Jakarta-IMBCNews – Menonton film bukan sekedar hiburan, namun bisa juga dipetik manfaat lain dari adegan yang disajikan dalam sebuah film, termasuk film tentang self love atau mencintai diri sendiri. Bahkan adegan yang positif mampu membangkitkan rasa percaya diri sehingga hidup menjadi optimis.
Demikian benang merah pada Workshop Self Love dalam Film dan Journaling, di Gedung A, Ruangan Pertemuan Perpustakaan, Kemendikbudristek, Jakarta, Rabu (17/7).
Seperti diketahui, meningkatnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan mental membuat istilah self love atau mencintai diri sendiri kerap menjadi perbincangan. Tak hanya melalui media sosial, self love juga kerap ditemukan dalam film yang dapat menginspirasi dan meningkatkan percaya diri penonton.
“Dalam memilih tayangan, mari berfikir tegas apakah layak untuk ditonton,” ujar Yessy Gusman, artis lawas yang berbagi pengalaman tentang seni dan cinta diri.
“Film Usia 18 merubah hidup saya,” ungkap Yessy. Dia menuturkan, meski sudah menjadi artis terkenal namun masih menjadi pribadi yang tertutup.
“Saya bermain film sejak anak-anak. Ketika remaja, nama saya sedang populer dan setiap hari didatangi produser untuk bermain film remaja. Seusia yang hadir di sini pasti tahu saya sering berpasangan dengan Rano Karno dalam beberapa film,” kata Yessy.
“Bapak saya ingin saya jadi dokter, tapi saya takut darah. Saya ingin belajar bisnis ekonomi, katanya lagi. Akhirnya setelah lulus SMA, Yessy Gusman melanjutkan studi ke San Francisco, Amerika Serikat.
“Banyak yang menyayangkan keputusan saya sekolah ke Amerika. Mereka berpikir saya sedang di puncak karier dan seharusnya mengumpulkan uang”.
Namun, saya bersikeras melanjutkan sekolah karena saya hobi belajar,” jelas Yessy di hadapan peserta. “Saya belajar serius, dapat nilai terbaik,” kata Yessy yang kini menjadi dosen seni pertunjukan di perguruan tinggi swasta di Jakarta.
Setelah kembali dari Amerika, menikah, dan berkeluarga, Yessy tetap aktif belajar dan berkarya. “Saya tidak sesibuk sebelumnya di dunia film. Saya aktif di bidang seni yang terkait dengan pendidikan, buku, dan berbagi pengalaman,” ungkapnya.
“Kita bisa menemukan kekuatan yang ada pada diri kita yang kadang kita tidak tahu,” kata Yessy Gusman.
Sementara Budi Sumarno, praktisi film pendiri Komunitas Inklusi Film menuturkan, inklusi film tidak membedakan ketika kita memproduksi film, kita juga melibatkan distabilitas.
“Saya pernah membuat ‘Bioskop Bisik’ dengan mengundang distabilitas netra untuk menonton film, Ternyata mereka paham adegan film itu,” ucap Budi.
Saat saya tanya, kata Budi, mereka bisa membayangkan visual melalui narasi. Namun ketika adegan tanpa suara pendamping distabilitas yang membisikan, menarasikan.
“Saya belajar menggunakan komputer dengan braille dan membentuk Komunitas Inklusi Film di bawah Komunitas Cinta Film Indonesia”.
“Salah satunya adalah program Menonton Film Berbisik, di mana disabilitas netra mendengarkan pendamping membisiki adegan film,” kata Budi, yang juga pengurus di PARFI dan KFT
Budi Sumarno menekankan pentingnya mengambil risiko untuk mengembangkan diri dalam dunia seni. “Saya keluar dari pekerjaan kantoran untuk mendalami dunia seni,” tegas Budi.
Workshop yang difasilitasi oleh Direktorat Film, Musik, dan Media, Kemendikbudristek ini diikuti dengan antusias oleh peserta.
Pemateri lainnya, Coach Pris, menjelaskan tentang penulisan buku dan journaling, sementara moderator dipandu Rachel Siloam distabilitas netra yang kini kuliah di Universitas Assyafiiyah semester enam. (*)