IMBCNEWS Jakarta, Tidak banyak umat Islam Indonesia yang mau menyimak dan menganalisis isi khutbah Nabi Muhammad SAW di Ghadir Khum, karena isinya menurut penganut Syiah mengangkat atau melantik Ali Bin Abi Thalib sebagai imam.
Imam dapat dimaknai sebagai pimpinan. Tetapi dapat dipersempit sebagai pimpinan shalat misalnya. Namun istilah khalifah dalam KBBI on line bermakna wakil atau pengganti setelah wafatnya Rasullulah SAW.
Dengan demikian, kata imam maknanya lebih dipersempit sementara kata khalifah maknanya diperluas menajdi makna politik atau sebagai pimpinan suatu negara atau beberapa negara.
Itu sebab kelompok Syiah yang menyakini Nabi Muhammad telah melantik Ali Bin bi Thalib sebagai imam atau khilafah saat Rasullulah tiada, oleh kelompok Sunni diyakini, khilafah pertama adalah Abu Bakar, kemudian Umar Ibnu Khatab, Usman dan selanjutnya baru Ali Bin Abi thalib.
Seperti dilansir IslamSyiah.com dalam laman web Antaranes, Rabu menyebutkan, Sepuluh tahun setelah hijrah, Rasulullah SAW memerintahkan pengikut-pengikut setianya untuk memanggil semua orang dari berbagai penjuru untuk bergabung dengan beliau pada haji terakhir.
Itulah kali pertama kaum Muslimin yang berjumlah banyak sekali berkumpul di suatu tempat di hadapan pemimpin mereka, Nabi Muhammad SAWW.
Pada tanggal 18 Dzulhijjah, usai melaksanakan haji terakhirnya (haji wada), Nabi Muhammad SAWW pergi meninggalkan Mekkah menuju Madinah, di mana ia dan kumpulan kaum Muslimin sampai pada satu tempat bemama Ghadir Khum (saat ini dekat dengan Juhfah, sekitar 200 km dari Mekkah). Tempat di mana orang-orang dari berbagai penjuru saling menyampaikan salam perpisahan dan kembali ke rumah dengan mengambil jalan yang berbeda-beda.
Di tempat inilah turun ayat Quran: “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah : 67: 4)
Usai menerima ayat di atas, Nabi Muhammad SAWW berhenti di suatu tempat (telaga Khum) yang sangat panas. Rasulullah saww memerintahkan rombongan untuk berhenti dan mendirikan kemah. Lalu beliau memerintahkan semua orang yang telah telanjur berada jauh di depan untuk kembali, dan menunggu sampai para jemaah haji yang masih tertinggal di belakang tiba dan berkumpul semuanya. Ketika jamaah haji lainnya tiba di Ghadir Khum, saat itu jumlahnya mencapai sekitar 120 ribu orang.
Rasulullah saww menyuruh Salman ra untuk membuat mimbar tinggi dari batu-batu dan pelana unta agar ia bisa menyampaikan khutbah. Rasulullah saw pun naik ke mimbar dan menyampaikan pidatonya, yang ringkasan isinya adalah sebagai berikut:
“Ketahuilah —wahai manusia— sesungguhnya Allah SWT telah menetapkan Ali sebagai wali dan imam kamu, dan telah mewajibkan kepada setiap orang darimu untuk mentaatinya. Sah keputusan hukum yang diambilnya, dan berlaku kata-katanya. Terlaknat orang yang menentangnya, dan memperoleh rahmat orang yang mempercayainya.”
“Dengarlah dan patuhilah, sesungguhnya Allah adalah Tuhanmu dan Ali adalah pemimpinmu. Kemudian keimamahan dan kepemimpinan (berikutnya) ada pada keturunan yang berasal dari tulang sulbinya, sehingga tiba hari kiamat.”
“Sesungguhnya tidak ada yang halal kecuali apa yang telah dihalalkan oleh Allah, Rasul-Nya dan mereka, dan tidak ada yang haram kecuali apa yang telah diharamkan oleh Allah, Rasul-Nya dan mereka.”
Setelah menyampaikan pidatonya, Nabi meminta Imam Ali naik ke mimbar dan mengangkat tangan Imam serta mengenalkan kepada umat Islam bahwa Ali bin Abi Thalib adalah penggantinya. Nabi bersabda bahwa ketaatan kepada Ali bin Abi Thalib sama dengan ketaatan kepada beliau.
Setelah Nabi saww mengangkat/meresmikan keimamahan imam Ali as di hadapan kurang lebih 120.000 shahabat, beliau saw bersabda (sebelum menyuruh setiap orang yang ada waktu itu untuk satu persatu membai’at imam Ali as di hadapan beliau saw).
“Hendaknya yang hadir ini menyampaikan kepada yang tidak hadir, dan hendaknya orang tua menyampaikan kepada anak-anaknya!”
Hadis ini dikenal dengan nama Hadis Al-Ghadir. Derajat hadis ini adalah hadis yang paling mutawatir dan tidak ada satupun hadis Nabi saw yang melebihi kemutawatiran hadis ini.
Bersambung ****