IMBCNEWS | Direktur Amir Mahmud Center Amir Mahmud, yang bergerak dalam bidang kajian kontranarasi dan ideologi dari paham radikal terorisme, menyatakan masyarakat harus mewaspadai narasi yang mengatakan radikalisme dan terorisme merupakan stigmatisasi agama, utamanya dialamatkan ke Islam.
“Harus dipahami bahwa radikalisme terorisme ini bukan klaim perlawanan terhadap umat Islam, bukan. Dibilang islamofobia juga bukan,” kata Direktur Amir Mahmud Center Amir Mahmud yang juga mantan kombatan yang merupakan alumnus Akademi Militer (Akmil) Mujahidin Afghanistan, seperti yang dikutip Antara, di Jakarta, pekan ini.
Sebenarnya, menurut dia, radikalisme setelah ditelusuri dengan berbagai konteks penelitian-penelitian riset ternyata lahir sengaja digugah atau dibangkitkan kembali oleh kelompok radikal yang mengatasnamakan Islam.
Beberapa waktu lalu masyarakat dikejutkan dengan ditangkapnya seorang wanita benama Siti Elina (SE). Dia hendak menerobos masuk ke Istana dengan membawa pistol.
Dalam pemeriksaan terungkap bahwa SE ingin menemui Presiden RI Joko Widodo, kemudian bermaksud menyampaikan bahwa dasar negara Indonesia salah karena tidak menggunakan syariat agama.
Namun, lanjut Amir Mahmud, dalam penelusuran diketahui, yang bersangkutan merupakan pendukung organisasi kelompok radikal yang telah dibubarkan, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan terhubung ke kelompok Negara Islam Indonesia (NII).
Akan tetapi, ada beberapa komentar di jagat maya dan tokoh nasional mengeluarkan statemen yang mengatakan, kasus tersebut merupakan bentuk stigmatisasi Pemerintah terhadap umat Islam. Mereka meminta masyarakat jangan percaya terhadap radikalisme dan terorisme karena merupakan bagian setting Pemerintah menjelang akhir tahun dan tahun politik.
“Kalau membiarkan narasi-narasi tersebut, justru akan lebih memperparah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang sedang proses membangun,” kata Amir Mahmud ketika menanggapi hal tersebut.
Amir menjelaskan bahwa sejatinya radikalisme dan terorisme itu bukanlah stigmatisasi agama, melainkan benar-benar musuh agama dan musuh negara. Apa yang menjadikan sorot pandang seorang tokoh yang mengatakan bahwa perkara itu adalah stigma terhadap Islam, menurutnya terlalu dini dan tidak mendasar untuk mengatakannya.
Ia menilai tokoh yang bicara itu tidak bisa melihat sejauh mana sebenarnya bahaya radikalisme dan terorisme itu berkembang di tengah-tengah masyarakat.
“Ini dimainkan oleh kelompok-kelompok yang senantiasa ingin merusak tatanan nilai kehidupan bangsa dan bernegara,” ujarnya.
Kelompok tersebut, lanjut dia, selalu menjadikan perlawanan pemahaman ideologi mereka dengan Pancasila sebagai ideologi atau dasar negara Indonesia.
Menurut dia, yang menjadi masalahnya lagi menjelang tahun politik 2024 sudah ada gejala dari kelompok radikal tersebut untuk melakukan show of force (unjuk kekuatan) mereka.
Hal itu, kata dia, dengan langkah-langkah seperti tablig, pengajian tablig dengan menggerakkan kelompok-kelompok atau komponen masyarakat yang tidak mengerti.
Amir mengungkapkan bahwa mereka menggunakan dalih olahraga dan dalih ukhuwah islamiah. Adapun simbol-simbol yang dimainkan adalah simbol-simbol kekerasan, benderanya yang dibawa juga bendera simbol-simbol yang ada simbol pedang dan sebagainya.
Hal itu, menurut Amir, kalau dibiarkan tentunya akan menjadi permasalahan bagi anak-anak muda serta kalangan yang lain.
Di sisi lain, kata dia, masih banyak komponen masyarakat yang tidak tahu dan tidak sadar mengenai bahaya, dampak, atau dahsyatnya paham radikal dan terorisme yang mengatasnamakan Islam ini jika membiarkan berkembang.
“Sebenarnya persoalan radikalisme dan terorisme adalah persoalan lama,” ujarnya, seranya menambahkan, radikalisme dan terorisme bukanlah stigmatisasi agama.
IMBCnews./***