah Mohammad Yaqoob Mujahid awal Juni lalu, JK fokus mendorong pemberdayaan kaum perempuan dan persamaan hak untuk mendapat pendidikan bagi perempuan dan anak perempuan. Sementara saat bertemu pemimpin politik Hamas Ismail Haniyeh di Doha, JK menyerukan kesepahaman antara Hamas dan Fatah, serta upaya gencatan senjata dengan Israel.
Pertemuan Jusuf Kalla dengan pemimpin politik Hamas, Ismail Haniyeh, di Doha ini hanya berselang tiga bulan dari pertemuannya dengan salah seorang petinggi lain kelompok militan itu, Dr. Bassem Naim di pinggiran Kuala Lumpur, Malaysia. Dalam pertemuan 5 Mei lalu Dr. Bassem Naim – yang disebut-sebut sebagai Menteri Kesehatan Palestina di Jalur Gaza – meminta bantuan JK untuk menjembatani perundingan damai antara Hamas dan Israel.
JK Tak Takut Dituduh Radikal
JK menegaskan kepada VOA bahwa ia ingin menjadi mediator yang dapat mengkomunikasikan kepentingan pihak-pihak yang bertikai, yaitu Hamas, Fatah dan bahkan dengan Israel sekalipun. Menurutnya, pembicaraan hanya dapat dilakukan jika ada hubungan dengan semua pihak.
“Dan tidak masalah itu saya berkali-kali dituduh radikal. Orang mengatakan mengapa Bapak bertemu dengan teroris? Saya tanya balik, teroris yang bagaimana? Mereka (Taliban-red) ingin membebaskan negerinya dari pendudukan Amerika. Ini sama saja dengan pejuang-pejuang kemerdekaan kita di tahun 1945 yang dijuluki ekstremis. Ini sebutan-sebutan di era kolonial,” kata JK mengeaskan.
Dia menambahkan bahwa “Hamas berjuang untuk mempertahankan hak-hak warga Palestina.”
Para perunding internasional optimis perjanjian gencatan senjata antara Israel dan Hamas dapat segera terwujud dalam waktu dekat, seiring langkah Hamas pekan lalu yang mencabut tuntutan utama mereka yaitu komitmen Israel untuk mengakhiri perang.
Meskipun demikian Hamas tetap meminta jaminan dari mediator bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu akan terus merundingkan perjanjian gencatan senjata permanen.
Netanyahu sebelumnya mengatakan ia siap menangguhkan perang sebagai bagian dari perjanjian pembebasan sandera, tetapi baru akan melakukan hal itu jika Israel telah mencapai tujuannya, yaitu menghancurkan militer Hamas dan membawa pulang seluruh sisa sandera.
imbcnews/voa ind/diolah/