IMBCNEWS Jakarta | – CEO bank raksasa global JP Morgan Chase, Jamie Dimon, memberi peringatan, perang Rusia dengan Ukrania dan disusul Palistina dan Israel, akan membawa krsisis perbabkan di masa depan.
Ia berujar “dunia mungkin sedang menghadapi masa paling berbahaya… dalam beberapa dekade”.
Ia mengatakan kepada investor bahwa dirinya prihatin dengan risiko terhadap perekonomian akibat meningkatnya ketegangan geo-politik. Bukan hanya perang Rusia-Ukraina tapi juga perang Israel di Gaza, dlansir cnbc ind pada Senin.
Pemimpin bank terbesar di Amerika itu mengatakan memang bank tersebut telah memperoleh manfaat dari kondisi keuangan rumah tangga dan dunia usaha AS yang sehat. Namun, ia memperingatkan bahwa semua pihak harus berhati-hati terhadap kondisi perekonomian global, mengingat banyaknya risiko yang muncul.
“Kehati-hatian saya adalah kita menghadapi begitu banyak ketidakpastian di luar sana,” katanya dikutip dari BBC International dan CNBC International, Senin (16/10/2023).
“Para investor harus bersiap menghadapi suku bunga yang lebih tinggi, inflasi yang terus-menerus, serta dampak dari konflik kekerasan,” tegasnya lagi.
“Perang di Ukraina yang diperburuk dengan serangan pekan lalu terhadap Israel mungkin mempunyai dampak luas terhadap pasar energi dan pangan, perdagangan global, dan hubungan geopolitik,” jelasnya.
“Ini mungkin saat paling berbahaya yang pernah terjadi di dunia dalam beberapa dekade.”
Kekhawatiran dampak perang ke perekonomian juga dikatakan CFO Citigroup Mark Mason. Ini muncul kala perusahaan itu mengadakan diskusi dengan investor.
“Ada banyak ketidakpastian yang pada akhirnya mempengaruhi bagaimana segala sesuatunya berjalan,” kata Mason.
Sebelumnya, Badan Energi Internasional (IEA) juga menyebut akan muncul ancaman terkait pasokan minyak. Perang akan membawa risiko gangguan pasokan minyak.
“Meskipun prospek bahwa aliran pasokan minyak akan terkena dampak saat ini masih terbatas, serangan mematikan tersebut mendorong para pedagang untuk memperhitungkan premi risiko geopolitik yang lebih tinggi,” kata IEA dalam laporan bulanan regulernya merujuk perang Hamas dan Israel, akhir pekan lalu.
“IEA siap bertindak jika diperlukan untuk memastikan pasar tetap mendapat pasokan yang cukup,” tambah badan yang mengoordinasikan pelepasan stok darurat itu.
Perlu diketahui, IEA berbasis di Paris, Prancis. Selain berperan sebagai analis dan penasihat, badan ini juga mengoordinasikan pelepasan stok darurat yang dimiliki oleh 31 negara anggotanya yang sebagian besar merupakan negara dengan ekonomi maju.
Pasokan minyak yang kemungkinan terancam adalah pengiriman dari Timur Tengah. Wilayah ini diketahui menyumbang lebih dari sepertiga pengiriman minyak dunia melalui laut.
Diketahui, harga minyak melonjak pada awal konflik. Namun kemudian mereda karena tidak ada gangguan langsung terhadap aliran pasokan dan negara-negara lain tidak melakukan intervensi.
Tapi harga masih relatif tinggi karena pengurangan pasokan oleh Arab Saudi dan Rusia. IEA juga memperingatkan bahwa pihaknya mulai melihat tanda-tanda kehancuran permintaan.
“Pasar minyak selama berbulan-bulan terjebak dalam tarik-menarik antara kekhawatiran mengenai pasokan dan permintaan karena tingginya harga energi. Ditambah dengan kenaikan suku bunga di sebagian besar negara maju untuk memerangi inflasi, membuat konsumen terjepit,” tambahnya.
Di sisi lain, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF), Kristalina Georgieva, turut buka suara menyikapi perang. Ia merespons permasalahan itu saat ditanya sejumlah wartawan dalam Press Briefing on The Global Policy Agenda di sela Annual Meetings IMF-World Bank 2023 Marrakech, Maroko.
“Ini awan baru di cakrawala yang bukan paling cerah untuk ekonomi dunia. Awan baru yang menggelapkan cakrawala ini tentu saja sangat tidak diperlukan,” kata Kristalina.
“Reaksi kami terhadap peperangan itu adalah sangat memilukan melihat warga sipil yang tidak bersalah sekarang, serangan dari satu tempat ke tempat lain,” ucap Kristalina.
Akibat berbagai permasalahan yang terjadi saat ini, terutama setelah masa pandemi Covid-19, inflasi tinggi menyerang sejumlah negara. Akibatnya kebijakan suku bunga acuan yang akan terus tinggi untuk jangka waktu lama.
Ini membuat pertumbuhan ekonomi akan melambat ke level 3% pada tahun ini dan menjadi 2,9% pada tahun depan. Ekonomi diperkirakan tetap rendah dalam jangka waktu menengah.
imbcnews/cnbc/diolah/